Zaman selalu berganti, sementara pola pikir kita tentang budaya patriarki tidak akan pernah tergerus oleh apa pun. Karena budaya patriarki sudah menjadi bagian dari tekanan psikologis kita sepanjang hayat.
Setinggi apapun pola pikir kita, budaya patriarki akan tetap ada, sejauh adanya bisnis keluarga dalam dunia perjodohan.
Dunia perjodohan melahirkan cocologi. Orangtua suka mencocok-cocokan anaknya dalam bisnis keluarga. Pernikahan berada pada jalur yang berbeda. Sementara koridor bisnis pun sudah ada pada jalurnya. Ibarat Busway selalu berjalan mengikuti alurnya di kota metropolitan Jakarta. Begitupun dengan perjodohan.
Jodoh bukan ditentukan oleh Tuhan. Melainkan jodoh itu berawal dari perjumpaan yang intens, pengertian dan adanya chemestri dalam menyelusuri labirin keseharian yang penuh dengan intrik kehidupan.
Dramatisasi cocologi perjodohan semacam gaya atau tren kebudayaan kita. Di setiap pelosok pasti ada cocologi perjodohan.
Nah, untuk meminimalisir cocologi perjodohan, sebaiknya orangtua dan anak membangun komunikasi yang lebih nyaman dalam urusan pernikahan anaknya. Tujuan dari komunikasi yang baik adalah untuk menghindari bentrokan emosioanl antara orangtua dan anaknya di kemudian hari.
Kebebasan hakiki adalah jodoh yang didapatkan dengan pencarian sendiri pula. Untuk itu, tak ada epilogi yang romantis untuk menutupi artikel receh ini, selain berterima kasih kepada anda yang sudah meluangkan waktu untuk membaca hingga akhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H