Â
PENDAHULUANDanau Toba merupakan perairan yang berada di Provinsi Sumatera Utara memiliki luas sekitar 112.970 Ha dan memiliki potensi yang baik untuk pengembangan sektor perikanan. Kawasan sekitar Danau Toba strategis dan dikelilingi oleh lima kabupaten, yaitu Kabupaten Dairi, Karo, Simalungun, Toba Samosir, Tapanuli Utara, dan Humbang Hasundutan.Â
Danau Toba terletak sekitar 905 meter di atas permukaan laut. Keramba jaring apung adalah wadah pemeliharaan ikan berupa kantong jaring yang terapung di permukaan air. Ikan dapat dipelihara di dalam keramba tersebut. Danau Toba memiliki peran yang signifikan baik dalam aspek ekologi maupun ekonomi. Dari segi ekologi, danau ini merupakan habitat bagi berbagai organisme air tawar.Â
Dari segi ekonomi, perairan Danau Toba digunakan sebagai sumber air minum dan mendukung perekonomian melalui kegiatan budidaya perikanan dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA), pariwisata, transportasi air, dan mendukung berbagai jenis industri, termasuk industri Sigura-gura Asahan yang membutuhkan pasokan air. Namun, tingginya aktivitas ini juga berpotensi menurunkan kualitas perairan. Khususnya dalam budidaya perikanan dengan KJA, limbah pakan dan kotoran ikan dapat menyebabkan penurunan kualitas perairan.Â
Terlebih lagi, aktivitas KJA tidak hanya dilakukan oleh masyarakat lokal, tetapi juga perusahaan perikanan budidaya. Salah satu perusahaan yang melakukan budidaya KJA terletak di Desa Gorat, Kabupaten Toba Samosir, dan telah mengembangkan kegiatan KJA tersebut.Â
Pemanfaatan keramba jaring apung merupakan salah satu kegiatan ekonomi masyarakat yang mengandalkan sumberdaya alam, tenaga kerja, dan teknologi yang tersedia. Masyarakat tidak hanya berusaha untuk memproduksi ikan guna memenuhi kebutuhan rumah tangga, tetapi juga untuk memenuhi permintaan pasar. Selain itu, upaya ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru dan memberikan peluang berusaha bagi masyarakat.
SUMBER PENCEMAR DANAU TOBA
Danau Toba menghadapi tantangan yang kompleks dalam hal pencemaran. Limbah dari berbagai sumber, termasuk industri pabrik, rumah tangga, pertanian, peternakan, dan kegiatan perikanan, telah mencemari danau. Akibatnya, fungsi danau sebagai ekosistem terganggu dan berdampak negatif pada organisme perairan yang hidup di dalamnya.Â
Selain pencemaran limbah, perubahan penggunaan lahan dan pola hidup masyarakat sekitar Danau Toba juga berdampak pada keberlanjutan danau. Pembangunan infrastruktur, pertumbuhan permukiman, dan peningkatan aktivitas pariwisata mengakibatkan peningkatan limbah, sedimentasi, dan gangguan lainnya. Namun pada pembahasan kali ini akan berfokus pada sumber pencemaran Danau Toba akibat Keramba Jaring Apung (KJA) yang cukup menjadi bahan perhatian baik bagi masyarakat maupun pemerintah.
JENIS PENCEMARAN DANAU TOBA
Pencemaran yang disebabkan oleh Keramba Jaring Apung (KJA) dapat memiliki dampak signifikan terhadap kualitas perairan Danau Toba. Beban limbah dari kegiatan budidaya KJA dapat menyebabkan peningkatan nilai amonia, nitrat, dan fosfat dalam perairan. Amoniak, nitrat, dan fosfat merupakan zat hara yang penting dalam menjaga kesuburan perairan. Namun, jika konsentrasi nitrat meningkat, hal ini dapat menyebabkan eutrofikasi, yaitu peningkatan nutrisi yang berlebihan dalam perairan, dan merangsang pertumbuhan alga dan tumbuhan air yang cepat (blooming).Â
Eutrofikasi dapat memiliki dampak negatif, seperti penurunan kualitas air, penurunan oksigen terlarut, dan mengganggu keseimbangan ekosistem perairan. Pertumbuhan alga yang berlebihan dapat menutupi permukaan air, menghambat sinar matahari yang masuk ke dalam air, dan mengganggu pertumbuhan organisme lainnya. Hal ini dapat mengubah struktur ekosistem, mengurangi keanekaragaman hayati, dan mengancam kelangsungan hidup ikan dan organisme perairan lainnya.
DAMPAK DARI DISTRIBUSI KJA YANG BERLEBIHAN
PARAMETER FISIK DAN KIMIA PERAIRAN DANAU TOBA
Tingginya nilai parameter BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) dalam sampel air Danau Toba juga  menunjukkan adanya pencemaran berat oleh bahan-bahan organik. Khususnya, perairan tercemar oleh bahan organik yang tinggi, menyebabkan penurunan kualitas air. Pencemaran ini diduga kuat berasal dari kegiatan perikanan yang menggunakan keramba jaring apung, baik dari sisa pakan ikan maupun kotoran ikan (13,14). Nilai BOD dan COD yang tinggi telah melebihi batas mutu air untuk air minum dan juga baku mutu untuk tujuan rekreasi air di perairan Danau Toba, terutama di wilayah Kabupaten Toba Samosir.Â
Pencemaran bahan-bahan organik dalam suatu badan air dapat teridentifikasi melalui peningkatan nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand), serta penurunan konsentrasi oksigen terlarut (DO) dalam badan air. Penurunan konsentrasi oksigen terlarut terjadi karena oksigen terlarut digunakan untuk proses dekomposisi bahan pencemar organik di dalam badan air, sehingga jumlah oksigen terlarut tersebut berkurang.
Hasil pengukuran DO pada penelitian ini menunjukkan kisaran konsentrasi antara 6,2-6,8 mg/l, yang masih memenuhi baku mutu yang berlaku dengan nilai minimum 6 mg/l. Secara teoritis, berdasarkan pengukuran in-situ terhadap suhu badan air yang berkisar antara 25,9-26,7 C, seharusnya nilai DO di lokasi sampling mendekati konsentrasi maksimal (jenuh) dalam kisaran 7,90-8,00 mg/l (16).Â
Namun, hasil pengukuran aktual menunjukkan nilai DO dalam kisaran 6,2-6,8 mg/l. Ketidakmampuan mencapai atau mendekati konsentrasi jenuh tersebut diduga disebabkan oleh penggunaan oksigen hasil fotosintesis dan difusi udara oleh bakteri untuk mendegradasi bahan organik pencemar yang menghasilkan fosfor-inorganik, nitrogen-inorganik, H2S, dan gas-gas lainnya.
Konsentrasi total fosfat dalam badan air Danau Toba berkisar antara 0,030-0,070 mg/l. Dibandingkan dengan baku mutu air untuk air minum (0,01 mg/l) dan baku mutu untuk sarana dan prasarana rekreasi air (0,03 mg/l), ini menunjukkan bahwa air Danau Toba di wilayah tersebut sudah tidak layak digunakan sebagai sumber air minum dan untuk sarana rekreasi. Namun, jika kita melihat konsentrasi total nitrogen yang berkisar antara 0,249-0,562 mg/l, air Danau Toba masih memenuhi baku mutu untuk air minum dan sarana rekreasi air.Â
Baku mutu yang berlaku untuk air minum adalah 0,065 mg/l, sedangkan untuk sarana rekreasi adalah 1,90 mg/l, keduanya lebih tinggi dari konsentrasi yang ditemukan. Secara umum, konsentrasi total fosfor dan nitrogen yang tinggi dalam perairan tidak diinginkan. Hal ini disebabkan oleh potensi stimulasi pertumbuhan fitoplankton yang cepat akibat konsentrasi fosfor dan nitrogen yang tinggi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan algal bloom. Algal bloom merupakan pertumbuhan alga yang berlebihan dan dapat mengganggu kualitas air dan ekosistem perairan secara keseluruhan.
STRUKTUR KELIMPAHAN FITOPKANKTON DI SEKITAR DANAU TOBA
Kelimpahan fitoplankton yang ditemukan di perairan Danau Toba berkisar antara 216-68,319,716 sel/m3. Komposisi fitoplankton tersebut terdiri dari 35 genus yang termasuk dalam empat kelas, yaitu Chlorophyceae, Bacillariophyceae, Cyanophyceae, dan Dinophyceae. Kelas Cyanophyceae merupakan kelompok fitoplankton yang dominan berdasarkan kelimpahannya, dengan persentase rata-rata lebih dari 40%. Menurut Henderson-Seller & Markland (1987), Cyanophyceae dan Chlorophyceae adalah kelas fitoplankton yang paling umum dan cenderung mendominasi di perairan yang tergenang, seperti danau dan waduk.Â
Dominasi fitoplankton oleh kelas Cyanophyceae disebabkan oleh pengaruh kondisi perairan yang eutrofik dengan konsentrasi unsur hara yang tinggi. Cyanophyceae umumnya ditemukan pada perairan dengan konsentrasi fosfat total yang tinggi (Sulastri, 2011). Hal ini sesuai dengan hasil analisis komponen utama yang menunjukkan bahwa fitoplankton dari kelas Cyanophyceae dipengaruhi oleh konsentrasi ortofosfat dan nitrat.Â
Jenis fitoplankton yang memiliki kelimpahan sangat tinggi dan ditemukan di semua stasiun adalah Anabaena (Cyanophyceae) dengan kelimpahan total sebesar 68,319,716 sel/m3 (42.53%). Keberadaan Anabaena merupakan indikasi bahwa perairan tersebut dalam kondisi eutrofik karena Anabaena merupakan salah satu jenis fitoplankton yang umumnya ditemukan pada perairan eutrofik. Beberapa jenis fitoplankton yang umumnya melimpah pada perairan eutrofik meliputi Anabaena, Microcystis, Chroococcus, dan jenis filamentous seperti Aphanizomenon (Abrantes et al., 2006; Elliott & May, 2007; Jiang et al., 2014). Anabaena dan Microcystis merupakan jenis fitoplankton yang beracun dan dapat menyebabkan masalah terkait dengan hipoksia (kekurangan oksigen) serta perubahan struktur komunitas biologis.
Kelimpahan fitoplankton di Danau Toba yang berkisar antara 216 hingga 68,319,716 sel/m3. Struktur komunitas fitoplankton selama penelitian didominasi oleh jenis Anabaena (Cyanophyceae). Hal ini menunjukkan bahwa Danau Toba memiliki keanekaragaman fitoplankton yang rendah dan keseragaman yang juga rendah hingga merata. Temuan ini mengindikasikan kondisi kualitas air di Danau Toba tidak baik, dan perlu dilakukan rencana pengelolaan yang baik untuk memperbaiki kondisi tersebut. Upaya pengelolaan yang efektif diperlukan untuk mengurangi pencemaran dan meningkatkan kualitas air Danau Toba guna menjaga ekosistem perairan dan keberlangsungan hayati di dalamnya.
PROGRAM YANG DAPAT DILAKUKAN
Untuk mengurangi dampak negatif Keramba Jaring Apung (KJA) terhadap lingkungan perairan, beberapa program yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
Pengawasan dan Regulasi: Menerapkan pengawasan yang ketat terhadap kegiatan KJA melalui peraturan dan regulasi yang jelas. Hal ini meliputi pembatasan jumlah dan lokasi KJA, pengendalian penggunaan bahan pakan dan obat-obatan, serta pemantauan limbah yang dihasilkan.
Pengelolaan Limbah: Mengembangkan program pengelolaan limbah yang efektif dan ramah lingkungan untuk KJA. Ini melibatkan pengaturan pengelolaan dan penanganan limbah, termasuk penggunaan teknologi pengolahan limbah yang sesuai sebelum dibuang ke perairan.
Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat: Melakukan kampanye edukasi dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan yang baik dan tanggung jawab terhadap lingkungan perairan. Ini dapat dilakukan melalui penyuluhan, pelatihan, dan program pendidikan di tingkat komunitas, nelayan, dan peternak.
Alternatif Budidaya Ramah Lingkungan: Mendorong pengembangan dan implementasi teknologi budidaya alternatif yang ramah lingkungan, seperti sistem budidaya berkelanjutan, penggunaan pakan berbasis bahan organik, dan pengurangan penggunaan obat-obatan kimia.
Monitoring dan Evaluasi: Melakukan monitoring terus-menerus terhadap kegiatan KJA dan dampaknya terhadap lingkungan. Evaluasi secara rutin akan membantu dalam mengidentifikasi masalah dan menyusun langkah-langkah perbaikan yang diperlukan.
ALTERMATIF MONITORING YANG DAPAT DILAKUKANÂ
Untuk memantau permasalahan KJA (Keramba Jaring Apung) dan dampaknya terhadap kualitas air danau, beberapa alternatif monitoring yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
Monitoring Kualitas Air: Melakukan pengambilan sampel air dari lokasi-lokasi yang terdampak KJA secara berkala. Analisis parameter seperti pH, suhu, kekeruhan, oksigen terlarut, konsentrasi nutrien (amonia, nitrat, fosfat), BOD, COD, dan kandungan bahan organik dapat memberikan informasi tentang tingkat pencemaran dan perubahan kualitas air akibat KJA.
Monitoring Nutrien: Mengamati dan menganalisis konsentrasi nutrien seperti amonia, nitrat, dan fosfat dalam perairan sekitar KJA. Peningkatan konsentrasi nutrien dapat menjadi indikator terjadinya eutrofikasi dan pertumbuhan alga yang berlebihan.
Monitoring Fitoplankton: Melakukan pengamatan dan pengambilan sampel fitoplankton di sekitar KJA. Identifikasi dan penghitungan jenis serta kelimpahan fitoplankton dapat memberikan informasi tentang perubahan komunitas fitoplankton yang disebabkan oleh KJA.
Monitoring Kualitas Sedimen: Mengambil sampel sedimen dari dasar perairan sekitar KJA dan menganalisis kandungan bahan pencemar seperti logam berat, pestisida, dan zat kimia lainnya. Informasi ini dapat membantu dalam mengevaluasi dampak penumpukan limbah KJA pada sedimen dan potensi risiko kontaminasi.
Monitoring Kualitas Air Bawah Tanah: Memantau kualitas air bawah tanah di sekitar KJA untuk mendeteksi kemungkinan pencemaran yang disebabkan oleh limbah KJA yang mencapai sumber air bawah tanah.
Monitoring Kesehatan Organisme Perairan: Memantau kesehatan dan kelimpahan organisme perairan seperti ikan, plankton, atau makroinvertebrata di sekitar KJA. Perubahan populasi dan kualitas organisme perairan dapat menjadi indikator dampak negatif KJA terhadap ekosistem.
Monitoring Kegiatan Budidaya: Memantau kegiatan budidaya di KJA, termasuk jumlah keramba, pakan yang digunakan, penggunaan obat-obatan, dan praktik pengelolaan limbah. Ini dapat membantu dalam mengidentifikasi praktik yang berpotensi menyebabkan dampak negatif dan mengarah pada perbaikan pengelolaan KJA.
Penerapan monitoring yang teratur dan sistematis akan memberikan informasi penting tentang dampak KJA terhadap kualitas air danau serta memungkinkan pengambilan langkah-langkah mitigasi yang tepat untuk mengurangi pencemaran dan melindungi ekosistem perairan.
REFERENSI
Lingga, I. F., Sos, F. F. S., & Arts, M. (2022). Kerusakan Lingkungan dan Ekofenomenologi. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ilmu               Sosial & Ilmu Politik, 7(1).
Manik, J. S. (2019, November). Ancaman Keberlanjutan Pariwisata Danau Toba (Evaluasi Kebijakan Keramba Jaring Apung). In                 Conference on Public Administration and Society (Vol. 1, No. 01).
Subiantoro, N. Lubis, A. W. 2021, Peran Pemerintah Desa Terhadap Penataan Pelaku Usaha Keramba Jaring Apung di Wilayah Pedesaan   pada Kawasan Danau Toba Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Ekonomi Hukum & Humaniora ISSN : 2460-4062 Volume : 3 Nomor: 3.
Tobing, S. J. L., & Kennedy, P. S. J. (2017). Pengelolaan Ekosistem Danau Toba Secara Berkelanjutan (Sustainable Development). In            Seminar Nasional dan Call Papers Seminar Inovasi Manajemen, Ekonomi dan Akuntansi Blue Economy Menembus Globalisasi.
Haro, D. D., Yunasfi, & Harahap, Z. A. (2013). Kondisi Kualitas Air Danau Toba di Kecamatan Haranggaol Horison Kabupaten                   Simalungun Sumatera Utara.
Prayitno, J. (2021). Kelayakan Air Danau Toba di Wilayah Kabupaten Tapanuli Utara Untuk Air BAku dan Rekreasi Air. Jurnal Teknologi          Lingkungan Vol. 22, No 2, , 231-239.
Rahman, A. (2016). Struktur Komunitas Fitoplankton di Danau Toba, Sumatera Utara. Vol. 21 (2): 7ISSN 0853-4217 , 120 -127.
Subiantoro, N. (2021). Peran Pemerintah Desa Terhadap Penataan Pelaku Usaha Keramba Jaring Apung di Wilayah Pedesaan pada              Kawasan Danau Toba Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Ekonomi Hukum & Humaniora ISSN : 2460-4062.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H