"Kalau bukan Ibu, sudah aku mintai ganti rugi!" gumam Riska kesal menatap pecahan wadah krim di tempat sampah. Ia lalu masuk ke dalam rumah mengambil sapu, tisu, juga alat pel.
"Heran, orang kok tiap hari ada aja yang dibikin ribut. Enggak bosen apa nyari gara-gara mulu," sungut Riska, tangan kanannya membersihkan sisa krim di lantai menggunakan tisu.
"Sudah pindah rumah pun tiap hari masih diteror. Giliran jadi satu dibilang numpang terus nggak mau modal. Ada saja yang dibikin iri, dikira aku morotin anaknya kali bisa beli ini itu. Anaknya nggak punya dihujat, giliran ada rejeki iri, maunya apa coba." Riska terus saja menumpahkan kekesalannya. Mulutnya ngomel tapi mata menangis.
"Boleh kali tukar tambah mertua!" kekehnya sambil mengusap sudut mata.
Setelah bersih ia lalu menyapunya, takut ada beling halus yang masih tertinggal. Dan terakhir mengepelnya lagi.
"Sepagi ini udah ngepel teras dua kali, bikin kerjaan aja!" gerutunya lagi.
Jaka-suami Riska bekerja sebagai buruh bangunan, pendapatannya kadang tidak tentu. Riska di rumah merajut dompet juga tas, terkadang gantungan kunci. Uang hasil merajutnya ia sisihkan. Ia juga menulis novel online, walau pendapatannya masih belum seberapa. Namun orang berpandangan ia hanya malas-malasan di rumah menghabiskan uang suami.
Riska memiliki kulit yang putih bersih walau tanpa perawatan mahal. Ia rajin luluran dengan bahan alami yang dibuatnya sendiri. Lebih suka makan sayur dan buah yang jelas bagus untuk kulit. Berbeda dengan sang suami yang berkulit cokelat kusam. Meski sudah mandi dan digosok sampai lecet, tatap saja kusam. Untungnya Alika mewarisi gen kulit ibunya, putih bersih. Sedangkan dari ayahnya mewarisi hidung mancungnya.
***
"Jaka!" teriak Bu Dewi memanggil anaknya di tempat kerjaan. Kebetulan dia sedang menggarap bangunan ruko di pinggir jalan desa. Tidak terlalu jauh dari rumahnya.
Jaka yang sedang mengaduk semen, menghentikan aktifitasnya. Menoleh ke belakang, melihat Ibunya jalan tergopoh-gopoh dengan muka cemberut. Bahkan jarak tempatnya