Mohon tunggu...
Fret Derau
Fret Derau Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Writer

Menulis untuk berbagi derau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Anak Kerbau

9 Januari 2020   05:06 Diperbarui: 9 Januari 2020   05:09 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kutatap mata istriku. Sorotan matanya melemah. Kurasa dia menyerah tanpa kata-kata. Entah dia setuju dengan pendapatku atau dia sudah putus asa, aku tak tahu. Matanya memandang lantai dengan tatapan kosong. Ku tahu dia sebenarnya orang yang baik dan penuh kasih. Tapi kekhawatirannya akan masa depan keluarga membuatnya bimbang.

Seminggu kemudian, kerbau kami pun terjual. Uangnya kami berikan kepada mamak Maston. Untuk membayar uang kuliah Maston dan sisanya kami sarankan untuk modal buka kedai kelontong. Ia menangis meraung-raung di depan kami sambil mengucap terima kasih. Dia menangisi mendiang suaminya dan juga terharu dengan tindakan kami.

Puncak kebahagiaan kami rasakan saat Maston berpamitan untuk kembali ke Medan mengurus kuliahnya yang terbengkalai itu. Wajahnya bersinar-sinar. Senyum penuh harapan dan cita-cita terpancar terang menyinari wajah kami yang bangga bisa meneruskan mimpi dan perjuangannya. Mimpi dan perjuangan bapaknya---si Eben---sahabatku. Sumringah Maston menghapus jejak-jejak kesedihan dan keputusasaan yang sempat menggayutinya selama beberapa minggu. Dia pun pergi. Kembali ke Medan.

Angan-angan memiliki traktor akhirnya kubuang jauh-jauh dari pikiran. Fokusku sekarang adalah bagaimana mencari penghasilan ekstra untuk ditabung guna persiapan kuliah anak kami satu-satunya. Masih ada waktu tujuh bulan lagi menjelang tahun ajaran baru. Kalau tidak cukup, kami berencana mencari pinjaman yang bisa dibayar setelah lima tahun. Seekor anak kerbau yang tertinggal pun menjadi tumpuan harapan kami untuk semua itu.

Sebulan telah berlalu sejak kepergian Maston. Suatu pagi kami menerima berita dukacita dari seorang kerabat yang tinggal di kota lain. Aku harus pergi untuk melayat sebagai tradisi budaya. Aku baru kembali di rumah lewat tengah malam. Karena keletihan rupanya aku tertidur sangat pulas dan terbangun pagi harinya karena istriku masuk ke dalam kamar sambil berteriak-teriak, "Aduh, Bapak... Aduh, Bapak! Mati kita, Pak... Matilah kita!" Ia mengguncang-guncang pundakku.

"Apa? Apa? Mak? Apa itu?!" tanyaku dengan suara parau dan kelopak mata yang sangat berat dibuka.

"Bapak... Tengok dulu ke kandang sana...!" Istriku menangis menjerit-jerit setengah menyeretku dari tempat tidur.

"Tengok dulu, Pak...! Anak kerbau kita... Hoooh, sudah ilang dicuri oraaang...!"

Aku tergopoh-gopoh sambil menggulung kain sarungku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun