Pasal 92 tentang Struktur dan Skala UpahÂ
Pasal 92 UU 11/2020 tentang Ketenagakerjaan merupakan salah satu pasal yang turut direvisi oleh Perpu Cipta Kerja. Pasal tersebut menyatakan bahwa struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah bagi pekerja yang memiliki masa kerja satu tahun atau lebih. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana bagi pekerja yang belum mencapai masa kerja satu tahun?Â
Dengan adanya pasal ini, tidak ada pengaturan yang jelas tentang bagaimana pengusaha harus menentukan besaran upah terhadap pekerja di bawah masa kerja satu tahun karena memang pengusaha tidak diwajibkan mengacu pada struktur dan skala upah. Struktur dan skala upah hanya dapat diberlakukan bagi para pekerja yang telah memiliki masa kerja sekurang-kurangnya satu tahun atau lebih. Dalam hal itu, terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum) di dalam pengaturan ketenagakerjaan perihal struktur dan skala upah.
Perpu Cipta Kerja patut dipertanyakan efektivitasnya dalam menjawab kebutuhan tenaga kerja, terutama dalam hal upah. Pemerintah perlu memperhatikan hal ini sebagai bentuk mitigasi konflik berkelanjutan antara buruh, pengusaha, dan negara. Hal itu karena konflik di kalangan buruh bukan hal yang baru lagi di Indonesia. Nyatanya, konflik buruh merupakan embrio dari gerakan sosial di Indonesia.Â
Contohnya, demonstrasi buruh yang menuntut kenaikan upah pada tahun 1842 pada masa Hindia Belanda. Kemudian, gerakan buruh itu berkelindan dan terus berlanjut di Indonesia hingga akhirnya, menjadi embrio pergerakan kemerdekaan. Hal itu terutama ketika ideologi ikut campur dalam pergerakan buruh yang mengakibatkan tumbuhnya kesadaran kelas di kalangan buruh. Salah satu isu krusial di dalam setiap gerakan buruh sepanjang sejarah Indonesia adalah upah.Â
Maka dari itu, persoalan upah tersebut tidak boleh disepelekan oleh Pemerintah. Pemerintah harus berani mengambil langkah tegas melalui peraturan agar tercipta kondisi buruh yang sejahtera. Terdapat beberapa hal yang sepatutnya dilakukan Pemerintah melalui peraturan ketenagakerjaan yang ada, antara lain:
1. Menyusun pengaturan mekanisme penetapan upah minimum secara berkepastian dengan berorientasi pada kesejahteraan buruh dengan memperhatikan kebutuhan biaya hidup buruh, jaminan sosial buruh, dan standar hidup yang layak bagi buruh dan keluarganya. Walaupun demikian, pengaturan itu dengan tidak mengesampingkan faktor-faktor ekonomi serta tidak memberatkan pengusaha.
2. Menghapus mekanisme alih daya dalam pengaturan ketenagakerjaan agar para buruh mendapat jaminan dalam dunia kerja. Sejauh ini, mekanisme alih daya tersebut seringkali hanya membawa kerugian di kalangan buruh sehingga patut untuk dihapuskan. Paling tidak, bilamana tidak dihapuskan, Pemerintah perlu menyusun ulang pengaturan perihal mekanisme tersebut dengan mempertimbangkan aspirasi dari buruh sepenuhnya. Dengan begitu, potensi kerugian yang timbul bagi buruh atas mekanisme alih daya dapat ditekan seminimal mungkin.
3. Membuka akses seluas-luasnya bagi disabilitas terhadap lapangan pekerjaan, terutama di sektor swasta mengingat masih ada kekosongan hukum di bidang tersebut. Sebab di dalam peraturan perundang-undangan yang ada, hal itu belum diakomodasi secara khusus. Padahal, pengaturan tersebut sangat penting mengingat rekomendasi lembaga internasional terhadap hal tersebut sudah sangat jelas. Ditambah, Indonesia telah mengakui hak asasi manusia di dalam konstitusinya sehingga perlu di-implementasikan secara konkret.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H