Masyarakat Indonesia biasanya aman, setelah pesta demokrasi. Tapi, kehidupan sosial masyarakat Indonesia akan bumerang menjelang pesta demokrasi. Karena ada permainan instrumen politik adu domba dari aktor-aktor yang ingin memenangkan jagoanya.
Meskipun dalam etika sosial sudah dikatakan bahwasannya tidak dibenarkan seseorang untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Namun, etika ini tampaknya sudah tidak berlaku lagi di zaman pertarungan egosentris.
Miris! Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan fenomena kehidupan masyarakat di tengah multikulturalisme.
Sejatinya, di dunia ini tidak ada yang benar-benar murni jujur sih. Tapi, ya minimalkan segala sesuatu itu harus diletakan pada human interest.
Karena nilai-nilai kemanusiaan itu jauh lebih penting daripada masa jabatan 5 tahun dst.
Seorang pewarta atau pemberi kabar gembira, biasanya meletakkan dasar pelayanannya pada asas kedamaian, kesejahteraan, dan kenyamanan di tengah tugas hariannya.
Namun, apa yang akan terjadi, bila pewarta itu merupakan seorang provokator di belakang layar?
Dalam konsep peribahasa latin, kita akan menamakan si provokator tersebut dengan istilah  "HOMO HOMINI LUPUS" yang berarti manusia adalah serigala bagi sesamanya.
Memang benar adanya. Karena sisi kebinatangan kita itu selalu berorientasi pada permusuhan, terutama dalam mereakisasikan mimpi-mimpi dari segelintir orang.
Meskipun, mimpi tersebt harus mengorbankan kekacauan dalam kehidup sosial bermasyarakat.
Lebih jauhnya, Psikolog Abraham Maslow menyebut pribadi yang di atas sebagai kelompok'destruktif.'
Lantas, kita mau jadi manusia serigala atau etnis destruktif, layaknya Singa?
Semua ini kembali pada permenungan kita. Karena kita semua punya akal budi dan kehendak bebas dalam melakukan sesuatu.
Hukum Kausalitas itu Berlaku dalam Hidup
Pemikiran Filsafat Kosmologi jelas mengatakan siapa yang berbuat baik akan mendapatkan kebaikan.
Sebaliknya, siapa yang melakukan kejahatan dalam perjalanan hidupnya, ia akan menuai kejahatan pula dengan berbagai dramatisasinya.
Hukum sebab dan akibatnya akan berlaku bag meteka yang suka memecahbelah masyarakat Indonesia yang sangat beranekaragam.
Namun, isu yang lebih sensitif adalah aliran kepercayaan.
Karena sebagai negara yang ber-Tuhan, Â ternyata kehidupan kita jauh dari nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Jadi, catatan penting dari tulisan ini adalah entah siapa saja yang maju dalam pertarungan kontestasi di pesta demokrasi serentak 2024, dan memainkan politisasi keagamaan, lebih baik tinggalkan saja.
Karena kandidat tersebut kurang tepat untuk. menakhodai  bangsa Indonesia yang kaya akan etnis, suku, agama, ras, ideologi, dan sebagainya.
Lebih tepat kita memilih pribadi yang mampu mengakomodir seluruh lapisan masyarakat tanpa pilih kasih dalam pelayanannya.