Berbagai hal telah saya pelajari, semua itu saya lakukan sebagai bekal sebelum menginjakkan kaki di perguruan tinggi.
Tahun 2017, saya mulai duduk di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang. Cinta mulai bersemi dengan ilmu kuno yang sebagian besar orang menganggapnya sebagai ilmu atheis.Â
Ya, gegara logika dalam ilmu filsafat membuat siapa saja yang pertama kali bersentuhan dengan ilmu filsafat pasti memasuki ranah geger budaya (culture shock).
Apa alasannya?
Alasan mendasar bagi mereka yang beranggapan bahwasan ilmu filsafat adalah bagian dari atheisme adalah iman kepercayaan kita dijungkir balik. Layaknya badai seroja yang beberapa bulan lalu menerpa kampung halamanku Nusa Tenggara Timur.
Padahal belajar ilmu filsafat itu tidak mengajarkan kita untuk menjadi atheis, tergantung metodologi (kerangka berpikir) epistemologi seseorang.
Ya karena filsafat itu berasal dari keresahan dan menganut pikiran bebas sejauh dipertangung jawabkan kebenarannya.
Krisis identitas
Saya terlalu fokus dan asyik dengan filsafat karena sudah terlanjur jatuh cinta. Keteledoran saya memicu keresahan dalam diri saya untuk mempertanyakan keberadaan diri saya sendiri.
Untuk apa saya belajar ilmu filsafat? Toh, di dunia kerja pun ilmu itu tidak berguna! Pikirku.Â
Semakin lama saya belajar ilmu filsafat, saya semakin tak karuan dengan kecemasan akan hari esok yang lebih baik.