Namun apapun metode senjata para cantrik, mereka semua dibekali hal yang sama oleh padepokan tempat berguru: harus berbuat baik dan membela kebenaran lagi kebaikan.
Begitupun seharusnya siswa.
Tantangan
Selain tantangan teknis dari para guru untuk menyesuaikan diri, tantangan terbesar menurut pengamatan kami adalah dari para orang tua siswa itu sendiri. Saya sering mendengar keluhan para orang tua yang kini rapor anaknya enggak ada nilainya lagi. Sehingga enggak tau ranking berapa.
Padahal jelas, jika kita berbicara merdeka belajar, mau enggak mau kita harus kembali kepada konsepsi pendidikan ala kisah padepokan zaman kerajaan, konsepsi pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara, dan praktik pendidikan ala Finlandia.
Saat ini, saya masih menyimpan ganjalan dengan KKM (kriteria ketuntasan minimum).
Si kecil kami, dia punya skor 96/100 untuk satu mata pelajaran namun juga punya skor 55/100 untuk sebuah mata pelajaran lain.
Kami enggak ambil pusing dengan skornya tersebut. Di mata kami, ya emang itulah takdirnya. Manusia ditakdirkan berbeda untuk bekerja sama. Kuliah pun juga punya fakultas yang materinya spesifik. Yang mana ini menunjukkan bahwa kita hanya bisa mempelajari satu bidang keahlian praktis saja.
Hal yang berat lagi untuk 'menggurukan' anak adalah: biaya. Bagi sebagian orang, biaya pendidikan itu bukan masalah. Sebagian lain, menjadi beban namun tetap diupayakan. Sebagian lainnya lagi, biaya pendidikan bukan lagi tantangan melainkan sudah menjadi penghalang dan penghambat.
Ada idiom yang menyatakan anak bodoh karena miskin dan anak miskin karena bodoh. Ini akan menjadi lingkaran setan yang berlanjut terus-menerus.
Hei, bukankah banyak kemudahan dan bantuan biaya pendidikan, semisal beasiswa, bantuan, dan lain sebagainya?
Benar namun bukan begitu konteksnya. Bahwa pendidikan memerlukan biaya, itu benar. Namun tidak tidak seharusnya pendidikan meminta ongkos.Â