Mohon tunggu...
Yudel Neno
Yudel Neno Mohon Tunggu... Penulis - Penenun Huruf

Anggota Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT (Kampung NTT)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketelanjangan yang Bertenaga

13 November 2019   21:04 Diperbarui: 15 November 2019   14:01 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nas Kitab Suci menjawab; setelah Hawa memetik buah itu dan memakannya, ia memberikannya juga kepada suaminya, yang bersama-sama dengan dia. (bdk. Kej.3:6). Itu berarti Adam ada di situ, waktu Hawa memetik buah larangan Allah itu.

Pertanyaan berikutnya ialah apakah Adam tidak ada atau tidak mendengar larangan Allah itu? Kalau ia ada dan mendengar, maka mengapa ia tidak mengendalikan Hawa? Apalagi waktu itu, Adam ada bersama-sama dengan Hawa saat memetik dan memakan buah itu.

Pertanyaan-pertanyaan di atas menunjuk jelas bahwa sejak mulanya, setelah Allah menciptakan manusia, manusia yang sama itupun telah menaruh rasa curiga terhadap Allah. Inilah akarnya bahwa rasa curiga terhadap Allah merupakan kunci kejatuhan manusia dalam dosa.

Kecurigaan terhadap Allah, yang satu sisi dapat disebut sebagai kesombongan manusia untuk tidak mengindahkan kepedulian Allah dalam bentuk larangan, sesungguhnya merupakan akar terdalam, yang menyebabkan manusia jatuh dalam dosa.

Sebelumnya, Adam dan Hawa mengalami ketelanjangan sebagai suatu situasi kedekatan dengan Allah. Itu berarti ketelanjangan itu suatu kerohanian. Maksudnya ialah dalam ketelanjangan, manusia memasrahkan segalanya secara total kepada Allah dan hanya kepada Allah. Sama seperti berkerohanian berarti hanya mengandalkan Allah sebagai kekuatan hidup, dan hanya Allah-lah yang tahu tentang semuanya itu.

Kecurigaan, kesombongan akhirnya mengantar ketelanjangan menuju suatu konteks yang memalukan, dan justru terjadi setelah mereka melanggar perintah Allah; memetik dan memakan buah terlarang itu.

Maka terbukalah mata mereka berdua (baca: Adam dan Hawa) dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.  (Kej 3:7).

Ketelanjangan menjadi sesuatu yang menakutkan. Karena takut, ketelanjangan itu disembunyikan. "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi."  (Kej 3:10).

Akhirnya ketelanjangan yang mulanya bertenaga sebagai kerohanian yang dapat mendekatkan manusia dengan Allah dalam situasi Eden yang sejuk itu, menjadi sesuatu yang menakutkan, memalukan dan disembunyikan.

Dalam situasi menakutkan itu, Adam mempersalahkan Hawa; Hawa pun mempersalahkan ular. (Kej.3:12-13).

Jelaslah bahwa dalam situasi telah salah, saling mempersalahkan mudah terjadi sebagai strategi membela diri. Kesalahan selalu merupakan pintu bagi kesalahannya berikutnya jika tidak dibarengi dengan pertobatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun