Mohon tunggu...
Isna R. Retnaningsih
Isna R. Retnaningsih Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

write to feels better, read to know another, share for the best future | hope Allah always blessed us for our struggle

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ini yang Akan Menjadi Sumber Energi di Masa Depan!

26 September 2017   11:32 Diperbarui: 26 September 2017   11:50 3279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah Energi saat ini untuk Ketahanan Energi Indonesia ke Depan

Tak bisa kita pungkiri untuk memenuhi kebutuhan energi, Indonesia masih menggunakan fosil sebagai sumber utama. Berdasarkan kajian dari BP Group Chief Economist, Spencer Dale, konsumsi energi terbesar Indonesia di 2016 masih didominasi oleh minyak bumi 41%, batu bara 36%, dan gas 19%. Sementara produksi minyak di Indonesia hanya mampu mencukupi 55% dari kebutuhan konsumsi dalam negeri. Data ini disampaikan dalam Diskusi Statistical Review of World Energy2017, di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Kamis (14/9/2017). Padahal, seperti kita ketahui cadangan energi fosil ke depannya akan kian menipis.

Sebaliknya konsumsi energi Indonesia terus menerus meningkat. Bahkan dalam 20 tahun terakhir ini mengalami peningkatan dua kali lipat, tercepat adalah 5 tahun terakhir ini. Angka konsumsi energi terbesar dimiliki oleh sektor transportasi, disusul sektor industri dan non energi serta rumah tangga dan lainnya. Berdasarkan hal ini, dibutuhkan sumber energi baru untuk menjawab masalah konsumsi dan terbatasnya energi fosil saat ini.

Berbicara tentang solusi sumber energi baru yang kita kaji, tidak hanya bagaimana menemukan energi baru untuk kebutuhan satu dua orang di wilayah tertentu saja dalam jangka waktu singkat. Tetapi, bagaimana sumber energi tersebut mampu menjawab ketahanan energi bangsa dalam waktu panjang. Indikator ketahanan energi diantaranya adalah ketersediaan (availability) dengan indikator sumber pasokan, kemampuan untuk membeli (affordability) yakni daya beli yang dikorelasikan dengan pendapatan nasional per kapita, dan adanya akses (accessibility) bagi pengguna energi untuk menggerakkan kehidupan dan roda ekonomi, serta bertahan untuk jangka panjang (sustainability).

Lantas sumber energi baru seperti apakah yang mampu menjawab Ketahanan Energi di Masa Depan?

 

Berharap pada Sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT)

Indonesia, melalui Dewan Energi Nasional (DEN) dan ESDM menargetkan penggunaan EBT tercapai hingga 23% pada tahun 2025 dan penggunaan minyak bumi ditekan hingga 25%. Target jangka panjang tahun 2050 nantinya,  DEN menaksir akan menjadikan EBT sebagai sumber energi utama dengan porsi 31%. Tentunya, ini adalah rencana dengan pijakan bahwa semakin menipisnya persediaan minyak bumi. Hingga tahun 2016, konsumsi EBT mencapai rata-rata 4,7%. Angka ini tentu masih cukup jauh dari target Renstra KESDM yang seharusnya sudah mencapai 8% pada tahun 2013.

Peningkatan perhatian pemerintah pada EBT menunjukkan bahwa kita sedang menumpukan harapan pada sumber Energi Baru dan Terbarukan. Apakah harapan ini akan terwujud dalam realita?

Sejauh ini, kita melihat ada beberapa potensi EBT di wilayah Indonesia yang luas ini, diantaranya adalah air, panas bumi, bioenergi, surya, angin dan hybrid, energi laut, Shale Gas dan Coal Bed Methane (CBM). Potensi tiap energi memiliki kelebihan dan kekurangan masing masing. Akan tetapi, permasalahan secara umum yang kita hadapi adalah masih mahalnya biaya investasi energi terseebut sehingga biaya penyediaan dan harga jual masih relatif tinggi. Sehingga dalam mencapai ketahanan energi, EBT masih perlu dikaji ulang karena belum terpenuhinya indikator ketersediaan (availability) dan kemampuan untuk membeli (affordability). Selain itu, kita akan mengkaji bersama seberapa sustanability tiap potensi EBT tersebut dan mampukan menjadi Sumber Energi Utama?

Mengkaji Ulang Sustainability dari EBT

Energi Baru dan Terbarukan memang cukup mencuri perhatian negara-negara dunia dalam menanggulangi krisis minyak bumi di masa depan dan menjadikannya sumber energi utama. Belum lagi orientasi menekan dampak pemanasan global, seolah EBT menjadi primadona solusi tuntas atas masalah pemanasan global. Apakah benar EBT mampu dijadikan sumber energi utama dengan dampak pemanasan global yang kecil yang efisien, affordable dan sustainable?. Saya rasa tidak. Mengapa?

Pasalnya, EBT memiliki kemampuan terbatas. Contohnya energi Air. Untuk membangun PLTA tidak bisa di sembarang tempat, harus ada waduk, sungai dan aliran air yang deras. Ketersediaannya bergantung pada air di daratan. Masalah ketersediaan air akan muncul manakala musim kemarau datang. Debit berkurang, imbasnya ke turunnya daya di PLTA. Belum lagi dampak ekosistem karena pembendungan. Meskipun demikian Energi Air bisa dibilang paling reliabel dibandingkan yang lainnya.

Selanjutnya energi panas bumi, dengan potensi Indonesia memiliki panas bumi terbesar dunia, maka apakah ini dikatakan luar biasa? Ternyata tidak, karena terbesar disini hanya berkisar 27 GW. Tetapi dengan jumlah ini bagaimana kalau hanya bertahan 5 tahun?

Bagaimana dengan bioenergi? Minyak yang dibuat dari tanaman jagung, singkong dan energi hewani lainnya. Jika memang dijadikan sumber energi utama, kita akan terbentur pada masalah luas lahan yang tak sedikit dan berpengaruh pada harga pangan.

Energi Surya dan Energi Angin

source : liputan6.com
source : liputan6.com
source : liputan6.com
source : liputan6.com
Kedua pilihan energi ini, meski ketersediaannya berlimpah, namun tidak bisa diandalkan karena sifatnya yang intermitten. Yakni tidak bisa supply daya 24 jam, tergantung kondisi iklim dan cuaca. Padahal kebutuhan listrik 24 jam nonstop. Meskipun ada alat penyimpanan energi ketika angin tidak berhembus atau matahari tak bersinar terang, namun biaya alat ini mahal sekali. Hargraves, peneliti energi, mengungkap biaya bisa mencapai minimal US$ 20 sen/kWh. Hal ini berimbas pada naiknya tarif listrik hingga dua kali lipat!

Secara teknis pun energi surya dan angin justru merepotkan. Karena daya yang dihasilkan tidak stabil, maka saat dihubungkan dengan grid lisrik dengan kapasitas tinggi justru membuatnya terjadi gangguan, bahkan rusak. Bukankah low emisi gas buang bagi Pemanasan Global? Belajar dari Negara Jerman, ternyata tidak. Karena kapasitasnya yang terbatas hanya 19% dan 11% waktu operasi, maka sisanya di-backup oleh gas dan batubara. Hingga Jerman menjadi penyumbang emisi gas karbon tertinggi di Eropa!

Melihat keterbatasan EBT jika dijadikan sumber Energi Utama, maka sudah seharusnya kita mengkaji ulang porsi EBT. Satu sisi memang reliabel, namun tak bisa dikatakan sustainable untuk ketahanan energi di masa depan.

Porsi EBT untuk Ketahanan Energi Bangsa di Masa Depan

Adalah penting menempatkan porsi yang tepat pada EBT dalam hal sumber energi bangsa, dan dengan tetap berusaha menemukan sumber energi yang lebih sustainable. Kita akan melihat politik energi Jerman yang menerapkan Energiwinde,yakni penghapusan total energi nuklir pada tahun 2035 dan penggunaan Energi Terbarukan. Hal ini bisa kita lihat dari tren peningkatan penggunaan energi sejak tahun 2000.

Bagaimana hasilnya? Ternyata langkah politik ini menimbulkan bencana baru. Harga listrik di Jerman naik drastis. Tahun 2015, tarif listrik perumahannya mencapa 31 sen/kWh jauh di atas rata-rata Eropa 26 sen/kWh. Dampak lainnya, pendapatan operator PLTU turun hingga 30%, subsidi membengkak untuk memenuhi kebutuhan listrik Energi Terbarukan yang tidak stabil

Sebaliknya negara-negara lainnya, seperti Prancis, Swiss dan Swedia tidak fokus pada energi terbarukan. Prancis prioritas utama sampai 78%, Swedia hingga 40% dan Swiss 39%. Kombinasi energi nuklir dan EBT menjadi pilihan Swedia dan Swiss. Kebijakan ini dinilai lebih ramah lingkungan karena emisi CO2 per-kapitanya nyaris setengah dari Jerman  -yang mengutamakan Energi Terbarukan- (WEC, 2015).

Berdasarkan negara-negara tersebut, kita dapat mengatur porsi EBT adalah porsi komplemen dan tidak akan pernah bisa dijadikan Sumber Energi Utama. Sementara itu, bagaimana dengan nuklir?

Sumber Energi untuk Masa Depan

Hingga tahun 2015, energi nuklir menyumbangkan 10% produksi listrik dunia. Beberapa negara dunia mulai membangun PLTN dan menjadikannya sebagai sumber energi utama. Di Swedia, dari 10 unit PLTN hampir setengah kebutuhan listrik terpenuhi olehnya. Jepang, yang awalnya menutup seluruh reaktor nuklir pasca kecelakaan Fukushima tahun 2011, mulai diaktifkan. Karena Jepang menyadari, nuklir memang opsi terbaik mereka.

Semakin banyaknya negara-negara maju untuk berpihak pada nuklir sebagai sumber energi utamanya, menunjukkan bahwa inilah sumber energi masa depan. Mengapa?

Tak bisa kita pungkiri bahwa nuklir adalah sumber energi rendah karbon termurah yang tersedia saat ini. Secara teknis apa yang membedakan antara PLTN dan PLT lainnya?

Faktanya, tak ada misteri sama sekali. PLTN merupakan instalasi penghasil listrik yang menggunakan reaktor nuklir, turbin dan generator listrik. Proses hingga terbentuknya daya yang menggerakkan turbin berasal dari Uranium. Setelah turbin bergerak, generator pun aktif, sama dengan prinsip umum PLT lainnya. Meskipun nuklir tidak merupakan EBT, tetapi tidak patut kiranya ketika kita pro EBT lantas memusuhi Energi Nuklir tanpa alasan yang ilmiah.

Menengok Energi Nuklir dengan Persepsi Baru

Persepsi tentang nuklir di masyarakat nyatanya terlalu berlebihan, menyasar bahwa nuklir membahayakan manusia, ekosistem dan lainnnya hanyalah delusi saja. Maka, dibutuhkan persepsi baru agar kita mau menerima ide nuklir ini. Realitanya tidak seburuk itu, jika teknologi terus disempurnakan agar kemaslahatan manusia lebih tinggi lagi. Sistem keselamatan pasif sudah disertakan dalam reaktor nuklir negerasi terbaru. Selain itu, adanya pemanfaatan bahan bakar lebih tinggi dan penghematan komponen juga dilakukan. Prisnsip dasarnya sama, PLTN berbahan bakar padat dan berpendingin air. Di sisi lainnya, ada teknologi reaktor nuklir dari era 1960 yang terlupakan, namun dapat menyempurnakannya, yakni Molten Salt Reactor (MSR).

Bagaimana dengan Limbah Radioaktifnya?

Limbah radioaktif pada nuklir level tinggi jumlahnya sedikit, tidak sampai 1% dari limbah keseluruhan. Teknologi untuk mengamankannya pun sudah ada dan terbukti. Apalagi dengan MSR, limbah jadi lebih sedikit. Kelebihan energi nuklir dengan teknologi MSR adalah harga listrik lebih murah, biaya konstruksi lebih rendah, dan kandungan thorium cukup banyak di Indonesia. Dari sini kita temukan nuklir mampu memenuhi syarat untuk ketahanan energi bangsa.

Sehingga saya rasa pemerintah bisa melirik PLTN dan mengembangkannya sebagai sumber energi utama didukung oleh EBT untuk prospek #energiuntukinovasiberkelanjutan di Indonesia yang lebih baik!

Referensi : 

1, 2, 3,4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun