Pasca kemenangan, dukungan tentu masih seratus persen. Para tim sukses dan pejuang masih aktif melakukan diskusi dan pertemuan guna membahas bagaimana ke depan. Banyak hal terjadi demi kepemimpinan ke depan. Sosok yang dimenangkan pasti mendengar berbapai input ide.
Tidak ada keberatan dan persoalan. Masing-masing berupaya menurut caranya berpikir. Berkisah mengenang bobotnya perjuangan sebelumnya, juga menjadi kenangan tersendiri. Pasca kemenangan ini, semuanya masih baik-baik saja.
Ketiga ; Saat Tata Kelola Perangkat Daerah
Konflik mulai muncul, ketika setiap orang memperhitungkan jasa dan perjuangannya, dan karena itu, merasa sangat berandil dalam keturutan menentukan posisi dalam dunia pemerintahan. Masing-masing menyebut orangnya untuk dipakai dan terkadang memaksakan kehendak.
Beberapa di antara lainnya terkesan memperlakukan dirinya lebih penting, dan karena itu memposisikan diri sebagai jembatan penghubung, demi tersampaikan dan tereksekusinya keinginan dan usulan.
Mulai ada yang menarik diri secara perlahan karena apa yang diusulkan dan diinginkan tidak diakomodir. Ungkapan kesal mulai terjadi di sini, namun karena rasa perjuangan masih melekat, maka masih biasa-biasa saja.
 Keempat ; Saat Situasi Proyek
Pemimpin mulai pusing saat urusan proyek. Secara de facto, sebetulnya tidak perlu pusing karena sudah ada mekanismenya beserta pagu anggaran dan peruntukkannya. Namun, tetap saja ada gesekan.
Kalau pemimpin tidak peduli dengan mereka, nanti dibilangin tidak peduli sesudah menang, dan tidak menghargai jasa perjuangan. Tetapi kalau pemimpin mau peduli, besar resiko untuk menyimpang dari mekanisme yang sebenarnya.
Umumnya golongan kelas menengah ke atas menginginkan proyek untuk dikerjakan, dan hanya dalam kalangan mereka. Mereka umumnya tidak mau peduli dengan pihak lain, apalagi yang bukan pendukung. Proyek, karena jasa dan perjuangan, seolah-oleh segera harus menjadi miliknya, dan karena itu, pemimpinnya kalau tidak kritis, bakal pusing tujuh keliling.
 Kelima ; Mulai Muncul Konflik Internal