"Oooo."
"Kenapa?"
"Hmmmm... tidak apa -- apa. Hanya saja aku sudah mencicil rindu bahkan sebelum kamu pergi. Tak terbayangkan nanti seperti apa."
Kirana tersenyum mendengar jawabku. Tangannya yang kurus meraih buku batik biru. Lalu tangannya menari dengan lincah di atasnya.
"Nih. Kalau sangat rindu, telpon saja. Itu nomer Ibuku. Jangan takut, beliau tahu tentang kita. Sudah kuceritakan lewat suratku tempo hari."
Kupandang wajah Kirana. Ada rasa yang tak biasa menyelinap menggoda. Segera kutepis saja.
"Baiklah. Tunggu telpon dariku ya."
Aku dan Kirana pun berpisah sore itu dengan hati tak tentu. Â
Saat penerimaan raport tiba, dan orang tua kami masing -- masing datang untuk menjemput. Sebelum dia masuk ke mobilnya, dia sorongkan buku batik ungu yang kemarin kuberikan padanya. Kulambaikan tangan mengantarkannya dalam perjalanan pulang menuju kota kelahirannya.
Sore itu, ketika sejuk udara menyergap kulitku yang tak terlindung oleh jaket, kubuka lembaran yang masih basah karena tinta tak terserap sempurna.
PadamuÂ