Nas Kitab Suci menjawab; setelah Hawa memetik buah itu dan memakannya, ia memberikannya juga kepada suaminya, yang bersama-sama dengan dia. (bdk. Kej.3:6). Itu berarti Adam ada di situ, waktu Hawa memetik buah larangan Allah itu.
Pertanyaan berikutnya ialah apakah Adam tidak ada atau tidak mendengar larangan Allah itu? Kalau ia ada dan mendengar, maka mengapa ia tidak mengendalikan Hawa? Apalagi waktu itu, Adam ada bersama-sama dengan Hawa saat memetik dan memakan buah itu.
Pertanyaan-pertanyaan di atas menunjuk jelas bahwa sejak mulanya, setelah Allah menciptakan manusia, manusia yang sama itupun telah menaruh rasa curiga terhadap Allah. Inilah akarnya bahwa rasa curiga terhadap Allah merupakan kunci kejatuhan manusia dalam dosa.
Kecurigaan terhadap Allah, yang satu sisi dapat disebut sebagai kesombongan manusia untuk tidak mengindahkan kepedulian Allah dalam bentuk larangan, sesungguhnya merupakan akar terdalam, yang menyebabkan manusia jatuh dalam dosa.
Sebelumnya, Adam dan Hawa mengalami ketelanjangan sebagai suatu situasi kedekatan dengan Allah. Itu berarti ketelanjangan itu suatu kerohanian. Maksudnya ialah dalam ketelanjangan, manusia memasrahkan segalanya secara total kepada Allah dan hanya kepada Allah. Sama seperti berkerohanian berarti hanya mengandalkan Allah sebagai kekuatan hidup, dan hanya Allah-lah yang tahu tentang semuanya itu.
Kecurigaan, kesombongan akhirnya mengantar ketelanjangan menuju suatu konteks yang memalukan, dan justru terjadi setelah mereka melanggar perintah Allah; memetik dan memakan buah terlarang itu.
Maka terbukalah mata mereka berdua (baca: Adam dan Hawa) dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat. Â (Kej 3:7).
Ketelanjangan menjadi sesuatu yang menakutkan. Karena takut, ketelanjangan itu disembunyikan. "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi." Â (Kej 3:10).
Akhirnya ketelanjangan yang mulanya bertenaga sebagai kerohanian yang dapat mendekatkan manusia dengan Allah dalam situasi Eden yang sejuk itu, menjadi sesuatu yang menakutkan, memalukan dan disembunyikan.
Dalam situasi menakutkan itu, Adam mempersalahkan Hawa; Hawa pun mempersalahkan ular. (Kej.3:12-13).
Jelaslah bahwa dalam situasi telah salah, saling mempersalahkan mudah terjadi sebagai strategi membela diri. Kesalahan selalu merupakan pintu bagi kesalahannya berikutnya jika tidak dibarengi dengan pertobatan.