Tapi saya dengan jujur minta ijin nebeng akun dia. Karena saat itu yang kami lihat dalam fesbuk adalah revolusi Friendster yang sukses meranglkai kembali jalur pertemanan yang terputus, terpotong, dan terpisah karena keterbatasan artifisial jaman.
Berangkat dari mindset tersebut, kami memfatwa diri bahkan teman kami adalah teman bersama. Temannya istri adalah teman saya juga, dan teman saya adalah temannya istri juga. Lebih detailnya: kami berdua harus bersama berkumpul dengan semua teman kami, bukan kami "terpisah" dengan teman masing-masing sendiri-sendiri.
***
Meskipun mulai booming, Fesbuk kala itu masih teramat sangat sederhana. Fiturnya sederhana. Isinya sederhana.]
Setelah sekian lama berfesbuk dengan nebeng akun istri, saya mulai menemukan fungsi positif fesbuk. Group yang adanya di Yahoo Groups atau bulletin-board, akhirnya saya dapati perbaruannya di grup fesbuk, setelah kemudian fesbuk meluncurkan fitur grup dari yang awalnya belom ada. Lebih enak diikuti,
Grup yang saya ikuti pun jadi ruame banget.
Teman-teman saya pun, mulai ngoceh dengan bahasa internal kami, yang ini membuat istri jadi riskan: takut teman-teman dia salah paham.
Melihat situasi yang semakin "rumyam" ini pun, akhirnya kami memutuskan "berpisah". Saya bikin akun sendiri, memigrasi semua teman personal saya ke akun saya sendiri, dan nimbrung di Grup dengan identitas saya pribadi, bukan lagi dengan identitas bersama: saya dan istri.
Akun istri pun kemudian menjadi "bersih". Isinya kemudian hanya orang-orang yang memang terkoneksi dengannya saja, enggak lagi campur dengan teman-teman saya.
***
Sampai akhirnya datanglah tragedi itu. Pemilu 2014. Menjadi bencana jagad maya bagi saya.