Mohon tunggu...
Yudel Neno
Yudel Neno Mohon Tunggu... Penulis - Penenun Huruf

Anggota Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT (Kampung NTT)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Spiritualitas Sosialitas di Tengah Pluralisme Modern

4 November 2018   09:29 Diperbarui: 4 November 2018   21:28 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Eksistensi manusia diperhadapkan dengan berbagai bidang kehidupan, menuntutnya untuk menekuni profesi-profesi hidup. Di sini profesi dimengerti sebagai pekerjaan yang secara permanen dilakukan. 

Dari pemahaman ini, sekiranya dapat kita pahami berbagai profesi; sebagai seorang ayah atau seorang ibu, seorang politikus atau seorang wirausaha, seorang petani atau seorang pegawai, seorang mahasiswa atau seorang pekerja, dst. Secara misioner, profesi hidup dimengerti sebagai panggilan hidup setiap orang. 

Sebutan panggilan hidup menunjuk pada keseluruhan orientasi hidup. Untuk itu, menghayati panggilan berarti menjalankan hidup dengan pengabdian diri secara total. 

Di sini, panggilan setiap orang dihayati dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dirinya. Walaupun atas cara yang berbeda, jaminan atas kuatnya penghayatan dan realisasi panggilan hidup adalah kesetiaan.

Kesetiaan panggilan diuji dalam kebersamaan dengan yang lain. Secara eksistensial, kesetiaan seseorang teruji ketika berhadapan dengan yang lain, yang seringkali hadir dalam bentuk tantangan sekaligus dukungan. 

Yang lain ini menunjuk pada fakta keberagaman. Yang lain semakin dimengerti dalam keberagaman. Semakin beragam semakin lain. Oleh karena itu, panggilan selain bersifat personal juga berdimensi sosial dimana seseorang dipanggil untuk menjadi diri sendiri dan mengungkapkan diri di antara yang lain. Dimensi sosial panggilan ini berakar dari kodrat manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial. 

Sosialitas Melahirkan Pluralisme

Manusia sebagai makhluk sosial ia tidak hidup sendiri. Dari kodratnya, manusia selalu ada bersama. Sosialitas melekat dalam eksistensi manusia. Sosialitas adalah keharusan dari tuntutan pokok bagi manusia. Memahami hakekat sosialitas kita dapat mengikuti pemikiran filsuf eksistensialis modern, Martin Heidegger. 

Baginya, eksistensi mendasar manusia adalah ada bersama. Kehidupan manusia merupakan perpaduan antara manusia dengan manusia yang lainnya. Berada bersama dengan pribadi-pribadi lain adalah kodrat manusia. 

Berada bersama itu terberi sejak awal dan terus melekat dalam diri manusia jika ia mau bereksistensi. Sehingga kebersamaan adalah dunia manusia yang nyata dimana di dalamnya setiap individu mengambil bagian dalam kehidupan orang lain. Orang yang terus hidup sendiri cenderung jatuh dalam lamunan yang tak nyata atau ilusi.

Heidegger menggunakan term autentisitas untuk mengungkapkan keterbukaan dan penyerahan diri sebagai unsur-unsur yang menandai kebersamaan manusia. 

Autentisitas membedakan hubungan manusia dengan sesamanya (Vorhendenes) dan hubungan manusia dengan  benda-benda (Zuhandenes). Kebersamaan manusia dengan benda-benda bersifat terbatas dan tertutup tanpa interkomunikasi. Hubungan dengan benda-benda bersifat fungsional dan aksidental sementara hubungan manusia dengan sesamanya adalah mutlak, perlu dan tak terhindarkan. 

Hubungan itu terjadi dengan subyek yang memberi dan subyek yang menerima. Subyek hanya menjadi dirinya sendiri karena kehadiran orang lain yang menunjang perkembangannya. Dengan ini, kehadiran orang lain menjadi begitu penting, tak bisa diabaikan begitu saja apalagi ditolak karena dianggap mengganggu setiap keberadaan.

Sosialitas melahirkan fakta tentang keberagaman. Keberagaman menjadi tampak jelas terlebih dalam membaca kehidupan modern ini. Pluralisme sosial, kultural, religius dan etis menjadi panorama yang terpampang pada alam masyarakat modern. 

Selain itu, era globalisasi juga memampangkan kebhinekaan yang kompleks sebagaimana terjadi dalam negara-negara yang saling berpengaruh baik dalam bidang ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan, kedokteran dan teknik, pendidikan menengah dan perguruan tinggi, musik, sastra, arsitektur dan seni. Inilah realitas conditio humana kita kini. 

Semua itu datang dari subyek-subyek yang berlainan dengan cara pandang dan ideologi yang berbeda dalam mengungkapkan dirinya. Kita mengenal yang lain serentak menerima situasi-situasi yang beragam.

Menyadari sosialitas sebagai kodrat manusia kita pun harusnya mengakui bahwa pluralisme dalam dirinya sesungguhnya bukan sebuah persoalan. Sebaliknya yang menjadi persoalan adalah egoisme sebagaimana dikatakan Immanuel Kant bahwa lawan dari pluralisme adalah egoisme subyek yang hanya puas dengan dirinya sendiri dan tidak komunikatif.

Secara netral, pluralisme adalah keadaan yang menggambarkan kondisi masyarakat yang berbhineka dan terdiferensiasi. Pluralisme juga dipandang sebagai sebuah nilai positif sebab dari sudut pandang normatif dapat diinterpretasi sebagai basis nilai dari sebuah kehidupan bersama.

Sebagai sebuah fakta, kita tak bisa menolak adanya pluralisme. Menolak pluralisme berarti menyangkal sosialitas. Pluralisme bukanlah hal yang miris melainkan sepadan dengan apa yang ada pada kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana orang sanggup menghidupi panggilannya di tengah keadaan yang semakin plural? Bagaimana ia tetap berada dalam panggilanya tanpa menyimpang ke jalan orang lain atau mengambil yang bukan menjadi porsinya?

Kuat Dalam Panggilan di Tengah Keberagaman

Dalam kehidupan modern yang dihiasi oleh beragam ada sebagaimana disebutkam di atas, kesetiaan panggilan kita semakin ditantang sebab ada berbagai macam tawaran. Tawaran itu bisa jadi peluang sekaligus tantangan. 

Peluangnya adalah kualitas panggilan kita semakin dipertegas karena pada hakekatnya kualitas panggilan diuji dalam kebersamaan dengan yang lain. Kebersamaan itu tersusun dari unsur-unsur yang berlainan dan berlawanan. 

Sementara tantangan yang dapat kita hadapi adalah bahaya-bahaya yang dapat merusak panggilan kita seperti  tampak dalam seorang politikus yang terpidana karena korupsi, seorang mahasiswa yang mengalami droop out karena kekurangan SKS di akhir semester atau calon imam ex karena kedapatan menggunakan hp dll.

Semua itu dapat dikatakan demikian ketika orang mulai kehilangan prioritasnya. Identitas panggilan itu tetap sempurna dalam dirinya ketika ia diprioritaskan. 

Berbicara tentang kesetiaan terhadap panggilan hidup maka seyogyanya kita memberi fokus pada prioritas. Prioritas adalah apa yang diutamakan, tak boleh dihancurkan oleh kesibukan-kesibukan sampingan yang mungkin lebih mudah dan menarik. Ketika tidak diprioritaskan ia bukan lagi panggilan. 

Prioritas adalah rutinitas yang datang dari proses. Prioritas runtuh ketika rutinitas diganti sepenuhnya oleh kesibukan-kesibukan sampingan.

Anak kos yang adalah mahasiswa dengan priorotasnya belajar terjerat dalam rutinitas malam yang penuh mabuk-mabukkan dan hancur-hancuran dalam pesta pora dentuman musik dj. Seorang politisi yang terkenal hebat dengan strategi berpolitiknya selama bertahun-tahun langsung kehilangan kepercayaan seketika ia sekali melakukan korupsi.

Fakta keberagaman yang datang dengan ke-serbaadaan-nya menentang prioritas kita. Kita diperhadapkan dengan berbagai objek yang mau tidak mau harus diakui keberadaannya. Kita seakan-akan diterpa oleh kedatangan objek-objek itu yang tampil dalam rupa-rupa kebaruan. 

Objek-objek itu adalah produk dari kemajuan manusia yang mendorong kita untuk terseret di dalamnya. Mereka datang dengan nilai-nilai yang tak jarang mengancam.

Menjunjung prioritas juga berarti memelihara nilai-nilai yang mutlak perlu. Modernisasi menghadirkan mental baru seperti rasionalisme, individualisme, sekularisme, materialisme, konsumerisme dll. 

Semangat individualisme misalnya membuat politik direduksi pada kekuasaan dan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Demi kepentingan kaum tertentu bahkan agama dipolitisasi. Semangat sekularisme dapat membuat orang jatuh pada pandangan yang mengabaikan agama. Manusia menjadi tuhan atas dirinya.

Pertanyaan tentang kuat dalam panggilan semakin relevan dalam era keberagaman ini. Sanggupkah setiap orang berada pada jalannya dan menghidupi jalannya sebagaimana mestinya? Sementara ada jalan lain yang cukup menggiurkan dan ada nilai baru lainnya yang selalu ditawarkan. Lantas, apa sikap yang harus dibangun berhadapan dengan pluralisme ini? Apakah menghadapinya dengan rasa takut dan terkungkung atau melihatnya secara positif dan menghidupinya sebagai pertanggungjawaban hakikat sosial kita?

Bersaudara dalam Keberagaman

Seturut hakikat kita sebagai makhluk sosial bersaudara adalah mutlak. Persaudaraan mengatasi batas-batas perbedaan. Kualitas persaudaraan diukur dalam sikap kita terhadap perbedaan. Apakah menerima perbedaan dan berjalan bersama atau cenderung menolak perbedaan dan lebih suka menyeragamkan segala sesuatu.

Bahaya penyeragaman adalah ketakutan. Manusia tidak lagi dilihat dalam dirinya sebagai seorang persona tetapi lebih dipandang sebagai elemen massa dan bahkan musuh kelompok. Ia bukan lagi Muhammad melainkan orang Islam. 

Di dalam tubuh pluralisme seperti ini orang lain sering dianggap menakutkan karena persentuhan dengan subyek lain dihindari karena persentuhan itu dikira dapat merubah pribadinya.Relasi intersubyektivitas seakan bahaya bagi survival-nya.

Kita berusaha sedemikian mungkin untuk menghindari penyeragaman dan menghargai perbedaan. Penghargaan terhadap keberbedaan adalah sikap yang lebih mengarah kepada kehidupan. Menghargai perbedaan adalah dasar untuk menghidupkan nilai-nilai sosialitas. Tanpa penghargaan terhadap keterbukaan, tanggung jawab, solidaritas, kepercayaan dan keadilan menjadi tak mungkin.

Perbedaan sesungguhnya tidak mendeterminasi atau menghilangkan panggilan kita apabila kita sanggup memaknai persaudaraan dalam keberagaman secara benar. Persaudaraan yang benar adalah hubungan persahabatan yang saling menerima apa yang pantas dan menolak apa yang perlu. Persaudaraan tetap menjadi langgeng asalkan kita tidak kehilangan fokus, sikap selektif dan konsistensi. Persaudaraan yang demikian adalah bagaimana kita menghargai perbedaan tanpa takut kehilangan.

Fokus adalah penyatuan segala kemampuan untuk mencapai tujuan. Dalam keadaan fokus kita tidak perlu menutup diri terhadap hal-hal baru yang berlainan melainkan tetap selektif untuk memilih yang tepat dan tak merusak. Dengan selektif sesungguhnya kita tampil sebagai manusia yang tidak berubah-ubah, tidak bermuka dua dan bertujuan ganda melainkan konsisten dengan tujuan yang ada. Fokus, selektif dan konsisten adalah cara mempertahankan prioritas.

Penulis         : Oliviera Kapitan

Editor          : Yudel Neno

1 Kasdin Sitohang, Filsafat Manusia, Upaya Membangkitkan Humanisme, (Kanisius: Yogyakarta, 2009), hlm. 103

2. Otto Gusti Madung,  Post-Sekularisme, Toleransi Dan Demokrasi, (Penerbit Ledalero: Maumere, 2017), hlm. 122

3.  Ibid., hlm. 54

4    F. Budi Hardiman,  Masa, Teror dan Trauma, (Penerbit Ledalero: Maumere, 2011), hlm. 65

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun