Mohon tunggu...
Yudel Neno
Yudel Neno Mohon Tunggu... Penulis - Penenun Huruf

Anggota Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT (Kampung NTT)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Identitas dan Politisasi Agama Menciderai Demokrasi

27 Oktober 2018   22:00 Diperbarui: 11 November 2018   07:25 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap lima tahun sekali bangsa Indonesia merayakan pesta demokrasi yakni pemilu. Dalam waktu lima tahun pula, seorang pemimpin rakyat entah eksekutif maupun legislatif, berkonsentrasi pada kesejahteraan rakyat melalui kebijakan dan perhatian. Siapapun dia, apalagi pemimpin bangsa ini, ia tidak boleh lupa bahwa kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi Bangsa ini.

Pertanyaanya ialah momen menjelang pemilu (tahun 2019), siapakah yang pantas memimpin negeri kita ini? Banyak pertimbangan dapat kita pikirkan. Ada yang mengatakan mesti memilih pemimpin yang  gesit dan cekatan dalam mengatasi persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Ada pula yang mengatakan mesti memilih pemimpin yang bukan koruptor. Saya yakin, berbagai komentar kita dengar dan baca dalam media sosial.

Berbagai persoalan dimunculkan ke permukaan, menjelang suksesi kepemimpinan di Indonesia ini sebagai strategi untuk meraup perhatian rakyat. Adapun persoalan-persoalan itu ialah sejauhmana perjuangan mengatasi pertumbuhan bangsa kita dengan memanfaatkan dan mengoptimalkan sumber daya yang tersedia di bumi Indonesia ini. Perosalan yang kedua adalah membangun infrastuktur dalam negeri terkhusus daerah-daerah yang belum mendapatkan akses sampai saat ini.

Secara keseluruhan yang mau dikatakan di sini ialah sejauhmana "Para Petarung Politik 2019" mampu merealisasikan visi-misi mereka demi kesejahteraan rakyat. Sesungguhnya, inilah adalah pekerjaan rumah bagi para Capres-Cawapres 2019. Pekerjaan rumah ini merupakan suatu langkah awal demi terciptanya kepercaayaan rakyat mejelang pilpres 2019.

Demi memperjuangkan keterpilihan sebagai penguasa di negeri ini, banyak strategi dipakai untuk merebut kekuasaan pada pemilu 2019. Segala cara digunakan untuk merebut hati rakyat, entah itu dengan cara yang halal sampai pada cara yang haram. Tujuan dilakukan cara tersebut adalah untuk memperoleh kemenangan dalam kancah politik ini.

Fenomena yang muncul dalam media sosial akhir-akhir ini ialah penyebaran berita-berita hoax. Bahkan agama pun turut diperalat oleh pihak tertentu untuk mencapai kekuasaan. Ujaran kebencian dan kampanye negatif pun dilancarkan sebagai strategi untuk melemahkan lawan politik. Sindir-sindir politis pun dengan gencarnya dilakukan. Kecaman-kecaman politis pun banyak kali kita dengar.  

Semua strategi tersebut seakan-akan sudah darah-daging dalam tubuh politik dan terkesan sulit disingkirkan. Lantas kemanakah nilai demokratis itu? Apakah nilainya sudah terkubur dalam politik yang membabibuta? Pertanyaan tersebut mengingatkan kita akan nilai demokratis dalam berpolitik yang baik dan benar sesuai dengan cita-cita bangsa ini.

Sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, setiap calon pemimpin dan pemimpin perlu ingat bahwa rakyat membutuhkan pemimpin yang merakyat, yang mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di Negeri kita ini demi terciptanya POLEKSOSBUDHANKAMNAS yang kondusif. Sebab menjadi iming-iming yang tidak terselesaikan apabila kepercayaan yang dipercayakan oleh rakyat tidak diatasi selama priode waktu yang sudah ditetapkan.

Asas kerakyatan yang selama ini dicita-citakan oleh Bangsa kita dalam mewujudkan pemilu yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila, seakan-akan menjadi teori yang berbeda dengan realitas yang ada. Teori tentang nilai demokratis dalam memilih, terkesan dengan sengaja dibelokkan begitu saja. Ada kesenjangan yang begitu besar antara teori dan realitas.

Entah apa dan siapa yang bisa mengatasi persoalan ini tentang nilai demokrasi saat berpolitik, diperlukan kajian yang lebih serius dan mendalam. Sebab di tengah arah permainan poltik yang sulit kita tebak ini, sangat dibutuhkan paradigma berpikir yang kritis untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi yang berlaku dalam Bangsa tercinta ini. Pola berpikir kritis ini diperlukan untuk mencermati dan menegakkan nilai-nilai demokratis menjelang pemilu yang terkesan mengatasnamakan identitas tertentu dalam berpolitik untuk mengantongi suara terbanyak di wilayah tertentu.

Kita juga sedang bergerak dalam jangka waktu mengenang Hari Sumpah Pemuda, setiap 28 Oktober. Sekiranya, nilai-nilai sumpah pemuda yang akan diperingati pada 28 Oktober menjadi bahan refklesi yang berharga menyongsong pesta demokrasi tahun 2018, bahwa sesungguhnya nilai persatuan adalah kekuatan yang dapat menyatukan kita dari waktu ke waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun