"Kasian juga aku liatnya, Mak." ujarku.
Istriku tak menyahut. Ia asyik mengaduk nasi dalam periuk. Daguku terangkat tinggi, kepalaku bersandar ke daun pintu rumah kami yang terbuka. Di lantai semen yang kasar aku duduk sambil menerawang ke lembaran seng-seng berkarat yang langsung jadi langit-langit rumah kami.
Beberapa menit, kami berdua hanya terdiam. Akhirnya istriku berbicara "Apalah yang mau kita buat, Pak?"
Sekarang dia sibuk mondar-mandir, entah apa yang dikerjakannya, di dapur, di kamar mandi dan sesekali keluar rumah lalu masuk lagi.
"Aku pun kasian juganya," katanya setelah kembali ke dalam rumah. "Itulah hidup ini... Tak seindah rencana kita."
"Enggak kau tengok, Mak? Macam orang stres kutengok dia sekarang," kataku lagi.
"Yah, memang udah streslah dia itu. Bukan 'macam' lagi," tukas istriku.
"Iya, maksudku stres kayak orang gila." Aku mengoreksi ucapanku.
"Iyalah. Siapa yang nggak stres, bapaknya ninggal, gak ada uang, trus putus sekolah pula," sambar istriku.
Pikiranku melayang-layang. Sebentar membayangkan perasaan yang sedang dialami si Maston---sosok yang sedang kami bicarakan, sesaat kemudian mengenang bapaknya---si Eben---yang merupakan teman baikku. Bayangan yang terakhir diselingi cuplikan-cuplikan kisah masa lalu kami. Aku bisa memaklumi perasaan bangga dan penuh angan-angan yang dialami anak sulung Eben itu ketika pertama kali menginjakkan kaki di perguruan tinggi negeri di Medan, kota besar yang letaknya jauh dari kampung kami. Bapaknya pun bangga sekali saat itu. Harapannya semakin besar diletakkan di bahu Maston yang tengah bersiap menjadi tulang punggung keluarga kelak.
Namun hidup tak dapat ditebak, Eben meninggal tiga bulan lalu di jalan lintas antar kota. Kejadiannya sepele, hanya karena sopir mengantuk yang terlalu ke pinggir. Di sini kami memang tak mengenal trotoar, pejalan kaki menggunakan bagian tepi badan jalan yang sama dengan kendaraan bermotor. Â Cuma saling mengharapkan pengertian. Segera keluarga itu tergoncang. Baik dari sisi mental maupun ekonomi, karena semua penghasilan keluarga selama ini hanya berasal dari sang bapak semata.
Memasuki bulan ketiga, persediaan uang dari sumbangan belasungkawa kerabat dan tetangga menyusut dengan cepat. Mamak Maston masih bingung harus mencari uang dengan cara apa. Tanpa uang kiriman dari kampung, Maston pun harus meninggalkan Kota Medan dan mengubur dalam-dalam impiannya menjadi sarjana. Melepas ritme kehidupan metropolitan yang mulai diakrabinya hampir setahun. Meninggalkan semua teman-teman di kampus birunya tercinta. Tampaknya ia belum siap menerima itu semua.
Dua minggu setelah kepulangannya ke kampung aku dirundung gundah. Aku juga tak terima kenyataan pahit itu harus ditelan Maston di usianya yang masih labil, apalagi ia anak seorang teman lama. Setiap hari pikiranku terganggu melihat keluarga murung yang tinggal hanya beberapa rumah dari gubuk kami itu. Aku selalu berpikir bahwa aku harus berbuat sesuatu, meski sesungguhnya tidak tahu bagaimana.
Satu malam sehabis makan, aku dan istriku duduk bersantai di ruang makan---yang sekaligus ruang tamu kami. Aku di sofa satu-satunya milik kami, lalu istriku seperti biasa merajut benang-benang wol di kursi makan.
"Mak... Kalo kuingat dulu baiknya si Eben sama aku..." Kalimatku terputus, seperti tak mampu kuceritakan semua kebaikan bapaknya Si Maston itu kepadaku. Setelah beberapa saat terhenti, aku bisa menyambung lagi, "Kurasa, kalo gak ada dia, kita gak bisa kayak gini sekarang."
Istriku diam saja sambil merajut.
"Dia dari dulu sering nolong aku," kataku lagi. "Mulai dari tugas sekolah, hingga mengerjakan sawah. Kau tau kan? Aku dulu gak ada apa-apa. Sekolah enggak jelas, mau bertani pun sawah tak punya, ternak pun tak ada."
"Kalau gak dikasinya aku anak kerbau waktu kita kawin dulu, enggak punya ternak kita seperti sekarang."
Tanpa menoleh, istriku menanggapi, "Kasian ya, Pak. Orang baik itu sering kali cepat mati. Padahal kalo si Maston itu berhasil, kan bisa membantu adek-adeknya."
"Enggak kau liat Si Maston itu kayak apa sekarang?" tanyaku. "Oooh, Kayak linglung-linglung dia. Kasian, bah... Kasian. Lewat pun orang di depannya enggak peduli lagi dia," kataku menggeleng-geleng dengan penuh iba.
"Iya, ya... Udah lain memang kuliat dia sekarang." Istriku mengamini. "Nggak seperti yang dulu, ya kan?"
"Enggak siap dia kuliat menerima kenyataan. Kasian juga mamaknya, siapa lagi yang mau diharapkannya?"
Istriku mendecak tanda susah hati karena prihatin.
Kami kembali tenggelam dalam kebisuan. Melayang dengan pikiran masing-masing yang terbang entah kemana. Beberapa menit berlalu, aku berujar pelan, "Nggak bisa, Mak... Nggak bisa."
Istriku menghentikan rajutannya, ia berpaling ke arahku dengan rasa heran dan ingin tahu apa maksud ucapanku, lalu melanjutkan lagi rajutannya.
"Nggak bisa kita biarkan keluarga itu hancur lebur, Mak," sambungku lirih.
"Jadi... Kekmana kita membantunya...?" Gerakan merajutnya berhenti dan ia kembali menatapku.
Aku terdiam. Tak berani mengucapkan rencanaku yang sudah kutimbang-timbang dari pagi tadi. Aku tau reaksinya kemungkinan besar akan kecewa dan menolak rencanaku itu.
Kutarik napas dalam-dalam, lalu dengan suara rendah kukatakan, "Kita harus bantu..."
"Iya, pake apa, Pak?" sambar istriku cepat seakan dia sudah penasaran dengan gelagatku.
"Hasil penjualan kerbau kita..."
"Hah, apa? Apa maksudmu?!" Spontan istriku terlihat menahan napas karena syok.
Aku diam saja tak memandangnya. Aku tahu rencana ini mengejutkan dan sedikit tak realistis.
"Kau kan tau uang penjualan kerbau itu untuk apa, Pak!" Nada suaranya meninggi karena panik. "Udah lama kita memelihara kerbau itu supaya bisa dijual, supaya kita bisa beli mesin traktor, sisanya untuk persiapan si Rolan kuliah tahun depan. Kalau itu nggak ada, dari mana, Pak...?" Raut wajah istriku penuh dengan rasa khawatir.
"Iya, Mak... Taunya aku itu... Yang kuingatnya jasa-jasa bapaknya sama aku dulu." Aku membetulkan posisi dudukku kemudian kulihat matanya.
"Dengar, Mak. Kau pun taunya kan, kalo aku itu dulu terlunta-lunta di Medan. Kalo enggak si Eben yang nasihati aku dan kasi pinjaman supaya kembali ke sini, entah jadi apa aku di sana. Jadi gelandangan kurasa aku, ato pencopet di terminal."
Istriku tertunduk berusaha meneruskan rajutannya, tapi gerakan jarinya sudah tak karuan lagi digetarkan emosi yang berkecamuk. Dadanya naik turun mengatur napas yang mulai tak teratur.
"Kalo enggak sekarang kita membalas kebaikannya, kapan lagi...?" sambungku dengan pelan. "Kalo anak itu bisa sekolah... tak lama dia jadi sarjana. Bisa kerja apa kek... Udah bisa dia membantu keluarganya. Kalo tidak, hancurlah keluarga itu, Mak..." Aku membujuknya.
"Iya, trus keluarga kita yang hancur..." ucapnya ketus dengan wajah kesal.
"Gini, Mak, dengar..." kataku sambil mencondongkan badan ke arahnya. "Biarlah kita menunda dulu membeli traktor itu. Anak kerbau kita kan masih ada. Tahun depan udah bisa diinseminasi. Setelah ada anaknya, dua---tiga tahun lagi induknya bisa kita jual. Untuk sementara ini, masih bisanya kita menyewa traktor orang."
"Jadi kekmanalah sekolah si Rolan...?!"
Aku lantas berusaha meyakinkannya, "Kalo kita berbuat baik, jangan takut, Mak. Ada saja nanti jalan dikasi Tuhan itu..."
"Tengok..." kataku lalu berdiri mendekati istriku yang duduk di kursi makan. "Kalo enggak nyambung lagi kuliahnya Si Maston itu, bisa gila dia nanti. Kutengok udah mulai aneh-aneh dia. Tengoklah, Mak. Takutku, dua bulan lagi udah lari otaknya itu. Kalo udah kekgitu, makin hancurlah keluarga itu. Apalagi...?"
Kutatap mata istriku. Sorotan matanya melemah. Kurasa dia menyerah tanpa kata-kata. Entah dia setuju dengan pendapatku atau dia sudah putus asa, aku tak tahu. Matanya memandang lantai dengan tatapan kosong. Ku tahu dia sebenarnya orang yang baik dan penuh kasih. Tapi kekhawatirannya akan masa depan keluarga membuatnya bimbang.
Seminggu kemudian, kerbau kami pun terjual. Uangnya kami berikan kepada mamak Maston. Untuk membayar uang kuliah Maston dan sisanya kami sarankan untuk modal buka kedai kelontong. Ia menangis meraung-raung di depan kami sambil mengucap terima kasih. Dia menangisi mendiang suaminya dan juga terharu dengan tindakan kami.
Puncak kebahagiaan kami rasakan saat Maston berpamitan untuk kembali ke Medan mengurus kuliahnya yang terbengkalai itu. Wajahnya bersinar-sinar. Senyum penuh harapan dan cita-cita terpancar terang menyinari wajah kami yang bangga bisa meneruskan mimpi dan perjuangannya. Mimpi dan perjuangan bapaknya---si Eben---sahabatku. Sumringah Maston menghapus jejak-jejak kesedihan dan keputusasaan yang sempat menggayutinya selama beberapa minggu. Dia pun pergi. Kembali ke Medan.
Angan-angan memiliki traktor akhirnya kubuang jauh-jauh dari pikiran. Fokusku sekarang adalah bagaimana mencari penghasilan ekstra untuk ditabung guna persiapan kuliah anak kami satu-satunya. Masih ada waktu tujuh bulan lagi menjelang tahun ajaran baru. Kalau tidak cukup, kami berencana mencari pinjaman yang bisa dibayar setelah lima tahun. Seekor anak kerbau yang tertinggal pun menjadi tumpuan harapan kami untuk semua itu.
Sebulan telah berlalu sejak kepergian Maston. Suatu pagi kami menerima berita dukacita dari seorang kerabat yang tinggal di kota lain. Aku harus pergi untuk melayat sebagai tradisi budaya. Aku baru kembali di rumah lewat tengah malam. Karena keletihan rupanya aku tertidur sangat pulas dan terbangun pagi harinya karena istriku masuk ke dalam kamar sambil berteriak-teriak, "Aduh, Bapak... Aduh, Bapak! Mati kita, Pak... Matilah kita!" Ia mengguncang-guncang pundakku.
"Apa? Apa? Mak? Apa itu?!" tanyaku dengan suara parau dan kelopak mata yang sangat berat dibuka.
"Bapak... Tengok dulu ke kandang sana...!" Istriku menangis menjerit-jerit setengah menyeretku dari tempat tidur.
"Tengok dulu, Pak...! Anak kerbau kita... Hoooh, sudah ilang dicuri oraaang...!"
Aku tergopoh-gopoh sambil menggulung kain sarungku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H