Karena lingkungan yang open minded cenderung lebih menghargai perbedaan, ketimbangan lingkungan keluarga yang selalu berpikiran primitif.
Sejatinya, fanatik untuk hal yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan kedamaian setiap warga negara adalah hal yang patut diapresiasi dan terus diperjuangkan oleh setiap orang.
Namun, fanatik yang cenderung destruktif, tidak layak untuk dihidupi.
Sebagaimana pepatah latin kuno yakni: kehidupan yang tak pernah direfleksikan, tak layak untuk dihidupi.
Lantas, bagaimana dengan Teologi Natal?
Sebagaimana yang penulis katakan di atas, bahwasannya sukacita Natal bukan hanya milik orang Kristen. Tetapi kita semua warga Indonesia.
Sebaliknya, peristiwa-peristiwa besar dari perayaan hari raya agama lainnya menjadi milik bersama warga Indonesia.
Karena kita hidup, makan, bersosialisasi, bekerja, bercanda tawa, menderita, menangis, tertawa, bahagia sampai kembali ke liang lahat pun tetap di bumi pertiwi.
Demikian Teologi Natal dari perspektif anak rantau tentang arti perjalanan dalam menemukan cinta dan kasih sayang bersama rekan-rekan yang berbeda keyakinan, tetapi tetap berpijak pada bingkai NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H