Catatan Pendahuluan
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW)-Kupang dalam kerjasama dengan beberapa lembaga pendidikan tinggi, menyelenggarakan satu event dialogal yakni Sekolah Perdamaian II, dengan tema : Berbeda Tetapi Bisa Hidup Bersama Dengan Damai. Kegiatan ini berlangsung selama dua hari (18-19/10/2018). Seluruh catatan ini, merupakan rangkuman dari kunjungan di Suku Boti (Kamis, 18/10/18).
Para peserta terdiri dari agama yang berbeda-beda yakni Kristen Protestan, Kristen Katolik, Islam, dan Hindu. Jumlah peserta 100 orang.
Kegiatan ini dimulai di aula UKAW-Kupang. Sesusai jadwal, pada Kamis, 18/10/18, para peserta berangkat ke Boti (salah satu situs budaya) di daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Â Untuk diketahui, wilayah Boti terletak sekitar 40 km dari kota Kabupaten TTS. Secara administratif, kini menjadi Desa Boti, Kecamatan Kie.
Melepaspergikan para peserta Sekolah Perdamaian II, Gubernur NTT yakni Viktor Bungtilu Laiskodat menegaskan tentang pentingnya perdamaian tidak hanya antar sesama yang beragama tetapi juga dengan sesama yang berbudaya, mengingat bahwa Bangsa Indonesia pada umumnya dan Propinsi NTT khususnya, masyarakatnya bercorak multikultural.
Para peserta berangkat dari UKAW tepat pukul 08.15 pagi -WITA. Ada tiga bus Damri dan satu bus Sinar Gemilang digunakan sebagai kendaraan transportasi. Perjalanan ini menyenangkan walaupun cuaca begitu panas. Apalagi medan menuju Boti, jalannya berliku-liku.
Maklumlah, jalannya sementara diperbaiki, jadi tebaran debu banyak kali menghalangi pandangan pengemudi bus. Rombongan ini didampingi dua pendamping yakni Pater Hendrik Maku, SVD dan Pendeta Lidya Muni.
Setibanya kami di Boti, banyak di antara kami kagum dengan situasi dan penampilan mereka. Situasi, penampilan, kondisi perumahan dan perkampungan benar-benar menunjukkan kondisi tradisional yang masih tetap dipertahankan hingga sekarang.
Kami mendapat kesempatan istimewa untuk mengunjungi istana Raja Boti. Untuk diketahui, Raja Boti bernama Namah Benu dan kini Raja Ketiga. Atas perintah Raja, kami disambut dengan Natoni, oleh seorang bapak (maaf tidak sempat tahu namanya).
Seusai itu, Raja pun menyambut kami dalam bahasa Dawan kaya ungkapan. Sambutan Raja ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bapak Yusak Taneo (Mantan Kepala Kankemenag Kab. TTS).
"Saya senang, kami dikunjung hari ini. Dengan kunjungan ini, kami tahu bahwa kita semua di bawah bumi pertiwi Indonesia ini, masih bersaudara. Pertemuan hari ini merupakan pertemuan dalam nama Tuhan. Untuk kami, kedatangan kamu semua bertemu kami di tempat ini, sama halnya bertemu dengan Tuhan. Ketika kami bertemu kamu di tempat ini, sama juga kami bertemu dengan Tuhan," pungkas Raja.
Untuk mengetahui tentang sistem pemerintahan, sistem kepercayaan, filosofi hidup Suku Boti, para peserta diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada Raja melalui perantara Bapak Yusak Taneo. Pertanyaan diajukan dalam bahasa Indonesia dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Dawan oleh Bapak Yusak. Demikian juga, jawaban Raja dalam bahasa Dawan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Saya membagi tulisan ini dalam "dua seputar" yakni seputar dialog dengan raja dan seputar pengamatan penulis terhadap kondisi kehidupan masyarakat Suku Boti.
Supaya teratur, dialog ini saya petakan menurut bidang-bidang yang saya istilahkan dengan kata seputar. Saya memberi kode penanya dengan P dan jawaban dari Raja dengan R.
Seputar Dialog dengan Raja
Adapun pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut. Sebagai catatan, nama penanya tidak disertakan (tidak sempat dicatat). Tetapi jawaban-jawaban di bawah ini, merupakan jawaban yang keluar dari mulut Raja sendiri.
Seputar Infrastruktur
P : Di tengah kemajuan modern, apakah sebagai pemimpin (Raja) tidak cemas akan lunturnya tradisi yang berlaku di kampung Boti?
R: Entah apapun kemajuan itu, saya memililh untuk tetap menjaga tradisi yang telah dipercayakan oleh para leluhur, supaya ada cerita hari ini dan esok. Sikap saya ini merupakan sikap untuk menjaga budaya; adat istiadat asli yang ada di TTS ini.
P : Sekarang ini akses jalannya makin terbuka; jalan raya masuk ke sini, secara perlahan mulai diperbaiki dan tidak seperti dulu lagi. Apakah tidak ada kecemasan dari Raja?
R : Biar jalan baik supaya masyarakat dimudahkan untuk saling mengunjungi, tetapi pegangan akan tetap saya pegang. Listrik pun saya tidak diizinkan untuk masuk  ke dalam rumah. Ada parabola ; hadiah dari polres TTS tetapi tidak dimanfaatkan.
Seputar Bantuan Sosial
P : Kami dengar bahwa Raja berkomitmen untuk menolak segala bantuan dari pemerintah. Apakah ini betul?
R : Saya mengambil sikap untuk selalu menolak atau tidak menerima bantuan  dari pemerintah. Tetapi bukan saya menolak pemerintah, karena  bagaimanapun juga saya dan masyarakat tetap Warga Negara Indonesia (WNI). Kami di sini satu dusun; ada 77 kk. Bantuan (raskin) saya tidak terima. Kalau terlalu terima bantuan efeknya mentalitas masyarakat terbiasa untuk tidak kerja atau tidak mau bekerja. Tiap hari hanya duduk hitung waktu; kapan terima bantuan dan tidak bekerja. Habiskan waktu untuk tunggu dan tidak bekerja. Hidup ini harus membiasakan diri untuk bergantung pada pekerjaan. Kerja supaya dapat ada hasil. Kerja supaya makan dari hasil keringat sendiri.
P : Bagaimana membangun relasi dengan Gereja Protestan dan Katolik?
R : Tidak ada halangan relasi bersama dengan Katolik, Protestan dan Islam. Kami aman-aman saja. Kalau mereka membutuhkan tenaga kami, saya bersama masyarakat biasanya membantu dengan tulus. Dan karena kami banyak, maka pekerjaannya cepat selesai.
Seputar Pemerintahan
P : Apakah Raja bersama masyarakat suku ini ada KTP dan ikut pemilu?
R : Masyarakat saya memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Karena itu kami berhak mengikuti pemilu. Kita di sini, ada satu Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dan saya tegaskan bahwa kami tetap Warga Negara Indonesia (WNI).
P : Bagaimana perhatian Raja terhadap perkembangan pendidikan (sekolah)?
R : Saya beri perhatian, dalam arti ada tanah diberikan untuk membangun gedung sekolah, supaya sekolah dapat berjalan. Pendidikan adalah bagian dari penegakan adat istiadat. Ada tiga unsur yang kami jaga yakni adat istiadat, kepercayaan, dan  pemerintahan.
P : Apakah semua anak dalam suku ini disekolahkan? Apa syarat bagi mereka untuk disekolahkan?
R : Kalau ada dua anak berarti satu sekolah satu tidak sekolah. Mau tahu tentang ilmu tanyakan pada yang sekolah. Mau tahu tentang tata cara atau sistem pemerintahan dalam suku Boti, tanyakan pada yangg tidak sekolah. Tentang syarat bagi anak yang sekolah; kalau anak itu suka pasiar kiri-kanan; lebih baik suruh dia sekolah supaya dia tahu dan menjadi lebih tertib.
Seputar Kematian dan Kehidupan Sesudah Kematian
P : Bagaimana konsep tetang kematian dan tentang hidup setelah kematian?
R : Manusia hidup di dunia ini dan ia pun mati di dunia ini. Setelah mati pun jiwanya ada di dunia ini, tidak ke mana-mana. Perjumpaan dengan jiwa-jiwa yang telah meninggal dalam bentuk mimpi dan kemasukan arwah.
P : Bagaimana Raja dan Masyarakat Suku Boti memahami alam?
R : Alam adalah teman yang mesti dipelihara. Pelihara alam supaya alam memelihara kita. Kalau kita memelihara alam, alam pasti memelihara kita. Di sini, saya adalah pemegang payung untuk melindungi warga dan alam.
Seputar Ekonomis
P : Tadi saya melihat ada masyarakat Suku Boti, khususnya kalangan orang tua, semuanya mengenakan pakaian adat (tais-bete). Apakah produk-produk ini juga dijual?
R : Hasil tenunan dari masyarakat ini dipisahkan. Saya biasanya menekankan agar kain dengan motif tertentu boleh dijual tetapi motif-motif khas tidak boleh dijual. Di sini, saya tidak menolak siapapun yang datang untuk membeli tetapi saya memisahkan hasil tenun mana yang cocok untuk dijual dan mana yang tidak boleh.
P : Kalau Raja bersama masyarakat Suku Boti berdoa, untuk siapakah doa itu ditujukan?
R : Kita di sini, ada tiga unsur yang membentuk kepercayaan yakni adat, pemerintahan dan kepercayaan. Kita percaya bahwa alam ini ada penguasanya. Ada dua penguasa alam menurut kepercayaan agama suku Boti, Uis Pah dan Usi Neno. Â Uis pah dikaitkan dengan ibu dan Usi Pah dikaitkan dengan bapa.
Sebagaimana seorang anak manusia, pasti ia memiliki bapa dan mama atau ibu. Kami berdoa (menyembah) kepada Uis Neno (Bapa) melalui Uis Pah (ibu) melalui perantara batu dan kayu karena itu ada ungkapan fatuleu dan hauleu. Ada doa-doa misalnya doa musim tanam, doa panen. Dan rumusannya hanya bisa saya ungkapkan dalam rumah adat. Â
Seputar Penyelesaian Masalah :
P : Kalau ada masalah dalam suku ini, bagaimana penyelesaiannya?
R : Di sini, kalau ada masalah, diselasaikan oleh saya (Raja) dengan sistem penyelesaian secara adat. Dan biasanya setiap masalah selalu selesai dengan baik.
P : Saya melihat banyak gambar-gambar hewan, tumbuhan yan tertempel di sekitar dinding bapa raja. Apa maksudnya?
R : Gambar-gambar ini mau menunjukkan bahwa inilah kekayaan dan sumber hidup kami (ekonomi rumah tangga). Kami di sini hidup dari alam. Dan alam itu adalah hewan, tumbuhan yang simbolnya ditempelkan pada dinding rumah saya ini. Dari distribusi hewan dan hasil panen, kami mendapatkan uang untuk keperluan lainnya.
P : Apakah masyarakat Suku Boti bebas pajak?
R : Masyarakat memang bebas pajak dalam arti mereka tidak bayar. Di sini, satu desa Boti, pajak saya (Raja) yang urus.
Kondisi Perumahan
Sebagian rumah mereka alang-alang dan bebentuk bulat. Saya perhatikan di dalam rumah mereka tidak ada kursi plastik. Kecuali rumah milik raja; rumah seng dengan beberapa kursi kayu.
Cara Duduk Berkelompok
Mereka selalu duduk dalam kelompok-kelompok. Mereka duduk di tanah atau di bale-bale buatan mereka sendiri. Mereka tidak mengenakan sandal.
Pria Berambut Panjang dan Mengenakan Destar
Mulai dari raja dan pria lainnya, mereka berambut panjang. Pria yang tua usianya termasuk raja, mereka mengenakan destar. Ketika ditanya apa alasannya, Raja mengatakan bahwa "karena kepala yang keluar lebih dahulu saat dilahirkan maka kepala harus diberi mahkota.
Mereka semua, terkecuali anak-anak, makan sirih pinang. Beberapa pria di antara mereka isap rokok yang terbuat dari daun lontar. Saya turut memberikan beberapa batang rokok LA Bold kepada beberapa anak muda.
Mereka selalu dalam keadaan diam dan tersenyum
Saya perhatikan, di antara mereka jarang berbincang-bincang. Mereka pun tidak lebih dahulu berbicara kalau sebelumnya tidak diajak untuk berbicara. Mereka hanya dapat berbicara kalau kita lebih dahulu bertanya atau mengajak untuk berbicara.
Ketika berjabat tangan dengan mereka, tanpa satu katapun yang keluar dari mulut mereka tetapi mereka selalu tersenyum.
Saya sendiri bersama rekan-rekan lainnya mengamati, kalau mereka sangat merasa nyaman kalau kita dekati mereka. Dari  sini,  ada pesan bahwa kita bukan orang lain bagi mereka.
Ada Bendera Merah Putih
Di dekat rumah sebelum istana raja, tertancap bendera Merah Putih. Jelahlah bahwa mereka walaupun agama suku tetapi tetap Warga Negara Indonesia.
Saya perhatikan, di dalam rumah raja, ada gambar Bunda Maria. Mungkin ini adalah tanda persaudaraan dengan rekan-rekan agama lain.
Di seputar rumah raja ada tenda alam
Di seputar rumah raja, ada tenda alam. Tenda ini beratapkan daun gewang dan di sekitarnya terdapat bale-bale yang terbuat dari bambu.
Untuk mempertahankan keaslian jawaban, penulis tidak menyertakan sedikit komentar pun. Walaupun demikian, tetap diakui bahwa makna paling originalnya sebenarnya terkandung dalam jawaban raja dalam rumusan bahasa Dawan.
Tetapi karena keterbatan penulis, penulis hanya menuliskan ini berdasarkan terjemahan bahasa Indonesianya oleh Bapak Yusak Taneo. Terima kasih Bapak Yusak (Mantan Kepala Kankemenag Kab. TTS), karena telah membantu para peserta Sekolah Perdamaian II, khususnya penulis.
**Fr. Yudel Neno, S.Fil.**
*Alumnus Fakultas Filsafat Unwira Kupang
Kini Penulis tinggal di Seminari Tinggi Santo Mikhael Penfui Kupang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H