Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group || Jika berkenan, mampirlah di blog saya Tafenpah.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menelaah Teologi Natal dari Perspektif Anak Rantau

9 Desember 2023   01:25 Diperbarui: 9 Desember 2023   01:52 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Natal dalam perspektif keluarga perantau. Sumber/foto: Freepik


Setiap kelahiran pasti ada tujuan. Tujuan dari kelahiran Yesus Kristus dalam iman kepercayaan Kristen adalah sebagai manivestasi Allah Tritunggal Maha Kudus untuk menyelamatkan umat manusia dari segala keterbatasannya.

Dunia sedang menantikan peristiwa sukacita Natal. Karena dalam iman kepercayaan Kristen, setiap awal akan berakhir.

Semakna dengan ajaran-ajaran dari disiplin ilmu humaniora. Di mana, dalam 14 hari ke depan, Yesus Kristus akan dilahirkan oleh Bunda Maria di kandang yang hina.

Secara logika, kita pasti bertanya dalam hati, mengapa Sang Juru Selamat yang cintanya Agung kepada semua orang hanya dilahirkan di sebuah kandang yang hina?

Menilik kehidupan manusia yang penuh dengan beragam persoalan hidup, substansi dari kehadiran Yesus adalah untuk menjembatani kasih Allah Tritunggal Maha Kudus kepada semua orang.

Cinta dan kasih universal dari Yesus kepada semua orang, ikut mengajarkan kepada kita untuk selalu hidup berdampingan dengan siapa pun tanpa mempersoalkan identitas, latar belakang, ideologi, kepercayaan, karakter, dan beragam perbedaan yang kita temui dalam kehidupan berbangsa.

Bangsa yang besar tidak akan memisahkan perbedaan warganya.

Persoalannya, sebagai warga Indonesia yang kaya akan suku bangsa, budaya, ras, aliran kepercayaan, dsb kerap dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk mencapai tujuannya.

Padahal, dalam etika dan moral, siapapun yang ingin mencapai sesuatu, tidaklah pantas menghalalkan segala cara.

Akan tetapi, realita yang kita temui setiap saat, bertentangan dengan etika dan moral di atas.

Merujuk pada Teologi Natal dari perspektif atau point of view perantau, penulis sering menemui hambatan dalam membangun relasi dengan sesama yang berbeda keyakinan.

Tentunya, perihal ini bukanlah semacam legacy dari penulis untuk memandang orang lain dengan cita rasa skeptis.

Namun, berdasarkan pengalaman penulis ada jurang atau range bersama dengan mereka yang berbeda aliran kepercayaan dalam memandang sesuatu.

Ada yang terlalu fanatik sampai-sampai melupakan esensi atau dasar kehidupan bersama sesuai dengan kelima Sila Pancasila dan UUD 1945.

Meskipun begitu, ada yang open minded tentang indahnya perbedaan.

Rangkaian problematika di atas juga secara eksplisit menggambarkan dangkalnya pikiran.

Ini bukan pleoi atau pembelaan dari penulis. Tapi, ini tentang persoalan dalam kehidupan bersama.

Menakar sajian masalah-masalah sosial di atas, sebagai perantau, penulis pun tak berlebihan mengambil hipotesa seperti berikut!

"Orang fanatik itu karena dangkalnya pikiran dan kurangnya asupan nutrisi tentang bagaimana menjalani hidup bersama mereka yang berbeda keyakinan."

Lebih jauhnya, penulis menyakini, bahwasannya untuk menciptakan lingkungan komunitas yang mampu menghargai komunitas, pertama-tama harus dibangun dari lingkungan keluarga.

Karena lingkungan yang open minded cenderung lebih menghargai perbedaan, ketimbangan lingkungan keluarga yang selalu berpikiran primitif.

Sejatinya, fanatik untuk hal yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan kedamaian setiap warga negara adalah hal yang patut diapresiasi dan terus diperjuangkan oleh setiap orang.

Namun, fanatik yang cenderung destruktif, tidak layak untuk dihidupi.

Sebagaimana pepatah latin kuno yakni: kehidupan yang tak pernah direfleksikan, tak layak untuk dihidupi.

Lantas, bagaimana dengan Teologi Natal?

Sebagaimana yang penulis katakan di atas, bahwasannya sukacita Natal bukan hanya milik orang Kristen. Tetapi kita semua warga Indonesia.

Sebaliknya, peristiwa-peristiwa besar dari perayaan hari raya agama lainnya menjadi milik bersama warga Indonesia.

Karena kita hidup, makan, bersosialisasi, bekerja, bercanda tawa, menderita, menangis, tertawa, bahagia sampai kembali ke liang lahat pun tetap di bumi pertiwi.

Demikian Teologi Natal dari perspektif anak rantau tentang arti perjalanan dalam menemukan cinta dan kasih sayang bersama rekan-rekan yang berbeda keyakinan, tetapi tetap berpijak pada bingkai NKRI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun