Seketika Riska tersentak dengan mulut terbuka. Krim wajah yang belum lama dibelinya berceceran di lantai teras rumahnya. Sudah lama ia menabung hanya untuk membeli krim itu.
Riska menatap ibu mertuanya dengan sorot mata tajam. Wajahnya sudah merah padam dengan gigi bergemeletuk. Jika tak ingat orang yang sepagi ini membuat onar ibu mertuanya sendiri, mungkin ia sudah mengamuk.
Bu Dewi meneguk liurnya dengan susah payah, salah tingkah melihat menantunya itu menatapnya dengan garang. Ia memalingkan wajahnya dan mencembikkan bibir. Jemarinya saling bertautan, meremas satu sama lain. Gugup bercampur takut, tapi sebisa mungkin disembunyikan. Gengsi kalau sampai ia kalah dengan mantunya.
Riska sendiri berkali-kali meraup rakus oksigen disekitarnya. Menghembuskan secara perlahan. Dadanya sungguh sudah bergemuruh, ingin rasanya segera memuntahkan semua amarah yang berkecamuk.
Ia akhirnya memejamkan mata. Beristigfar dalam hati meminta sabar seluas samudra untuk menghadapi ibu mertuanya yang selalu mencari gara-gara.
"Ibu, ada apa pagi-pagi udah berisik di sini?" tanyanya ketus, setelah menghembuskan napas kasar. Inginnya bicara manis, tapi apa mau dikata rasa kesal itu masih berjejalan di dalam hati.
Yang ditanya diam saja, justru melengos dengan tangan dilipat di depan dada. Membuat Riska makin geram. Disabar-sabarin tapi malah ngelunjak.
"Nggak jadi. Ibu, mau pulang!" ucap Bu Dewi dengan entengnya. Melenggang begitu saja dari teras Riska. Setelah memakai sendalnya berjalan terburu-buru menyincing dasternya. Pergi begitu saja tanpa rasa bersalah sedikit pun telah membuat keributan di rumah sang anak. Bahkan merusak barang menantunya.
Riska mematung, tangannya berkacak pinggang, dengan mata melotot dan mulut terbuka. Menatap kepergian mertuanya dengan perasaan kesal, marah, juga kaget. Pandangannya beralih pada skin care yang berceceran di lantai, tempatnya sudah pecah. Seketika mata terasa panas, dan pandangan mulai kabur. Bulir-bulir bening itu sudah memenuhi kelopak matanya. Sekali kedip saja akan jadi anak sungai di pipi mulusnya.
Bahunya luruh melihat pemandangan di depan matanya. Riska berjongkok, mengambil pecahan wadah krim yang berserakan. Takut mengenai kaki Alika-putrinya, anak itu sedikit ceroboh jika keluar masuk pintu, kalau tidak tersandung ya jatuh. Anehnya dia tersandung kakinya sendiri. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Riska membuang wadah itu di tempat sampah yang ada di ujung teras.
"Huft!" Riska menghembuskan napas kasar, lalu menepuk-nepuk kedua telapak tangannya.