Mereka yang setiap hari menginvestasikan waktu, tenaga, emosi untuk menulis adalah kelompok pencinta peradaban.
Melaui hasil pergumulan hidup yang sangat panjang, mereka bisa menganalisa, merangkai kata sedemikian menarik dan bisa memberikan faedah bagi pembacanya.
Jika seseorang yang mengatakan bahwasannya teori itu adalah bagian dari ilusi tersembunyi. Sejatinya itu adalah kesalahan hakiki. Sebab teori itu berangkat dari realitas dari penulis itu sendiri.
Apa saja realitas yang dialami oleh seorang penulis?
Realitas yang dialami oleh setiap penulis itu sangat beragam. Mengingat penulis pun berdatangan dari latar belakang yang berbeda pula.
Realitas-realitas yang dialami oleh seorang penulis meliputi; kegagalan dan kehidupan yang sangat keras.
Melalui kegagalan seorang penulis belajar. Namun sebelumnya, ia akan berhadapan dengan pergumulan hidup yang tak berkesudahan.
Rasanya dunia seakan berhenti di garis khatulistiwa. Sembari ia masuk dan merenungi apa yang sudah terjadi.
Pergumulan itulah yang mampu menghadirkan pandangan dari seorang penulis. Di mana peristiwa kegagalan, menciptakan teori yang berangkat dari realitas yang dihadapi oleh penulis sendiri.
Para filsuf yang berasal dari bidang empirisme seperti John Locke, David Hume, Thomas Hobbes meletakkan dasar pemikiran mereka dari realitas yang dihadapi oleh manusia. Dalam hal ini seorang penulis.
Filsuf empirisme John Locke bersama konco terbaiknya Isac Newtoon menciptakan teori dari pengalaman mereka sendiri. Selengkapnya saya tidak bisa menguliknya di episode ini. Melainkan ini sebagai pendekatan dalam mendukung argumentasi saya.
Siapa saja yang menolak teori empirisme?
Tentu dalam dunia filsafat, lawan terberat dari ajaran empirisme/realitas manusia adalah penganut paham rasionalitas.
Tokoh-tokoh rasionalitas seperti; Baruch De Spinoza yang merupakan tokoh favorit saya dalam meningkatkan iman kepercayaan kepada Sang Pencipta. Bertrand Russell, Benyamin Franklin dkk.
Inti dari ajaran rasionalitas adalah mereka perlu bukti otentik. Dengan begitu, mereka tidak antitesis dengan pandangan empirisme.
Contoh; Kita setiap hari menulis di platform online Kompasiana. Apa yang kita sajikan dalam bentuk narasi, infografis itu adalah bagian dari pengalaman yang kita alami di bidang studi tertentu.
Sementara pembaca yang tidak melihat hasil perjuangan kita dari titik terendah mengatakan; ah cuman teori doang. Mana buktinya?
Nah, inilah maksud saya. Pembaca itu hanya tahu mengonsumsi. Dan saya mengkategorikan mereka di bagian penganut paham rasionalitas. Sementara kita penulis adalah bagian dari paham empirisme.
Kehidupan Yang Sangat Keras
Jika anda pernah membaca biografi dari penulis kriminal sukses Agatha Christie, di sana kita akan bersentuhan dengan pengalamannya sebagai korban dari kekerasan di lingkungannya.
Lingkungan yang baik akan membawa kebaikan. Sebaliknya, lingkungan yang kurang kondusif akan memberikan sesuatu yang sepadan.
Inilah yang dinamakan oleh Filsuf Alan Watts sebagai 'Hukum Kebalikan."
Senada cuplikan kehidupan kita dalam lingkungan sekitar. Di mana seorang penulis akan memotret realitas dari lingkungan di mana ia berdomisili.
Contoh: Saya berasal dari lingkungan yang secara taraf ekonomi pas-pas, pasti yang saya ulik adalah sesuatu yang berasal dari kaum marginal. Sebaliknya, rekan Kompasianer yang berasal dari lingkungan bisnisman, pengusaha, pejabat dan pegiat literasi apa pun pasti menulis berdasarkan sudut pandangnya.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Karena siklus alam bawah sadar kita sedari kecil sudah terbentuk. Maka rangsangan atau  dalam bahasa keren orang berintelektual adalah stimulus. Hadeeeuh............... Podo wai mas (sama saja mas).
Kita tidak bisa menyalahkan lingkungan kita. Karena kita lahir dan besar di lingkungan tersebut.
Pola pikir (Mindset) kita sudah di desain secara komprehensif (menyeluruh) dalam semua aspek kehidupan.
Inilah realitas kehidupan yang sangat unik dan bercita rasa universal.
Relevansi
Relevansi dari pembahasan ini sangat koneksi dengan lingkungan kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat ini.
Setiap hari kita selalu mendengar, membaca berita-berita perpolitikan tanah air maupun mancanegara yang terkadang menyayat hati, memicu adrenalin dan sensasional dari sang penguasa.
Semua peristiwa itu berasal dari realitas kehidupan remeh-temeh yang kita jalani setiap hari. Ketika seorang penguasa tidak sepaham dan sealiran dengan penguasa yang lain, dalam konteks ini penganut paham empirisme dan rasionalitas mulai beradu mulut di mana-mana. Akibatnya, rakyat yang menajdi korban.
Bodo amat! Celoteh mereka yang berkuasa. Yang terpenting lingkungan partainya semakin jaya.
Saya harap kita penulis pun tidak mengikuti gaya seperti itu. Karena gaya hidup seperti itu dijadikan sebagai pintu awal untuk menciptakan permusuhan di mana-mana. Entah dari mana latar belakang keluarga dan budaya kita, kita semua adalah Kompasianer yang selalu mendedikasikan waktu, tenaga, pikiran dan emosional dalam merangkai kata, kalimat dan menjadi paragraf yang utuh. Tujuanya adalah memberikan manfaat bagi pembaca kita dari manapun.
Terakhir, teori itu bukan ilusi, melainkan realitas yang dialami oleh setiap penulis dari kegagalan dan kehidupan lingkungan yang keras.
Salam Bhineka Tunggal Ika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H