Jodohku adalah masa depanku. Mengingkari cocoklogi perjodohan, bukan berarti tidak menghargai orangtua dan kebudayaan leluhur, melainkan masa depanku adalah jalan hidupku.
Cocoklogi adalah istilah yang lazim dipakai oleh dunia humaniora, khususnya mereka yang mendagu agamis untuk melakukan prediksi tentang sesuatu yang indah di masa yang akan datang.
Cocoklogi perjodohan adalah kolaborasi diksi yang sangat renyah dan gurih bagi nenek moyang kita untuk saling menjodohkan anaknya.
Perjodohan anak adalah bisnis yang sangat menjanjikan bagi keluarga besar laki-laki dan perempuan. Jika keluarga laki-laki berasal dari pengusaha, tentu orangtuanya pun akan mencari perempuan yang sepadan dengan status keluarganya. Maka terciptakan perjanjian.
Perjanjian kedua orangtua dari pihak laki-laki dan perempuan terkadang membawa masalah yang lebih rumit bagi anak-anak mereka. Bayangkan laki-laki dan perempuan yang belum pernah berjumpa dan tidak saling mencintai dipaksa oleh orangtua mereka untuk menikah. Apa yang akan terjadi?
Yang terjadi adalah pengaburan arti cinta. Cinta itu berasal dari Sang Pencita yang termanifestasi dalam rupa hasrat untuk memiliki. Akan tetapi, hasrat untuk memiliki pun harus dilandaskan pada penerimaan dari kedua belah pihak.
Katakan pihak laki-laki sangat mencintai anak gadis dari pihak perempuan, tetapi si perempuan tidak menaruh secuil pun rasa kepada laki-laki yang dijodohkan, tentunya si perempuan akan memberontak. Namun, karena diberi pilihan oleh orangtuanya, si perempuan akan terpaksa mengikuti kemauan orangtuanya.
Meskipun perempuan tidak kasat mata mengungkapkan penolakannya kepada orangtua, namun dalam hati ia sangat tersiksa. Begitupun dengan laki-laki.
Pernikahan itu adalah pilihan bebas. Kebebasan yang dibalut dengan tanggung jawab. Sebelum membawa bahtera rumah tangga, tentunya kedua pihak harus menerima satu sama lain. Tujuannya adalah perjalanan mereka dalam membangun hingga mengepakan sayap pernikahan mereka menuju tahun-tahun yang panjang tetap terawet.
Akan tetapi, asumsi setiap orang itu berbeda. Apalagi setiap budaya. Budaya ketimuran kita selalu berorientasi pada sistem patriarki.
Zaman selalu berganti, sementara pola pikir kita tentang budaya patriarki tidak akan pernah tergerus oleh apa pun. Karena budaya patriarki sudah menjadi bagian dari tekanan psikologis kita sepanjang hayat.
Setinggi apapun pola pikir kita, budaya patriarki akan tetap ada, sejauh adanya bisnis keluarga dalam dunia perjodohan.
Dunia perjodohan melahirkan cocologi. Orangtua suka mencocok-cocokan anaknya dalam bisnis keluarga. Pernikahan berada pada jalur yang berbeda. Sementara koridor bisnis pun sudah ada pada jalurnya. Ibarat Busway selalu berjalan mengikuti alurnya di kota metropolitan Jakarta. Begitupun dengan perjodohan.
Jodoh bukan ditentukan oleh Tuhan. Melainkan jodoh itu berawal dari perjumpaan yang intens, pengertian dan adanya chemestri dalam menyelusuri labirin keseharian yang penuh dengan intrik kehidupan.
Dramatisasi cocologi perjodohan semacam gaya atau tren kebudayaan kita. Di setiap pelosok pasti ada cocologi perjodohan.
Nah, untuk meminimalisir cocologi perjodohan, sebaiknya orangtua dan anak membangun komunikasi yang lebih nyaman dalam urusan pernikahan anaknya. Tujuan dari komunikasi yang baik adalah untuk menghindari bentrokan emosioanl antara orangtua dan anaknya di kemudian hari.
Kebebasan hakiki adalah jodoh yang didapatkan dengan pencarian sendiri pula. Untuk itu, tak ada epilogi yang romantis untuk menutupi artikel receh ini, selain berterima kasih kepada anda yang sudah meluangkan waktu untuk membaca hingga akhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H