Sebagai akibatnya, Adam, Hawa dan si ular itu, mendapat hukuman yang setimpal dari Allah, Sang Pencipta.
Adam akan bekerja keras. Hawa akan mengalami sakit melahirkan dan si ular itu akan menjalar dengan perutnya. (Kej.3:14).
Permusuhan terjadi antara manusia dan ular. Manusia akan meremukkan kepala ular dan ular akan memagut tumit manusia.
Permusuhan terjadi untuk selanjutnya. Kain membunuh Habel, karena rasa curiganya terhadap Allah yang tidak mengindahkan persembahannya.
Kejahatan merebak di mana-mana dalam berbagai tingkatan, baik terhadap manusia maupun terhadap alam.
Akhirnya, manusia tidak lagi menghayati ketelanjangan sebagai suatu kerohanian yang dapat mengikatkan dirinya dengan Allah.
Manusia mulai menutup dirinya dengan pakaian, yang dapat ditafsir secara khusus sebagai simbol "tutup diri", dan masing-masing bermain dalam keasyikkannya yang dalam, seraya melihat pihak lain di luar dirinya sebagai gangguan yang perlu diabaikan, diremehkan dan bahkan harus dimusnahkan.
Dalam situasi "tutup diri" seperti di atas, ketelanjangan asali menjadi sesuatu yang sangat jauh untuk didekati. Manusia merasa takut untuk "telanjang". Apalagi dalam hukum etika modern ini, ketelanjangan bisa berujung pada jeruji besi.
Manusia tidak mau menelanjangi dirinya, melepaskan segala rasa curiga, rasa egois, rasa sombong, malah ia menjadikannya sebagai pakaian indah untuk bermegah. Sebagai akibatnya, kejahatan dan dosa, merebak di mana-mana.
Pembunuhan, penjualan manusia, terjadi di mana-mana.
Seandainya manusia kembali ke Taman Eden untuk merasakan kembali ketelanjangan asali, ketelanjangan yang bertenaga, di mana, Allah dirasakan dan dialami sangat dekat, dan sangat akrab, tentu semuanya akan baik-baik saja.