Pemerintah resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja--biasa disebut sebagai Perpu Cipta Kerja--pada hari Jumat (30/12/2022).Â
Pengesahan tersebut menimbulkan pro dan kontra dari banyak pihak, salah satunya pihak pekerja atau buruh. Para pekerja/buruh menanggapi pembentukan Perpu tersebut karena salah satu bab yang disahkan dalam Perpu tersebut adalah bab ketenagakerjaan (perburuhan). Apalagi, pengaturan perihal ketenagakerjaan di dalam Perpu tersebut dianggap cenderung merugikan para pekerja.
Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sendiri dibuat untuk menggantikan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020). Undang-Undang itu sendiri merupakan Undang-Undang yang sering disebut sebagai "sapu jagat" karena merevisi banyak aturan yang ada di Indonesia. Salah satu aturan yang turut direvisi dalam Undang-Undang Cipta Kerja adalah Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003).Â
Adapun UU 11/2020 sendiri, telah diputus inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dalam Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020. Publik pun ikut mempertanyakan legitimasi dari Perpu Cipta Kerja mengingat Perpu tersebut hadir menggantikan UU 11/2020 yang telah diputus inkonstitusional bersyarat. Hal itu karena salah satu makna putusan tersebut adalah perintah dari MKRI agar pengambil kebijakan dapat membuka partisipasi publik yang sebenarnya dan optimal (meaningful participation).
Pada dasarnya, tidak terdapat banyak perubahan substansi tentang ketenagakerjaan di dalam Perpu Cipta Kerja dibandingkan dengan yang ada di dalam UU 11/2020. Walaupun demikian, tetap terdapat beberapa perubahan substansial tentang ketenagakerjaan dalam Perpu Cipta Kerja. Perubahan itu diklaim oleh Pemerintah--Satuan Tugas Percepatan Sosialisasi Undang-Undang Cipta Kerja dan Menteri Ketenagakerjaan--sebagai hasil atas penyerapan aspirasi publik di berbagai daerah di Indonesia. Adapun perubahan substansi tersebut, antara lain:
Pasal 64 tentang Alih Daya
Sebelumnya, Pasal 64 merupakan salah satu pasal yang berasal dari UU 13/2003. Dengan disahkannya UU 11/2020, pasal tersebut dihapuskan dan dinyatakan tidak lagi berlaku lagi. Pasal 64 kembali berlaku dengan beberapa perubahan setelah disahkannya Perpu Cipta Kerja. Adapun isi dari Pasal 64 berbunyi:
Pasal 64
(1) Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.Â
(2) Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).Â
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Dalam klaimnya, Pemerintah meyakini bahwa hadirnya kembali Pasal 64 merupakan hal yang baik karena ketentuan alih daya (outsourcing) menjadi lebih jelas. Hal itu karena, dalam UU 11/2020 tidak diatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan, sedangkan dalam Perpu ini, jenis pekerjaan alih daya dibatasi. Sayangnya, hal itu tidak sepenuhnya benar. Terdapat beberapa catatan terhadap dihidupkannya kembali Pasal 64.Â
Potensi Perluasan Jenis Pekerjaan Alih Daya
Salah satu catatan utama adalah pengaturan perihal alih daya sendiri tidak lengkap dan malah dapat merugikan tenaga kerja. Hal itu karena Perpu Cipta Kerja tidak turut memperbaharui beberapa hal yang harusnya turut diperbaharui beserta Pasal 64 Perpu Cipta Kerja, yaitu Pasal 65 Perpu Cipta Kerja dan Pasal 66 Perpu Cipta Kerja.Â
Sayangnya, Perpu Cipta Kerja sama sekali tidak memperbaharui pasal-pasal tersebut sehingga tetap sebagaimana diatur dalam UU 11/2020. Padahal, Pasal 65 Perpu Cipta Kerja dan Pasal 66 Perpu Cipta Kerja mengatur perihal batasan-batasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan kepada perusahaan alih daya.Â
Dalam perkembangannya, Pasal 65 Perpu Cipta Kerja malah dihapus dalam Perpu Cipta Kerja. Sementara itu, Pasal 66 Perpu Cipta Kerja direvisi sehingga tidak membahas sama sekali jenis pekerjaan yang dibatasi untuk dialihdayakan.Â
Dalam hal ini, perusahaan menjadi mendapat keleluasaan yang sangat besar dalam hal mengalihdayakan pekerjaan terlepas apakah pekerjaan tersebut berkaitan langsung dengan kegiatan pokok atau utama dari bidang pekerjaan terkait sebagaimana diatur dalam UU 13/2003.Â
Lebih parah lagi, perusahaan bahkan dapat mengalihdayakan seluruh jenis pekerjaan yang ada di perusahaan melalui mekanisme outsourcing. Hal itu tentu akan mengancam pekerja karena akan marak terjadinya pekerja alih daya yang mengambil pos-pos pekerjaan di perusahaan. Dampaknya adalah pada kesejahteraan buruh yang terancam karena dapat terjadi pengurangan tenaga kerja atas dasar jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada pekerja alih daya.
Problematika Pekerjaan Alih Daya (Outsourcing)
 Alih daya atau kerap disebut outsourcing, memang merupakan salah satu masalah krusial dalam persoalan ketenagakerjaan di Indonesia. Sayangnya, Pemerintah dan pengambil kebijakan lainnya belum juga mampu menyelesaikannya.Â
Sebagai contoh, demonstrasi buruh yang terjadi pada tahun 2012 yang terjadi di Jakarta yang dipelopori oleh beberapa serikat buruh, seperti Konferensi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI) yang diwakili oleh Said Iqbal memprotes perihal pekerjaan alih daya. Dalam hal itu, Ia menuntut agar proses produksi dan kegiatan pokok di perusahaan tidak boleh mempekerjakan outsourcing.Â
Kegiatan penunjang juga hanya boleh dilakukan di lima jenis pekerjaan saja yang menggunakan outsourcing pekerja dan tidak boleh untuk jenis pekerjaan lainnya.Â
Selain itu, ada pula kasus demonstrasi oleh Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) di Bandung yang menuntut agar perusahan menghapus sistem outsourcing. Sayangnya, ketika mengesahkan Perpu Cipta Kerja, Pemerintah mengulangi hal yang sama. Dalam hal itu, Pemerintah membuka keran alih daya (outsourcing) melalui Pasal 64 Perpu tersebut.Â
Selain itu, Pemerintah malah memperluas jenis pekerjaan dalam alih daya dan terus menghidupkan outsourcing. Hal itu tentu bertentangan dengan amar putusan MK RI No. 91/PUU-XVIII/2020 yang mengharuskan pembentukan peraturan melalui proses partisipasi publik yang berarti sesuai dengan kebutuhan dari pekerja sebagai pihak yang terdampak atas peraturan tersebut (meaningful participation).
Pasal 67 tentang Disabilitas
Dalam substansinya, Perpu Cipta Kerja mengubah salah pasal, yaitu Pasal 67 Perpu Cipta Kerja. Pasal tersebut pada mulanya berjudul "Penyandang Cacat" dalam UU 13/2003 yang kemudian diubah menjadi "Penyandang Disabilitas" dalam Perpu Cipta Kerja. Perubahan tersebut dipandang penting dengan alasan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU 8/2016). Dalam Undang-Undang tersebut, dinyatakan dalam Pasal 148 bahwa istilah cacat harus diganti menjadi istilah disabilitas. Perpu Cipta Kerja memperbaiki diksi cacat yang ada di Pasal 67 Perpu Cipta Kerja sehingga sesuai dengan Pasal 148 UU 8/2016.Â
Terdapat beberapa hal yang perlu dijadikan catatan. Hal itu adalah karena Perpu Cipta Kerja belum sepenuhnya menjawab masalah yang ada dalam pemenuhan hak memperoleh pekerjaan yang layak untuk orang-orang disabilitas. Seyogianya, Perpu Cipta Kerja tidak hanya sekadar mengubah diksi yang ada, tetapi juga merevisi keseluruhan Pasal 67 Perpu Cipta Kerja agar sesuai dengan perkembangan hukum yang ada, terutama setelah berlakunya UU 8/2016. Hal itu karena terdapat jarak waktu yang sangat panjang antara UU 13/2003 dan UU 8/2016 sehingga diperlukan beberapa penyesuaian dan penyelarasan.
Akses Disabilitas terhadap Pekerjaan
Pada dasarnya, ketika membahas disabilitas dengan pekerjaan, terdapat satu isu yang jauh lebih penting ketimbang persoalan perlindungan pekerja disabilitas di lingkungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Perpu Cipta Kerja. Padahal, ada aspek yang lebih penting untuk dijadikan prioritas adalah perihal akses disabilitas terhadap pekerjaan. Hal itu pula yang menjadi bagian dari perhatian International Labour Organization (ILO).Â
Hal itu sebagaimana Rekomendasi Nomor 171 International Labour Conference (ILC) yang salah satu rekomendasinya adalah perihal akses kerja bagi disabilitas. Bunyinya rekomendasi tesebut kurang lebih, yaitu bahwa apapun asal usul disabilitas mereka, haruslah diberikan peluang sepenuhnya untuk mendapatkan rehabilitas, bimbingan vokasional khusus, pelatihan dan pelatihan kembali, dan melakukan pekerjaan yang berguna.Â
Hal inilah yang seyogianya diterapkan di dalam pengaturan ketenagakerjaan di dalam Perpu Cipta Kerja, yaitu membuka akses seluas-luasnya bagi disabilitas untuk memperoleh pekerjaan. Apalagi, pengaturan perihal itu di dalam UU 8/2016 sendiri kurang lengkap ketika berbicara mengenai kondisi disabilitas dalam pekerjaan karena hanya mengatur kewajiban lembaga Pemerintah untuk membuka akses pekerjaan di sektor pemerintahan. Padahal, banyak pekerjaan di sektor swasta yang harusnya dapat diatur lebih lanjut agar memberikan kesempatan disabilitas memperoleh kehidupan yang layak melalui pekerjaan tersebut.
Pasal 88D jo. Pasal 88F tentang PengupahanÂ
Pasal 88D ayat (2)
Dalam Pasal 88D ayat (2) Perpu Cipta Kerja, dinyatakan bahwa formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan tiga variabel, yaitu:
- Pertumbuhan ekonomi,
- Inflasi, danÂ
- Indeks tertentu.Â
Pasal tersebut merupakan hasil revisi dari pasal yang sama di dalam UU 11/2020 yang sebelumnya tidak terdapat variabel indeks tertentu. Penambahan variabel tersebut banyak disorot oleh masyarakat. Hal itu karena terdapat ketidakjelasan dalam variabel indeks tertentu tersebut. Bagi para pekerja, indeks tertentu dikhawatirkan merupakan indeks yang dapat mengurangi kenaikan upah minimum.Â
Sebaliknya, para pengusaha mengkhawatirkan bahwa indeks tertentu sendiri dapat memberatkan pengusaha apabila variabel tersebut membuat kenaikan dari upah minimum secara signifikan. Hal itu tentunya akan membebani keuangan perusahaan untuk membayar upah tenaga kerjanya.Â
Berbeda dengan dua variabel lainnya yang tolok ukurnya sudah jelas, indeks tertentu tidak. Hal itu tentunya akan menimbulkan ketidakpastian hukum di kalangan pengusaha dan pekerja. Padahal, dalam Pasal 3 Konvensi Penetapan Upah Minimum Tahun 1970 telah diatur secara jelas apa saja unsur yang patut dipertimbangkan dalam penetapan upah minimum. Dalam hal itu, di samping aspek ekonomi, terdapat pertimbangan aspek kesejahteraan buruh dalam Pasal 3 huruf a konvensi tersebut. Hal itulah yang seyogianya diperhatikan oleh Pemerintah. Apalagi, adanya unsur indeks tertentu yang multitafsir tersebut yang bisa saja merupakan pengurangan justru bertentangan dengan Pasal 2 Konvensi Penetapan Upah Minimum Tahun 1970.
Pasal 88F
Berbeda dengan UU 11/2020, terdapat tambahan pasal dalam pengaturan soal upah dalam Perpu Cipta Kerja, yaitu pada Pasal 88F. Adapun pasal tersebut menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2) Perpu Cipta Kerja. Penambahan pasal ini membuat peraturan soal penetapan upah dalam Perpu Cipta Kerja menjadi penuh ketidakpastian dan rawan kesewenang-wenangan dari pihak Pemerintah.Â
Hal itu karena dalam Pasal 88F Perpu Cipta Kerja tidak diberikan kualifikasi keadaan seperti apa yang membuat Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah disamping yang telah ditetapkan. Apalagi, dalam Pasal 88D Perpu Cipta Kerja saja telah terdapat penambahan variabel berupa indeks tertentu yang juga sama-sama sumir dan multitafsir.Â
Hal itu ditambah dengan lahirnya Pasal 88F Perpu Cipta Kerja tentunya akan membawa ketidakpastian hukum yang amat sangat. Padahal, menurut Pasal 4 ayat (2) Konvensi Penetapan Upah Minimum Tahun 1970, modifikasi atau perubahan terhadap perangkat penentuan upah minimum, harus melibatkan pihak buruh dan pihak pengusaha. Jelas, Pasal 88F bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) Konvensi Penetapan Upah Minimum Tahun 1970 karena memungkinkan Pemerintah untuk mengubah mekanisme penentuan upah tanpa terlebih dahulu, membahasnya dengan pihak buruh dan pengusaha.
Pasal 92 tentang Struktur dan Skala UpahÂ
Pasal 92 UU 11/2020 tentang Ketenagakerjaan merupakan salah satu pasal yang turut direvisi oleh Perpu Cipta Kerja. Pasal tersebut menyatakan bahwa struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah bagi pekerja yang memiliki masa kerja satu tahun atau lebih. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana bagi pekerja yang belum mencapai masa kerja satu tahun?Â
Dengan adanya pasal ini, tidak ada pengaturan yang jelas tentang bagaimana pengusaha harus menentukan besaran upah terhadap pekerja di bawah masa kerja satu tahun karena memang pengusaha tidak diwajibkan mengacu pada struktur dan skala upah. Struktur dan skala upah hanya dapat diberlakukan bagi para pekerja yang telah memiliki masa kerja sekurang-kurangnya satu tahun atau lebih. Dalam hal itu, terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum) di dalam pengaturan ketenagakerjaan perihal struktur dan skala upah.
Perpu Cipta Kerja patut dipertanyakan efektivitasnya dalam menjawab kebutuhan tenaga kerja, terutama dalam hal upah. Pemerintah perlu memperhatikan hal ini sebagai bentuk mitigasi konflik berkelanjutan antara buruh, pengusaha, dan negara. Hal itu karena konflik di kalangan buruh bukan hal yang baru lagi di Indonesia. Nyatanya, konflik buruh merupakan embrio dari gerakan sosial di Indonesia.Â
Contohnya, demonstrasi buruh yang menuntut kenaikan upah pada tahun 1842 pada masa Hindia Belanda. Kemudian, gerakan buruh itu berkelindan dan terus berlanjut di Indonesia hingga akhirnya, menjadi embrio pergerakan kemerdekaan. Hal itu terutama ketika ideologi ikut campur dalam pergerakan buruh yang mengakibatkan tumbuhnya kesadaran kelas di kalangan buruh. Salah satu isu krusial di dalam setiap gerakan buruh sepanjang sejarah Indonesia adalah upah.Â
Maka dari itu, persoalan upah tersebut tidak boleh disepelekan oleh Pemerintah. Pemerintah harus berani mengambil langkah tegas melalui peraturan agar tercipta kondisi buruh yang sejahtera. Terdapat beberapa hal yang sepatutnya dilakukan Pemerintah melalui peraturan ketenagakerjaan yang ada, antara lain:
1. Menyusun pengaturan mekanisme penetapan upah minimum secara berkepastian dengan berorientasi pada kesejahteraan buruh dengan memperhatikan kebutuhan biaya hidup buruh, jaminan sosial buruh, dan standar hidup yang layak bagi buruh dan keluarganya. Walaupun demikian, pengaturan itu dengan tidak mengesampingkan faktor-faktor ekonomi serta tidak memberatkan pengusaha.
2. Menghapus mekanisme alih daya dalam pengaturan ketenagakerjaan agar para buruh mendapat jaminan dalam dunia kerja. Sejauh ini, mekanisme alih daya tersebut seringkali hanya membawa kerugian di kalangan buruh sehingga patut untuk dihapuskan. Paling tidak, bilamana tidak dihapuskan, Pemerintah perlu menyusun ulang pengaturan perihal mekanisme tersebut dengan mempertimbangkan aspirasi dari buruh sepenuhnya. Dengan begitu, potensi kerugian yang timbul bagi buruh atas mekanisme alih daya dapat ditekan seminimal mungkin.
3. Membuka akses seluas-luasnya bagi disabilitas terhadap lapangan pekerjaan, terutama di sektor swasta mengingat masih ada kekosongan hukum di bidang tersebut. Sebab di dalam peraturan perundang-undangan yang ada, hal itu belum diakomodasi secara khusus. Padahal, pengaturan tersebut sangat penting mengingat rekomendasi lembaga internasional terhadap hal tersebut sudah sangat jelas. Ditambah, Indonesia telah mengakui hak asasi manusia di dalam konstitusinya sehingga perlu di-implementasikan secara konkret.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H