Selain itu, ada pula kasus demonstrasi oleh Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) di Bandung yang menuntut agar perusahan menghapus sistem outsourcing. Sayangnya, ketika mengesahkan Perpu Cipta Kerja, Pemerintah mengulangi hal yang sama. Dalam hal itu, Pemerintah membuka keran alih daya (outsourcing) melalui Pasal 64 Perpu tersebut.Â
Selain itu, Pemerintah malah memperluas jenis pekerjaan dalam alih daya dan terus menghidupkan outsourcing. Hal itu tentu bertentangan dengan amar putusan MK RI No. 91/PUU-XVIII/2020 yang mengharuskan pembentukan peraturan melalui proses partisipasi publik yang berarti sesuai dengan kebutuhan dari pekerja sebagai pihak yang terdampak atas peraturan tersebut (meaningful participation).
Pasal 67 tentang Disabilitas
Dalam substansinya, Perpu Cipta Kerja mengubah salah pasal, yaitu Pasal 67 Perpu Cipta Kerja. Pasal tersebut pada mulanya berjudul "Penyandang Cacat" dalam UU 13/2003 yang kemudian diubah menjadi "Penyandang Disabilitas" dalam Perpu Cipta Kerja. Perubahan tersebut dipandang penting dengan alasan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU 8/2016). Dalam Undang-Undang tersebut, dinyatakan dalam Pasal 148 bahwa istilah cacat harus diganti menjadi istilah disabilitas. Perpu Cipta Kerja memperbaiki diksi cacat yang ada di Pasal 67 Perpu Cipta Kerja sehingga sesuai dengan Pasal 148 UU 8/2016.Â
Terdapat beberapa hal yang perlu dijadikan catatan. Hal itu adalah karena Perpu Cipta Kerja belum sepenuhnya menjawab masalah yang ada dalam pemenuhan hak memperoleh pekerjaan yang layak untuk orang-orang disabilitas. Seyogianya, Perpu Cipta Kerja tidak hanya sekadar mengubah diksi yang ada, tetapi juga merevisi keseluruhan Pasal 67 Perpu Cipta Kerja agar sesuai dengan perkembangan hukum yang ada, terutama setelah berlakunya UU 8/2016. Hal itu karena terdapat jarak waktu yang sangat panjang antara UU 13/2003 dan UU 8/2016 sehingga diperlukan beberapa penyesuaian dan penyelarasan.
Akses Disabilitas terhadap Pekerjaan
Pada dasarnya, ketika membahas disabilitas dengan pekerjaan, terdapat satu isu yang jauh lebih penting ketimbang persoalan perlindungan pekerja disabilitas di lingkungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Perpu Cipta Kerja. Padahal, ada aspek yang lebih penting untuk dijadikan prioritas adalah perihal akses disabilitas terhadap pekerjaan. Hal itu pula yang menjadi bagian dari perhatian International Labour Organization (ILO).Â
Hal itu sebagaimana Rekomendasi Nomor 171 International Labour Conference (ILC) yang salah satu rekomendasinya adalah perihal akses kerja bagi disabilitas. Bunyinya rekomendasi tesebut kurang lebih, yaitu bahwa apapun asal usul disabilitas mereka, haruslah diberikan peluang sepenuhnya untuk mendapatkan rehabilitas, bimbingan vokasional khusus, pelatihan dan pelatihan kembali, dan melakukan pekerjaan yang berguna.Â
Hal inilah yang seyogianya diterapkan di dalam pengaturan ketenagakerjaan di dalam Perpu Cipta Kerja, yaitu membuka akses seluas-luasnya bagi disabilitas untuk memperoleh pekerjaan. Apalagi, pengaturan perihal itu di dalam UU 8/2016 sendiri kurang lengkap ketika berbicara mengenai kondisi disabilitas dalam pekerjaan karena hanya mengatur kewajiban lembaga Pemerintah untuk membuka akses pekerjaan di sektor pemerintahan. Padahal, banyak pekerjaan di sektor swasta yang harusnya dapat diatur lebih lanjut agar memberikan kesempatan disabilitas memperoleh kehidupan yang layak melalui pekerjaan tersebut.
Pasal 88D jo. Pasal 88F tentang PengupahanÂ
Pasal 88D ayat (2)