Sementara tantangan yang dapat kita hadapi adalah bahaya-bahaya yang dapat merusak panggilan kita seperti  tampak dalam seorang politikus yang terpidana karena korupsi, seorang mahasiswa yang mengalami droop out karena kekurangan SKS di akhir semester atau calon imam ex karena kedapatan menggunakan hp dll.
Semua itu dapat dikatakan demikian ketika orang mulai kehilangan prioritasnya. Identitas panggilan itu tetap sempurna dalam dirinya ketika ia diprioritaskan.Â
Berbicara tentang kesetiaan terhadap panggilan hidup maka seyogyanya kita memberi fokus pada prioritas. Prioritas adalah apa yang diutamakan, tak boleh dihancurkan oleh kesibukan-kesibukan sampingan yang mungkin lebih mudah dan menarik. Ketika tidak diprioritaskan ia bukan lagi panggilan.Â
Prioritas adalah rutinitas yang datang dari proses. Prioritas runtuh ketika rutinitas diganti sepenuhnya oleh kesibukan-kesibukan sampingan.
Anak kos yang adalah mahasiswa dengan priorotasnya belajar terjerat dalam rutinitas malam yang penuh mabuk-mabukkan dan hancur-hancuran dalam pesta pora dentuman musik dj. Seorang politisi yang terkenal hebat dengan strategi berpolitiknya selama bertahun-tahun langsung kehilangan kepercayaan seketika ia sekali melakukan korupsi.
Fakta keberagaman yang datang dengan ke-serbaadaan-nya menentang prioritas kita. Kita diperhadapkan dengan berbagai objek yang mau tidak mau harus diakui keberadaannya. Kita seakan-akan diterpa oleh kedatangan objek-objek itu yang tampil dalam rupa-rupa kebaruan.Â
Objek-objek itu adalah produk dari kemajuan manusia yang mendorong kita untuk terseret di dalamnya. Mereka datang dengan nilai-nilai yang tak jarang mengancam.
Menjunjung prioritas juga berarti memelihara nilai-nilai yang mutlak perlu. Modernisasi menghadirkan mental baru seperti rasionalisme, individualisme, sekularisme, materialisme, konsumerisme dll.Â
Semangat individualisme misalnya membuat politik direduksi pada kekuasaan dan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Demi kepentingan kaum tertentu bahkan agama dipolitisasi. Semangat sekularisme dapat membuat orang jatuh pada pandangan yang mengabaikan agama. Manusia menjadi tuhan atas dirinya.
Pertanyaan tentang kuat dalam panggilan semakin relevan dalam era keberagaman ini. Sanggupkah setiap orang berada pada jalannya dan menghidupi jalannya sebagaimana mestinya? Sementara ada jalan lain yang cukup menggiurkan dan ada nilai baru lainnya yang selalu ditawarkan. Lantas, apa sikap yang harus dibangun berhadapan dengan pluralisme ini? Apakah menghadapinya dengan rasa takut dan terkungkung atau melihatnya secara positif dan menghidupinya sebagai pertanggungjawaban hakikat sosial kita?
Bersaudara dalam Keberagaman