Biarkanlah Sastrawan tersiksa dan menikmati karyanya.
Sedih bercampur haru, kala coretan kita berhasil diterbitkan oleh salah satu Penerbit. Entah itu penerbit Mayor, Semi Mayor, Indie, maupun Self Publishing.Â
Semua penerbit punya kelebihan dan kelemahannya. Tergantung dari mana kita pernah menerbitkan buku di sana.
Akan tetapi, izinkan saya untuk berbagi pengalaman, ketika menerbitkan beberapa buku yang sudah berhasil memberikan motivasi dan harapan bagi rekan-rekan sebaya untuk mengikuti jejakku.
Secara historis, saya mulai bekerja sama dengan penerbit Indie dari tahun 2020.
Saat itu, saya masih berprofesi sebagai 'Caregiver' atau 'Perawat Lansia' di Jakarta, Bogor, dan sekitarnya.
Di sela-sela merawat Lansia, saya pun menginvestasikan sebagian waktu di malam hari untuk menulis.
Setelah melalui perjuangan yang lumayan panjang serta menguras emosi dan waktu, tepat pada bulan Maret 2020, buku perdana saya 'Novel Terjebak' pun go publik.
Ucapan selamat pun berdatangan dari kerabat, komunitas perpesanan (WhatsApp), Facebookers, Instagramers, Tiktokers, dan lain sebagainya.
Bukannya  saya tidak bangga dengan diri sendiri. Tetapi, saya pun semakin bingung untuk mendistribusikan karya tersebut.
Karena menerbitkan buku dengan jalur 'MANDIRI' itu jauh lebih sulit, ketimbang menerbitkan buku di Penerbit Mayor.
Ada pun alasan yang melatarbelakangi pernyataan saya di atas, yakni;
Penerbit Indie atau pun Self Publishing itu mengharuskan kita untuk menyiapkan segala sesuatu dengan baik, mulai dari pendanaan, strategi penjualan, bagaimana menemukan relasi/pelanggan, Marketplace atau pun basis media sosial, dan lain sebagainya.
Sementara, bila kita bekerja sama dengan penerbit yang sudah punya nama, seperti Gramedia dll. Tentunya penulis tidak terlalu pusing memikirkan pemasaran.
Karena umumnya, penerbit mainstream itu punya basis media sosial atau pun marketplace dengan jutaan pengikutnya.
Jadi, penjualan pun semakin mudah.
Tentu saja, pemikiran atau pengalaman saya di atas belum tentu benar adanya. Karena pengalaman setiap Penulis atau pun Sastrawan itu berbeda dan unik.
Biarkan Sastrawan Indie Mati dengan Karyanya
Tak bisa dimungkiri, sub judul di atas, barangkali bagi segelintir orang menafikannya sebagai sesuatu yang 'lebay' atau mengada-ada.
Karena kedengarannya sangat "BOMBASTIS." Namun, sebagai Sastrawan Indie, saya pun harus mewartakannya  kepada dunia kepenulisan tanah air, bahwasannya karya buku dari Indie dan Mayor bagaikan langit dan bumi.
Padahal redaksional atau pun pemikirannya kurang lebih sama, yakni sebagai Penulis, kita pun sama-sama mewariskan pemikiran kita kepada generasi bangsa.
Atau pun dalam bahasa kerennya Mama-mama di kampung saya menyebutnya sebagai "MANUSIA KONSEPTUALIS."
Apa itu manusia konseptualis? Manusia dalam hal ini, kita sebagai Penulis akan mati secara raga, tetapi konsep pemikiran kita akan hidup sepanjang abad.
Namun, realita selalu berkata lain, yakni Penulis Indie benar-benar menjerit dengan karyanya sendiri.
Maka, tak ada alasan lain lagi bagi saya untuk melabeli kenyataan ini sebagai bentuk "STIGMATISASI" di lingkungan penerbitan.
Diskursus ini pun sudah pasti akan menuai pro dan kontra. Tergantung intensi atau tujuan setiap Penulis menerbitkan buku untuk apa.
Sekali lagi, saya tegaskan pemikiran ini adalah pengalaman saya! Hehe.....Jadi, biarkan saya sedikit curhatlah. Ngak apa-apa kan sobat Sastrawan?
Setelah melalui kisah tujuh turunan di atas, saya pun berani memberikan tips bagi siapa pun yang nantinya mau menerbitkan buku.
Tentu saja, tips ini pun saya dapatkan sewaktu mewakili Penerbit YAYASAN PUSAKA THAMRIN DAHLAN (YPTD) JAKARTA, dalam mengikuti 'DIKLAT PENERBIT BUKU TINGKAT DASAR' yang diselenggarakan oleh IKATAN PENERBIT INDONESIA (IKAPI) dan DINAS PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF DKI JAKARTA 2021.
Pertama: Penulis wajib melakukan riset, sebelum memutuskan untuk menulis buku
Kedua; Tentukan penerbit dari sejak awal menulis. Tujuannya Penulis bisa sesuaikan dengan redaksional atau pun bahasa dari penerbit tersebut.
Ketiga; Bangulah 'SILATURAHMI' yang baik dengan Editor. Karena menariknya karya seseorang itu tidak pernah terlepas dari peran editor.
Keempat: Editor dan Penulis harus mengetahui basis terbesar media sosial penjualan di lapak mana saja.
Kelima; Penulis harus kreatif dan inovatidf dalam memasarkan karyanya. Karena tugas seorang Penulis tidak hanya sebatas menulis, tetapi Penulis juga harus mengetahui psikologi penjualan.
Keenam; Penjualan bisa diadakan secara 'door to door atau pun dari mulut ke mulut.
Demikian catatan singkat di atas, sekiranya bermanfaat ya.
Selain itu, untuk menghindari judul "BIARKANLAH SASTRAWAN TERSIKSA DENGAN KARYANYA."
Ya, meskipun saat ini saya dan kamu-kamu pun sudah berjuang dan menikmati karya kita sendiri, hehehe.....
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI