Salah satu sifat Gereja Katolik adalah apostolik. Disebut apostolik karena didirikan atas dasar para rasul (Ef. 2:20); dalam ajaran yang sama dengan ajaran para rasul; karena strukturnya yaitu diajar, dikuduskan dan dibimbing oleh para rasul melalui pengganti-pengganti mereka yakni para uskup dalam kesatuannya dengan pengganti Petrus (paus) sampai pada kedatangan Kristus kembali.[1] Â Di sini para Rasul (dia yang diutus), diutus sebagai saksi atas kebangkitan Kristus dengan mengemban tugas mewartakan Injil ke seluruh dunia sebagaimana amanat misi Yesus sendiri, "Karena itu, pergilah jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus (Mat. 28:19).[2]
Atas amanat misi Yesus ini, setiap umat beriman dalam terang rahmat pembaptisan dan iman akan Kristus, mengemban tugas misioner Gereja sebagai saksi, garam dan terang bagi dunia.[3] Di sini muncullah tuntutan katolisitas Gereja bahwa Gereja pada prinsipnya diutus oleh Allah untuk menjadi Sakramen Universal keselamatan bagi dunia.[4]
Demi mewujudkan Gereja sebagai Sakramen Keselamatan bagi dunia, melalui pewarisan apostolik untuk melanjutkan misi dan kuasa para rasul, sakramen tahbisan imamat suci ditempuh sebagai jalan untuk menetapkan hirarki Gereja dengan misi dan kuasa untuk menggembalakan umat Allah.[5] Melalui sakramen tahbisan ini, para uskup sebagai pengganti para rasul mengalami kepenuhan rahmat tahbisan dengan dibantu oleh para imam dan para diakon yang lazimnya disebut hirarki Gereja. Para imam ikut berpartisipasi dalam imamat uskup untuk menunaikan tugas-tugas imamiah menurut kehendak Kristus sendiri.[6]
Dalam menjalankan tugas imamiah yakni menguduskan, mewartakan dan menggembalakan, mereka tidak akan mampu menjadi pelayan Kristus apabila mereka tidak mampu pula menjadi saksi dan pembagi kehidupan lain selain di dunia ini. Para imam pun tidak akan mampu melayani sesama, apabila mereka tetap asing terhadap kehidupan serta situasi sesama manusia. Pelayanan para imam, atas alasan yang khas, muncul suatu tuntutan supaya mereka jangan menyesuaikan diri dengan dunia ini ; tetapi sekaligus meminta juga, supaya di dunia ini, mereka hidup di tengah masyarakat, dan sebagai gembala-gembala yang baik mengenal domba-domba mereka, dan berusaha mengajak domba-domba juga, yang tidak termasuk kawanan, supaya merekapun mendengarkan suara Kristus, dan terjadilah satu kawanan dan satu Gembala.[7]
Para imam sebagai bagian dari masyarakat tidak dapat menghindari martabatnya sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, setiap manusia menempuh jalur politik sebagai media untuk membangun interaksi dan memperjuangkan kebaikan bersama. Atas alasan inilah, Aristoteles menyebut bahwa manusia adalah zoon politicon atau makhluk politis karena bersesuaian dengan kehidupan sekelompok orang (polish) yang berkonsentrasi pada kebaikan bersama. Karena itu menurut Aristoteles, politik merupakan ilmu, aktivitas dan ruang yang paling cocok bagi manusia untuk memperjuangkan kebaikan tertingginya yakni kebahagiaan.[8] Â
Tentang kebahagiaan yang patut dicapai melalui kehidupan politik, Prof. Dr. Ramlan Surbakti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik mencatat bahwa kebahagiaan yang dimaksudkan dalam filsafat Aristoteles lebih menekankan aspek idea-etis sebagai rambu-rambu yang dapat dipedomani dalam berpolitik.[9
Lantas bagaimana tanggapan Gereja Katolik mengenai politik? Apakah Gereja merupakan Institusi politik? Siapa saja yang perlu berpolitik? Bagaimana berpolitik? Apakah seorang imam diperkenankan untuk berpolitik? Kalaupun seorang imam diperkenankan, dalam otoritas dan bidang manakah ia harus terlibat? Pertanyaan-pertanyaan ini mengantar penulis untuk mengkaji lebih dalam dengan mempelajari ajaran-ajaran Gereja tentang imam meliputi jabatan dan tugas serta politik meliputi  hakekat dan tujuan dari politik.
Dengan melakukan pengamatan pribadi dan interview bersama mahasiswa-mahasiswi Sekolah Tinggi Pastoral (STIPAS) Keuskupan Agung Kupang, penulis berusaha mengkaji bagaimana mereka memahami imam dan politik serta relevansinya terhadap keterlibatan imam dalam bidang politik.
Seringkali kita mendengar pernyataan ataupun kritikan bahwa kaum klerus atau kaum tertahbis (imam) tidak boleh berpolitik atau terlibat dalam bidang politik. Dalam berbagai hajatan politik, kita pun menyaksikan aksi kaum klerus tertentu entah melalui mimbar Sabda, katekese-katekese dan pertemuan-pertemuan kelompok kategorial, menyelinapkan maksud politis (mempromosikan atau mempropagandakan) figur tertentu menjelang suksesi kepemimpinan politik. Menyikapi fenomen-fenomen ini, bagaimana tanggapan Gereja, khususnya tentang keterlibatan imam dalam berpolitik?
Gereja terlibat dalam bidang politik tetapi tidak dalam arti tindakan teknis. Gereja tidak memiliki wewenang teknis untuk memecahkan persoalan-persoalan politik. Apa yang lebih dahulu ditandaskan oleh Bapa Suci Paus Paulus VI dan Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II Â tentang Keterlibatan Sosial Gereja memiliki batas-batasnya.
Gereja tidak berwewenang dalam urusan yang bersifat teknis, mengingat bahwa tugas Gereja bukanlah pada bidang politik (institusi politik) dan ekonomi (institusi ekonomi). Tugas Gereja berkaitan dengan perilaku moral dan urusan kemanusiaan. Gereja adalah pakar perihal kemanusiaan. Gereja terpanggil sebagai pakar perihal kemanusiaan karena yang diperjuangkan adalah martabat manusia. Segala soal sosial yang menjerat martabat manusia, dalam terang Ajaran Sosial Gereja, diletakkan dasar-dasar semangat kristiani sebagai pedoman dalam usaha untuk membebaskan manusia dari segala problem sosial.[10]
Dalam kaitannya dengan politik di dalam hidup bernegara, Paus Yohanes Paulus II menandaskan bahwa kewarganegaraan dapat dilepas dari agama dan Gereja tetapi bukan dari moralitas.[11] Merupakan hak dan kewajiban Gereja untuk menyediakan suatu keputusan moral pada masalah-masalah duniawi ketika hal ini dituntut olen iman atau hukum moral.[12]
Dalam iman dan hukum moral, pelayanan terhadap keluhuran martabat manusia dan kemajuan manusiawi yang benar adalah wujud iman akan Sang Pencipta. Sebagai wujud iman pula, Gereja Katolik terpanggil untuk menolak apa yang berbahaya bagi kehidupan demokrasi yakni suatu konsep pluralisme yang merefleksikan relativisme moral, di mana tidak ada satu kebenaran yang pasti atau kebenaran sangat bergantung pada masing-masing lembaga atau perorangan.[13]
Panggilan sebagai orang kristiani untuk mengabdi pada kebenaran, sesungguhnya tidak mutlak mengacu pada persoalan perorangan atau kelembagaan. Berdasar pada  iman dan moral, seorang pejuang politik Katolik dituntut untuk bertindak menurut suara hati kristianinya sebagai tempat di mana Allah bersemayam.[14] Tuntutan suara hati kristiani ini hadir berupa cinta kasih yang mengabdi seluruhnya pada kebenaran serentak menegakkan keadilan demi menggapai perdamaian umat manusia dalam segala bidang kehidupan.
Cinta kasih yang mengabdi pada kebenaran membebaskan manusia dari godaan-godaan relativisme iman dan tindakan. Di sini, kasih dapat dikenali sebagai ungkapan autentik kemanusiaan dan satu unsur penting dan utama dalam membangun relasi kemanusiaan dengan mengabdi pada kebenaran. Hanya dalam kebenaran, kasih dapat memancarkan cahaya. Kasih tanpa kebenaran akan merosot masuk ke dalam perasaan sentimental. Kasih tanpa kebenaran akan menjadi ruang kosong, untuk dipenuhi dengan cara yang sewenang-wenang. Kasih akan menghadapi resiko berat dalam budaya tanpa kebenaran.[15]
Dalam arti ini, kita paham bahwa Gereja (para gembala Gereja) terlibat dalam bidang politik, hanya dalam kerangka digerakkan oleh kebenaran iman dan moral. Para gembala Gereja berhak dan bahkan wajib untuk terlibat dalam bidang politik kalau segala praktek politik dalam negara nyatanya telah mencoreng iman, merugikan martabat pribadi manusia dan kesejahteraan umum diporak-porandakan.
Walaupun demikian, Gereja sama sekali tidak identik dengan persekutuan politik. Gereja, yang karena tugas dan wewenangnya sama sekali tidak identik dengan persekutuan politik, adalah tanda sekaligus pembela hakikat transendensi manusia. Atas arti pembela hakikat transenden manusia, Gereja terpanggil untuk menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warga negara dengan memandang persekutuan politik sebagai persekutuan yang dijiwai oleh iman dan moral demi mencapai kesejahteraan bersama. Kesejahteraan ini dalam terang iman akan karya eskatologis dilihat sebagai keselamatan universal bagi umat manusia.[16]
Sebagaimana ditandaskan bahwa pada bidang masing-masing, negara dan Gereja bersifat otonom tidak saling tergantung. Tetapi keduanya, kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Pelaksanaan itu akan semakin efektif dijalankan oleh keduanya demi kesejahteraan umum, apabila semakin baik keduanya menjalin kerja sama yang sehat dengan mengindahkan situasi setempat dan sesama. Sebab manusia tidak terkungkung dalam tata duniawi melulu, melainkan sementara mengarungi sejarah manusiawi, ia sepenuhnya mengabdi kepada panggilannya untuk kehidupan kekal.
Gereja, yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi melalui ajaran-Nya dan melalui kesaksian umat kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warganegara.[17]
Lebih lanjut lagi diuraikan bahwa demi terlaksananya tata-keselamatan hendaklah kaum beriman belajar membedakan dengan cermat antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka selaku anggota Gereja, dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban mereka sebagai anggota masyarakat manusia. Hendaklah mereka berusaha memperpadukan keduanya secara selaras, dengan mengingat, bahwa dalam perkara duniawi mana pun mereka wajib menganut suara hati kristiani. Sebab tiada tindakan manusiawi satupun, juga dalam urusan-urusan duniawi, yang dapat dilepaskan dari kedaulatan Allah.[18] Â
Gereja terlibat berpolitik dalam kerangka moral dan martabat manusia. Dalam perutusan Gereja khususnya para imam, mereka dapat menyampaikan penilaian moral, juga menyangkut hal-hal tata politik, bila itu dituntut oleh hak-hak asasi manusia atau oleh keselamatan jiwa-jiwa, dengan menggunakan semua dan hanya bantuan-bantuan, yang sesuai dengan Injil serta kesejahteraan semua orang, menanggapi zaman maupun situasi yang berbeda-beda. Dalam terang injil, Gereja menjatuhkan keputusan moral demi kesejahteraan bersama dalam bidang ekonomi dan sosial, bila itu dituntut oleh hak-hak asasi manusia dan keselamatan jiwa-jiwa. Dalam arti ini, Gereja perlu memanfaatkan dan bersikap atas hal-hal duniawi sejauh dibutuhkan oleh perutusannya. Tetapi Gereja tidak menaruh harapannya atas hak-hak istimewa yang ditawarkan oleh pemerintah, bahkan Gereja perlu melepaskan hak-hak yang sah oleh negara kalau Gereja memandang bahwa syarat-syarat dalam hak itu merugikan atau melanggar moralitas matabat manusia dan bertentangan dengan keselamatan universal umat manusia.[19]
Bukan tugas gembala Gereja untuk berpolitik praktis. Gereja dalam arti yang khusus dimengerti sebagai urusan gembala-gembala Gereja. Walaupun demikian, bukanlah urusan gembala-gembala Gereja supaya secara langsung campur tangan di dalam struktur politik dan di dalam organisasi kehidupan sosial misalnya partai politik.[20]
Tugas berpolitik (praktis) ini merupakan tugas khas perutusan awam beriman, yang karena dorongan sendiri, bekerja sama dengan sesama warga negaranya. Ada aneka ragam jalan konkret terbuka bagi keterlibatan sosialnya. Ia selalu harus mengarah kepada kesejahteraan umum dan harus sesuai dengan pewartaan Injil dan ajaran Gereja.Â
Adalah tugas awam beriman, "menjiwai kenyataan-kenyataan sementara dengan komitmen Kristen, yang olehnya mereka memperlihatkan bahwa mereka adalah saksi dan pelaku perdamaian dan keadilan untuk menumbuhkan Kerajaan Allah di tengah-tengah masyarakat. Melalui iman mereka pula, seorang awam Katolik meninggalkan tanda dalam kehidupan politik sebagai bentuk dukungan terhadap kehidupan Gereja itu sendiri.[21]
[9] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta; PT. Grasindo, 1999), hlm.3.
[12] GS, art. 76., bdk., PUKKP, art. 3.
[19] KGK., art.,2246, 2420, bdk., GS., art.,76.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H