berdiri dengan sang Ibu masih sekitar 200meter, tapi Ibunya sudah teriak-teriak. Tidak malu di lihat orang yang lalu lalang di jalan.
Jaka menarik napas kasar. Feelingnya tidak enak, pasti masalah lagi batinnya. "Ngapain nyusulin Jaka kesini sih, Bu?" tanyanya sedikit ketus setelah jarak mereka hanya sekitar lima meter.
"Kamu nggak seneng Ibu ke sini?" maki Bu Dewi.
"Bukan gitu, Bu. Aku sedang kerja, nggak enak sama yang lain. Nanti ditegur pak mandor, kalau sampai aku dipecat anak istri aku mau dikasih makan apa," jelas Jaka sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bakalan panjang urusannya jika Ibunya sudah merepet.
"Bilangin Si Riska, jadi istri jangan cuma bisa dandan aja kerjanya. Pagi-pagi bukanya bebenah rumah malah dandan!" Sungut Bu Dewi sambil berkacang pinggang.
Jaka mengusap wajahnya kasar, pusing dengan kelakuan Ibunya. Jika diladeni akan tambah panjang, tapi kalau dibiarkan makin seenaknya. Ia melirik Bang Ari-mandornya. Wajah Bang Ari sudah berubah masam melihat keributan yang dibuat oleh Ibunya, mereka kini jadi tontonan orang lewat.
"Riska biasanya pagi-pagi sudah selesai bebenah, Bu. Dia kan bangun sebelum subuh," ujar Jaka membela istrinya, dan yang diucapkan memang fakta.
"Bela teruusss. Dibilangin orang tua kok ngeyel. Kamu itu jadi suami jangan mau dibodohi, kerja banting tulang sampe badan keling kayak gitu kok duitnya cuma buat beli skincare."
"Itu duit Riska sendiri, Bu. Duit Jaka buat makan."
"Alahhh, nggak percaya Ibu. Dasar menantu tidak tau diri!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H