Mohon tunggu...
Muhammad FarhanSyahrur
Muhammad FarhanSyahrur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Farhan, saya mahasiswa di universitas Indraprasta PGRI. Saya mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, karena saya suka dengan dunia kepenulisan. Terimakasih

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perihal Rumah dan Kedinamisan Manusia (Cerpen Kelompok 3) R3E

3 Desember 2023   20:58 Diperbarui: 4 Desember 2023   13:17 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelompok : 3 

Dinar Putri Nur Alfiah (202221500512) 

Jihan Nur Syifa Fauziah (202221500303) 

Muhammad Farhan Syahrur Ramadhan (202221500452) 

Kelas : R3E 

Tugas : Membuat Cerpen 

Mata kuliah : Menulis 

Dosen Pengampu : Yolanda S.S.,M.Pd

Perihal Rumah dan Kedinamisan Manusia

Aroma kopi dan lantunan musik menambah kesan klasik di ruang tidur bergaya vintage itu. Seorang perempuan menggenggam selembar foto dengan seorang laki-laki, ia adalah Shanin. Dengan nafas lirih dan sepasang bola mata hazelnya menatap foto tersebut dengan tersenyum tipis. Kemudian Shanin menatap keluar jendela, memperhatikan beribu air mata jatuh ke muka bumi. Perempuan itu selalu menggantungkan seluruh bagian hidupnya pada seorang manusia bernama Arsen, Arsenio Archanda.

Arsen, satu-satunya orang seperti ensiklopedia dunia yang akan menjawab sekantong penuh pertanyaan Shanin tentang bagaimana cara kerja dunia dan isinya. Laki-laki yang dengan penuh kesabaran akan menjawab pertanyaan aneh seperti “Kenapa ya sapi gak ada yang warna pink?” dan serangkai pertanyaan aneh lainnya. Jika hidup harus memenuhi syarat dengan menukar sesuatu, maka Shanin akan rela menukar seluruh roti srikaya favoritnya dengan Arsen yang harus selama apapun berada di sisinya.

Setiap hari Shanin selalu bersyukur dan mengucapkan banyak terima kasih kepada Tuhan, sebab insiden dirinya salah kirim pesan kepada Arsen. Shanin mengira ia adalah teman sesama mahasiswa baru, padahal Arsen adalah mahasiswa satu tingkat diatasnya. Dari banyak hal, yang paling Shanin syukuri adalah ketika menghabiskan waktu bersama Arsen meskipun hanya diam di satu ruangan. Shanin selalu menceritakan tentang bagaimana hari yang dirinya telah ia lalui, suasana rumah bising di malam hari karena pertengkaran kedua orang tuanya, dan banyak lainnya.

Arsen hanya menjadi pendengar itu semua, karena bagi Arsen dirinya tidak memiliki energi sebanyak Shanin, tidak memiliki banyak cerita sebab jarang keluar kamar, dan tidak seru. Padahal bagi Shanin, Arsen mendekati kata sempurna. Bahkan perempuan itu seringkali bertanya-tanya, ‘Apa bisa anak yang kurang merasakan kasih sayang dapat melalukan hal itu terhadap orang lain?’

“Berat banget tau, Sen.” Ucap Shanin sembari duduk di sofa empuk berwarna cokelat di ruang kamar yang dominan dengan warna putih itu. Arsen yang tidak pernah absen dengan senyuman sudah dapat menebak, “Suasana rumah lagi ya?”

Mata Shanin memanas tak kuasa menahan lagi. Persekian detik kemudian air mata langsung membanjiri kedua pipinya. “Iya, kenapa ya mereka gak sadar kalau anak sendiri juga jadi korban? Harusnya mereka jangan egois. Aku kan juga manusia, aku capek, Sen.”

Arsen mengusap lembut kepala Shanin. “Nin, yang paling penting itu semua bukan salah kamu ya? Aku tahu ga ada yang mau ngerasain hal ini, tapi aku rasa juga orangtua kamu kalaupun bisa milih, mereka ga akan ingin seperti itu. Kita gak tahu masa depan seperti apa, jadi kita harus tetap hidup ya Nin! Minimal hidup sampai ngerasain bahagia supaya setimpal sama rasa sakit yang sekarang. Kamu bener-bener perempuan kuat yang pernah aku kenal.”

Ya seperti itu Arsen, manusia yang tidak pernah membandingkan masalah orang lain dengan dirinya, tidak menyalahkan apapun bentuk perasaan si pencerita, dan tidak pernah menganggap remeh cerita apapun. Shanin merasa hidup akan selalu baik-baik saja selama Arsen ada untuk mendengar ceritanya.

“Tujuan kita hidup itu apa ya?” Tanya Shanin kembali. Tidak seperti biasa langsung menjawab, Arsen hanya diam sambil memandang Shanin dan suasana seketika hening dalam beberapa menit. Shanin bingung apakah ada yang salah dari perkataannya barusan

“Mampu menghadapi semua dengan kuat.”

Untuk pertama kalinya Arsen memberi jawaban rancu. Semua yang seperti apa? Kuat yang bagaimana? Sangat rancu. Untuk pertama kalinya juga Arsen tidak tersenyum dan untuk pertama kalinya Arsen menatap dengan perasaan asing. Ini benar-benar pertama kalinya Shanin gelisah dengan hal-hal yang didapatkannya sejak mengenal Arsen. Shanin diam dan percaya segala perkataan Arsen melebihi apapun. Lagipun Shanin percaya dirinya akan kuat sebab Arsen adalah alasannya.

Waktu itu Shanin masih berterima kasih kepada Tuhan karena masih dapat menghabiskan waktu bersama Arsen, mengadu segala keluh kesah terhadapnya, masih dapat melihat senyumnya, dan masih dapat memilikinya. Tapi sekarang bagaimana? Sebanyak apapun Shanin menukar roti srikaya favoritnya tidak akan bisa membuat Arsen kembali. Shanin salah merapalkan harapan untuk berapapun lamanya bersama Arsen, seharusnya ia mengatakan dengan jelas bahwa ia ingin selama-lamanya sampai Shanin tua dan mati berdua. Seharusnya Shanin tidak diam saja saat Arsen mengatakan tentang menghadapi semua dengan kuat, sebab jika seperti ini Shanin memilih tidak mempercayainya.

Orang-orang mengatakan bahwa salah satu peran manusia adalah dinamis. Manusia dapat berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain. Dari ruang kamar yang terang dan ranjang hangat ke dalam makam yang dingin dan gelap. Makam, rumah paling nyaman untuk beristirahat terakhir bagi seseorang, tapi bagi yang masih bernyawa, rumah adalah manusia yang paling berharga. Hari ini, Arsen pergi. Sampai akhir hayat pun dirinya menjadi manusia dengan peran dinamis dengan bergerak pergi meninggalkan isi dunia.

Saat ini Shanin berada di kamar Arsen, kamar yang sesungguhnya. Bukan ruang kamar rawat berdominan putih untuk Arsen dirawat pada rumah sakit. Kamar bergaya vintage dengan aroma kopi tetap tidak ada yang berubah. Posisi ranjang, lemari, beberapa baju yang tergantung, foto-foto mereka, bahkan tidak ada satupun sudut yang keluarganya ubah meskipun sudah lewat 3 hari dari kepergiannya.

“Apa memang tujuan hidup manusia begini, Bu?” Tanya Shanin pada wanita yang paling tersakiti saat ini sambil menatap foto mereka berdua.

Hidup yang seperi apa?” Tanya Ibu sambil menyeka air mata dengan jemari lemahnya.

“Hidup yang selalu kuat, meskipun tentang kehilangan.” Lanjut Shanin yang masih terusik sebab alasan hidupnya sudah tidak ada, Shanin kehilangan kebahagiaannya.

Shanin menoleh untuk menatap wajah Ibu yang tampak lesu kian harinya. Ibu hanya memeluk Shanin dengan isak tangis yang tak bersuara. Langit berduka, orang-orang berduka, Kepergiannya meninggalkan luka. “Nin, sebenarnya hidup bukan selalu tentang menjadi kuat. Gak masalah ingin beristirahat selama apapun yang dibutuhkan. Kamu tahu? Tujuan dari hidup adalah proses perjalanan untuk ikhlas, termasuk juga ikhlas tentang kehilangan. Untuk kuat atau tidaknya manusia harus tetap berusaha, untuk apa Nin? Melanjutkan hidup yang masih diberikan.”

Saat itu juga Shanin sadar, untuk meruntuhkan kebohongannya untuk kuat, sebab ia ingin mencapai tujuan hidupnya dengan ikhlas secara perlahan. Hidup memang selalu berjalan dan semua akan terlupakan, namun Arsen sebagai pengecualian. Disimpannya foto yang Shanin genggam sebagai kenangan dan Shanin tersadar bahwa Arsen tidak sekedar seperti ensiklopedia dunia, tetapi ia benar-benar dunianya.

SELESAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun