Setiap lima tahun sekali bangsa Indonesia merayakan pesta demokrasi yakni pemilu. Dalam waktu lima tahun pula, seorang pemimpin rakyat entah eksekutif maupun legislatif, berkonsentrasi pada kesejahteraan rakyat melalui kebijakan dan perhatian. Siapapun dia, apalagi pemimpin bangsa ini, ia tidak boleh lupa bahwa kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi Bangsa ini.
Pertanyaanya ialah momen menjelang pemilu (tahun 2019), siapakah yang pantas memimpin negeri kita ini? Banyak pertimbangan dapat kita pikirkan. Ada yang mengatakan mesti memilih pemimpin yang  gesit dan cekatan dalam mengatasi persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Ada pula yang mengatakan mesti memilih pemimpin yang bukan koruptor. Saya yakin, berbagai komentar kita dengar dan baca dalam media sosial.
Berbagai persoalan dimunculkan ke permukaan, menjelang suksesi kepemimpinan di Indonesia ini sebagai strategi untuk meraup perhatian rakyat. Adapun persoalan-persoalan itu ialah sejauhmana perjuangan mengatasi pertumbuhan bangsa kita dengan memanfaatkan dan mengoptimalkan sumber daya yang tersedia di bumi Indonesia ini. Perosalan yang kedua adalah membangun infrastuktur dalam negeri terkhusus daerah-daerah yang belum mendapatkan akses sampai saat ini.
Secara keseluruhan yang mau dikatakan di sini ialah sejauhmana "Para Petarung Politik 2019" mampu merealisasikan visi-misi mereka demi kesejahteraan rakyat. Sesungguhnya, inilah adalah pekerjaan rumah bagi para Capres-Cawapres 2019. Pekerjaan rumah ini merupakan suatu langkah awal demi terciptanya kepercaayaan rakyat mejelang pilpres 2019.
Demi memperjuangkan keterpilihan sebagai penguasa di negeri ini, banyak strategi dipakai untuk merebut kekuasaan pada pemilu 2019. Segala cara digunakan untuk merebut hati rakyat, entah itu dengan cara yang halal sampai pada cara yang haram. Tujuan dilakukan cara tersebut adalah untuk memperoleh kemenangan dalam kancah politik ini.
Fenomena yang muncul dalam media sosial akhir-akhir ini ialah penyebaran berita-berita hoax. Bahkan agama pun turut diperalat oleh pihak tertentu untuk mencapai kekuasaan. Ujaran kebencian dan kampanye negatif pun dilancarkan sebagai strategi untuk melemahkan lawan politik. Sindir-sindir politis pun dengan gencarnya dilakukan. Kecaman-kecaman politis pun banyak kali kita dengar. Â
Semua strategi tersebut seakan-akan sudah darah-daging dalam tubuh politik dan terkesan sulit disingkirkan. Lantas kemanakah nilai demokratis itu? Apakah nilainya sudah terkubur dalam politik yang membabibuta? Pertanyaan tersebut mengingatkan kita akan nilai demokratis dalam berpolitik yang baik dan benar sesuai dengan cita-cita bangsa ini.
Sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, setiap calon pemimpin dan pemimpin perlu ingat bahwa rakyat membutuhkan pemimpin yang merakyat, yang mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di Negeri kita ini demi terciptanya POLEKSOSBUDHANKAMNAS yang kondusif. Sebab menjadi iming-iming yang tidak terselesaikan apabila kepercayaan yang dipercayakan oleh rakyat tidak diatasi selama priode waktu yang sudah ditetapkan.
Asas kerakyatan yang selama ini dicita-citakan oleh Bangsa kita dalam mewujudkan pemilu yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila, seakan-akan menjadi teori yang berbeda dengan realitas yang ada. Teori tentang nilai demokratis dalam memilih, terkesan dengan sengaja dibelokkan begitu saja. Ada kesenjangan yang begitu besar antara teori dan realitas.
Entah apa dan siapa yang bisa mengatasi persoalan ini tentang nilai demokrasi saat berpolitik, diperlukan kajian yang lebih serius dan mendalam. Sebab di tengah arah permainan poltik yang sulit kita tebak ini, sangat dibutuhkan paradigma berpikir yang kritis untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi yang berlaku dalam Bangsa tercinta ini. Pola berpikir kritis ini diperlukan untuk mencermati dan menegakkan nilai-nilai demokratis menjelang pemilu yang terkesan mengatasnamakan identitas tertentu dalam berpolitik untuk mengantongi suara terbanyak di wilayah tertentu.
Kita juga sedang bergerak dalam jangka waktu mengenang Hari Sumpah Pemuda, setiap 28 Oktober. Sekiranya, nilai-nilai sumpah pemuda yang akan diperingati pada 28 Oktober menjadi bahan refklesi yang berharga menyongsong pesta demokrasi tahun 2018, bahwa sesungguhnya nilai persatuan adalah kekuatan yang dapat menyatukan kita dari waktu ke waktu.
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 mempunyai makna bagi kita yakni berbangsa satu, bertanah air satu dan berbahasa satu. Tiga unsur utama ini patut dipedomani sebagai kekuatan bagi perjuangan demokrasi menjelang pilpres 2019.
Ketiga unsur sumpah pemuda ini, menunjuk jelas pada nilai persatuan bahwa persatuan rakyat adalah unsur pembentuk Negara. Tanpa rakyat suatu negara tidak bisa terbentuk. Syarat-syarat terebentuknya sebuah negara secara de facto adalah harus memiliki rakyat selain dari memiliki wilayah dan pemerintah.
Konsep memiliki rakyat mempunyai arti bahwa rakyat adalah faktor terpenting sebelum pemerintah. Pemerintah yang mengatur dan mengelola Negara ini, mendapat sumbernya pada rakyat. Rakyatlah yang memilih, siapakah yang layak memimpin bangsa ini secara baik dan benar. Nilai kerakyatan inilah yang menjadi nilai demokrasi.
Demokarsi secara etimologis berasal dari kata demos dan kratos. Demos artinya rakyat dan kratos artinya pemerintahan. Demokrasi berarti pemerintahan berada di tangan rakyat. Rakyat menjadi pusat untuk memerintah, hanya saja reperesentasinya ada dalam diri presiden dan wakil presiden. Hal ini membuktikan kepada kita bahwa nilai demokrasi tersebut merupakan nilai yang luhur dan mulia.
Berkaitan dengan nilai demokratis tersebut, dalam kancah perpolitikan kali ini, tidak sedikit tantangan yang harus dihadapi, yakni merealisasikan nilai demokrasi tersebut dalam pemilu kali ini. Demokrasi menjadi sorotan publik apabila politik identitas ditempuh sebagai strategi. Strategi yang dipakai oleh para politikus dalam menyongsong pesta demokrasi tahun 2019 ini merupakan strategi yang sangat vital dan sensitif untuk menanamkan kepercayaan dalam dari rakyat. Namun semuanya ini tentunya dapat melunturkan nilai-nilai demokrasi yang sudah ada. Mengapa demikian? Alasannya sederhana yaitu dapat memecah-belah masyarakat ke dalam bagian-bagian tertentu.
Ada juga salah satu strategi yang sangat vital dalam politik Bangsa ini ialah politisasi agama. Politisasi agama merupakan suatu sikapi "infantil" yang ditunjukkan oleh para politikus demi menggapai kepentingannya. Kepentingan merupakan "harga mati" dalam berpolitik.
Harga mati yang dimaksudkan di sini adalah sikap yang tidak bisa tidak untuk dilakukan karena untuk mencapai tujuan tertinggi yaitu memperoleh kekuasaan. Praktek seperti inilah yang sesungguhnya membuat nilai-nilai demokrasi semakin luntur dalam proses pemilihan umum.
Pesta demokrasi yang akan berlangsung tahun depan telah diambang pintu. Segala strategi dipersiapkan oleh kedua Capres-Cawapres, untuk memperoleh dukungan suara dari rakyat. Presiden kita saat ini, usahanya tengah menjadi sorotan yang menarik bagi terciptanya kepercayaan rakyat dengan banyak sekali membuat perubahan-perubahan. Salah satu perubahan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi adalah membangun wilayah-wilayah perbatasan.
Pihak oposisi Prabowo Subianto juga berusaha dengan giat untuk menarik kepercayaan dari rakyat. Hal yang menarik dari kedua Capres tersebut adalah usaha mereka untuk mengambil hati rakyat. Di satu sisi ada yang berusaha untuk memupuk kepercayaan; di sisi lain pula, ada yang berusaha untuk menanamkan kepercayaan. Sikap tersebut merupakan langkah yang diambil oleh setiap Capres dan Cawapres untuk meyakinkan masyarakat terkait dengan jawaban siapa yang terbaik dalam memimpin bangsa ini.
Dalam berpolitik, Â banyak cara dilakukan demi memenangkan kursi RI 1. Kita kembali pada pokoknya yakni nilai-nilai demokrasi perlu dijunjung tinggi tanpa melibatkan strategi politik identitas karena hanya akan mengacaukan nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai demokrasi perlu dijunjung tinggi dan bukan sampai pada tataran itu saja tetapi juga dipelihara dalam berpolitik. Politik sebagai wadah yang digunakan untuk meyuarakan suara-suara rakyat harus dijaga oleh para politikus. Hal itulah yang membuat politik sebagai sesuatu yang suci karena dapat membawa aspirasi rakyat.
Aspirasi rakyat tersebut itulah yang direpresentasikan dalam diri seorang pemimpin. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu merakyat. Artinya pemimpin bukan sebatas "berkotek" dalam berkampanye tetapi juga mengimplementasikan apa yang sudah dibicarakan ketika terpilih menjadi seorang pemimpin. Sumpah Pemuda yang akan diperingati di Negeri ini pada 28 Oktober nanti telah mencapai umur  sembilan puluh tahun (90). Artinya semangat pemuda yang sudah dibangun 90 tahun yang lalu perlu dilihat sebagai semangat nasionalisme dan patriotisme di bangsa kita ini.
Semangat Pemuda yang bernyala-nyala yang menenkankan semangat berbangsa, bertumpah darah dan berbahasa merupakan bagian integral dalam diri setiap masyarakat Indonesia. Dengan adanya sumpah pemuda tersebut mau menunjukan nilai-nilai nasionalisme. Nilai-nilai nasionalisme bagi bangsa kita ini harus menjadi suatu yang bersifat evidensial, yang dapat membuktikan kepada bangsa ini nilai-nilai demokrasi dalam melaksanakan pemilu.
Secara keseluruhan yang menjadi keprihatinan dan sorotan untuk kita adalah sikap demokratis dalam berpolitik tanpa menggunakan strategi politik yang bernuansa identitas. Gaya berpolitik tersebut memang efektif dan nyaman bagi para politikus untuk mendapatkan keuntungan suara secara "instan". Instan yang dimaksudkan di sini ialah suatu cara yang dilakukan dengan gampang tanpa melihat resiko atau konsekuensinya. Sikap instan inilah yang menjadi pola permainan politikus dalam berolitik dewasa ini, khususnya di Negeri kita ini.
Politik identitas dan politisasi agama kini hadirnya menjadi serangan terhadap politik kita saat ini. Dua-duanya ditempuh semata-mata untuk saling meruntuhkan antar dua kubu politik. Sadar atau tidak, sikap dan cara ini menimbulkan suatu bahwa baru yakni terciptanya sekat-sekat politik.
Sekat-sekat tersebut tercipta karena perbedaan pola pikir tentang calon pemimpin yang dikampanyekan lewat politik identitas tersebut. Fenomen seperti ini menciptakan juga suatu kecemasan baru yang dapat menimbulkan disintegrasi sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu, yang perlu diubah dalam berpolitik adalah mentalitas tanpa menggunakan berbagai strategi yang menggangu image berpolitik.
Politik merupakan wadah yang suci karena membawa aspirasi rakyat. Aspirasi rakyat itulah yang menjadi tugas pemerintah untuk menunjukkan sikap dan tanggapannya terhadap rakyat. Sebab pemerintah adalah representasi dari rakyat dan oleh sebab itu segala sesuatu harus berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dalam mewujudkan pemerintah yang demokratis.
Pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang mampu memperjuangkan hak-hak rakyat. Sistem demokrasi yang berlandaskan Pancasila inilah yang harus diterapkan dalam pesta demokrasi tahun 2019, untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
Penulis : Fr. Peter Thaal (Mahasiswa Semester Satu Fakultas Filsafat Unwira Kupang)
Editor : Yudel Neno
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H