Mohon tunggu...
Freema H. Widiasena
Freema H. Widiasena Mohon Tunggu... Buruh - Cuman nulis ngasal ngawur abal-abal. Jangan pernah percaya tulisan saya.

Suka menyendiri dan suka bersama. Cuman nulis ngasal ngawur abal-abal. Jangan pernah percaya tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar: Jangan Sampai Putus di Tengah Jalan

31 Mei 2023   20:24 Diperbarui: 31 Mei 2023   20:37 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Merdeka Belajar Itu Harus Sederhana

Tentang apa itu merdeka belajar, jujur kami hanya ngeh sepintas. Kami ngeh-nya, ini langkah maju dan luar biasa dari negara cq. pemerintah.

Kita sering mendengar kisah, zaman dulu siswa/murid/cantrik tuh belajarnya serius. Bahkan biasanya mereka meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang lama, untuk berguru kepada brahmana, pendeta, kyai, bikkhu, atau siapapun. Intinya guru.

Kita enggak mendengar istilah kurikulum. Seperti enggak ada atauran dan batasan waktu. Namun kita sering mendengar istilah disiplin dan konsistensi berguru dalam segala kisah masa lalu.

Hingga kemudian Ki Hajar Dewantara menyempurnakan semuanya. Alih-alih menggunakan kata madrasah yang ngarab atau sekolah yang ngelandha, Ki Hajar Dewantara menggunakan tajuk perguruan. Guru sepertinya menjadi sentra dalam konteks ini. Dengan konsepsinya yang menurut kami sudah sempurna sepanjang masa: ing ngara sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Bersentra pada guru, dan berkonsepsi tersebut, sepertinya inilah pegangan pendidikan sepanjang zaman.

Eksperimental 

Saat kami kecil, pada era '80-an, sekolah adalah kegiatan yang menyenangkan kala itu. Semua generasi masa itu pasti ingat "Ini Budi".

Bersaudara Wati, Budi, dan Iwan adalah cerminan anak bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Yang belajar menuntut ilmu, yang berbakti kepada orang tua, yang mencintai alam-lingkungan dan hirau kondisi sekitar, dan yang tetap bermain. Bermain yang benar, adalah (merdeka) belajar itu sendiri.

Fase mahasiswa, saya mulai memahami, bahwa mencari ilmu dengan mencari nilai formal, itu berbeda ternyata. Mahasiswa yang kaya pengalaman dan pengetahuan, belum tentu nilai kuliahnya bagus dan IPK-nya tinggi.

***

Yang bikin pening adalah saat si kecil udah sekolah. Di tingkat dasar, saban hari ia sibuk dengan jibunan tugas: mengisi LKS yang penuh rumus dan hafalan yang jumlahnya cukup banyak.

Lanjut SMP, tabiat sekolahnya masih sama: PR, rumus, dan hafalan yang semakin bejibun.

Apa yang tersisa di ingatan saya saat sekolah dulu enggak jauh dari Ini Budi, kerukunan umat beragama di PMP, perjuangan para pahlawan bangsa di PSPB, daun sempurna, monokotil vs dikotil, binatang amfibi, serta jenis-jenis katrol dan pengungkit. Dan itu ternyata terpakai seumur hidup hingga hari ini.

Apa yang diterima si kecil sebenarnya sama-sama saja tapi mendadak serasa berbeda banget karena saking bejibunnya dibanding apa yang kami terima saat kecil dulu.

Akhirnya ketika ada kesempatan bertemu dengan dewan sekolahnya, kami bilang kepada para guru yang ada termasuk kepala sekolahnya, "Tolong jika nilai anak saya jelek, dikasih nilai bagus saja Pak/Bu. Saya siap beli ijazahnya. Sebab di rumah, dia saya larang mengerjakan PR dan mengisi LKS!"

Merdeka Belajar

Beruntung ketika masuk SMA, negara melakukan perubahan yang sangat signifikan.

Pertama, diberlakukannyas sistem zonasi. Meski si kecil saat ini masuk sekolah pondok pesantren yang enggak ada kaitannya dengan zonasi, diberlakukannya sistem zonasi ini terlihat membawa dampak yang sangat signifikan di dunia pendidikan.

Dulu saya masuk SMP dan SMA favorit di kota saya. Keren sih sensasinya waktu itu. Isinya anak dengan NEM (Nilai Ebtanas Murni) tinggi-tinggi semua tentunya. Pokoknya dicap anak pintar gitu. Meski orang tua sedih. Karena sumbangan-sumbangannya tiap ambil rapor sangat membebani mereka.

Setelah diberlakukan sistem zonasi, mendadak saya jadi malu karena dulu pernah bangga karena berada di sekolah favorit. Dan ternyata itu enggak penting dalam kehidupan ini.

Kini sekolah bisa lebih cair. Sekolah dimasuki siswa karena dekat rumah. Bukan karena NEM-nya tinggi atau rendah.

Kedua, dihapuskannya ujian nasional.

Banyak yang berpendapat, semua cantrik akan diuji oleh gurunya sebelum lulus, keluar padepokan, dan mengabdi di masyarakat. Namun mereka lupa, ujian ini enggak sama rata. Tiap cantrik tentu beda ujiannya. Cantrik pedang dengan cantrik tongkat atau cantrik tangan kososng pasti beda ujiannya. 

Namun apapun metode senjata para cantrik, mereka semua dibekali hal yang sama oleh padepokan tempat berguru: harus berbuat baik dan membela kebenaran lagi kebaikan.

Begitupun seharusnya siswa.

Tantangan

Selain tantangan teknis dari para guru untuk menyesuaikan diri, tantangan terbesar menurut pengamatan kami adalah dari para orang tua siswa itu sendiri. Saya sering mendengar keluhan para orang tua yang kini rapor anaknya enggak ada nilainya lagi. Sehingga enggak tau ranking berapa.

Padahal jelas, jika kita berbicara merdeka belajar, mau enggak mau kita harus kembali kepada konsepsi pendidikan ala kisah padepokan zaman kerajaan, konsepsi pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara, dan praktik pendidikan ala Finlandia.

Saat ini, saya masih menyimpan ganjalan dengan KKM (kriteria ketuntasan minimum).

Si kecil kami, dia punya skor 96/100 untuk satu mata pelajaran namun juga punya skor 55/100 untuk sebuah mata pelajaran lain.

Kami enggak ambil pusing dengan skornya tersebut. Di mata kami, ya emang itulah takdirnya. Manusia ditakdirkan berbeda untuk bekerja sama. Kuliah pun juga punya fakultas yang materinya spesifik. Yang mana ini menunjukkan bahwa kita hanya bisa mempelajari satu bidang keahlian praktis saja.

Hal yang berat lagi untuk 'menggurukan' anak adalah: biaya. Bagi sebagian orang, biaya pendidikan itu bukan masalah. Sebagian lain, menjadi beban namun tetap diupayakan. Sebagian lainnya lagi, biaya pendidikan bukan lagi tantangan melainkan sudah menjadi penghalang dan penghambat.

Ada idiom yang menyatakan anak bodoh karena miskin dan anak miskin karena bodoh. Ini akan menjadi lingkaran setan yang berlanjut terus-menerus.

Hei, bukankah banyak kemudahan dan bantuan biaya pendidikan, semisal beasiswa, bantuan, dan lain sebagainya?

Benar namun bukan begitu konteksnya. Bahwa pendidikan memerlukan biaya, itu benar. Namun tidak tidak seharusnya pendidikan meminta ongkos. 

Saran

Segera hapus KKM dan segala penilai universal lainnya. Berikan penilaian berdasarkan preferensi si siswa. 

Kami yakin, semua pakar pendidikan pasti mengiyakan bahwa setiap anak itu berbeda dan punya potensi masing-masing. Cukup kemampuan-preferensinya saja yang diurus oleh negara. Yang jadi persoalan adalah, apakah sistem pendidikan kita sudah mengakomodasi pakem ini. Seharusnya 'nilai' pada pendidikan dasar itu difungsikan untuk menggali dan merumuskan kemampuan serta preferensi siswa. Hingga kemudian semakin ke atas tingkat pendidikannya, dia sudah belajar hanya pada bidangnya saja. Bidang lain cukup menjadi bahan pengaya dan penguat.

Gratiskan biaya pendidikan tanpa tapi.

Kan, negara belum tentu kuat membiayai semuanya jika digratiskan? 

Jujur kami ragu dengan kemampuan ini. Orang tua saja bisa jungkir-balik demi memenuhi kebutuhan sekolah anaknya. Masa negara yang punya sistem ini enggak bisa menjadi orang tua bagi seluruh anak bangsanya?

Dulu, paradigma yang beredar adalah yang butuh pendidikan itu adalah kita, para siswa, demi masa depan yang cemerlang. Sekarang, paradigma ini harus diubah. Negaralah yang butuh agar semua anak bangsanya mendapatkan pendidikan yang layak. Agar negara ini enggak amburadul. Enggak berantakan. Enggak tumpang tindih. 

Karena itu, negara harus jungkir balik membiayai pendidikan semua anak bangsanya. Negara harus menjadi orang tua bagi seluruh anak bangsa.

Para orang tua, biarkan sibuk bekerja untuk membangun negara. Memberikan andil kepada negara. Sesuai bidang dan kapasitas masing-masing. Bukan bekerja untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Yang ada jadinya malah sikut-sikutan sesama rakyat dengan dalih kebutuhan.

Biaya atau kebutuhan atau fasilitas pendidikan ini selain operasional sekolah, juga harus melingkupi kebutuhan si siwa sejak dia keluar rumah berikut apa yang menempel di dan diperlukan badannya. Yakni melingkupi transportasi, kebutuhan gizi dan nutrisi, seragam dan sepatu, termasuk tas sekolah. Pokoknya apa yang diwajibkan oleh negara harus dicukupi oleh negara. Dan semuanya harus dijamin oleh undang-undang.

Kami yakin, pemerintah sudah punya rancangan yang saya sarankan ini. Dan saya yakin, rencana pemerintah pasti lebih bagus dari ini, lebih luas, lebih advance lagi. Jikalau iya, maka anggap saja ini sebagai dukungan dan pengingat.

Buku, buku, dan buku! Paksa para siswa untuk menulis!

Apa yang membuat rakyat susah dikasih tau, apa yang membuat orang tua masih ngeyel, dan apa yang membuat rencana baik pemerintah serasa terhambat menurut kami adalah: buku.

Koq buku?

Sebenarnya lebih tepatnya adalah literasi. Enggak harus spesifik buku. Namun demikian, kami menengarai, rendahnya literasi bangsa ini tuh korelatif dengan rendahnya konsumsi buku di masyarakat.

Kami enggak akan pakai data statistik di sini. Kami pakai pengalaman empiris saja. Banyak orang tua yang sering, bahkan rutin mengajak anak-anaknya jalan-jalan atau makan di luar/kulineran, bahkan plesiran, saat akhir pekan atau saat tanggal muda atau saat musim liburan. Banyak orang tua yang memberikan kado/bingkisan/hadiah kepada anaknya pada momen-momen tertentu, misalnya ulang tahun, kenaikan sekolah, lebaran, bahkan tanpa ada momen spesial. Termasuk membelikan ponsel pintar.

Namun dalam pengamatan kami terhadap orang tua semacam itu, enggak banyak, bisa dikata jarang, bisa dikata lagi nyaris enggak ada orang tua yang menghadiahi anak-anak mereka buku. Entah buku dongeng, novel, ensiklopedia, dan lain sebagainya.

Minim literasi, khawatirnya kelak anak-anak ini akan tumbuh menjadi generasi pragmatis yang miskin bahkan nirprinsip. Ini akan menjadi pendidikan konsepsional yang sedang dilahirkan kembali saat ini oleh negara saat ini menjadi -maaf- sia-sia.

Oleh karena itu, entah bagaimana caranya, paksa anak-anak untuk akrab dengan buku. Bangun perpustakaan di mana-mana. Gelar lomba dongeng atau lomba membaca, beri izin dan fasilitas seluas-luasnya untuk kegiatan semacam ini. Serta paksa anak-anak untuk akrab menulis.

Kan, menulis itu bakat?

Menulis yang sastrawi mungkin iya. Namun menuliskan opini berbasis ilmiah: ada latar belakangnya, ada hipotesasnya, dan ada opininya itu bisa dibangun sejak dini. 

Enggak harus dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Di semua bidang/disiplin keilmuan, budaya menuangkan gagasan lewat tulisan ini harus dikulturkan. 

Semoga pemegang kebijakan, khususnya kebijakan pendidikan di periode pemerintahan mendatang bisa terus menguatkan kebijakan merdeka belajar ini dan menjadikan merdeka belajar ini lebih merdeka, terus merdeka, semerdeka-merdekanya: bebas dari kepentingan apapun selain mendidik dan melindungi anak bangsa. Jangan sampai putus di tengah jalan. Ya kebijakannya, ya pendidikan anak bangsanya.

Wallahualam bisawab. IMHO, CMIIW.

- Freema HW

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun