Mohon tunggu...
Fredeswinda Wulandari
Fredeswinda Wulandari Mohon Tunggu... Guru - pencinta fantasi

Penyuka kopi, Harry Potter, dan cerita fantasi. Melamunkan yang akan datang dengan harapan akan dijamah Sang Pemilik Semesta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tumpukan Kata Usang yang Minta Dikenang (Bagian 3)

24 Januari 2023   13:25 Diperbarui: 24 Januari 2023   13:28 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kehidupan terus berlanjut baik di sekolah maupun di asrama. Tentu saja, tak selamanya hubungan kami ini bisa tersembunyi. Untung saja, otak encer kami berdua mendukung supaya kami tetap mendapatkan nilai -- nilai unggul. Kalau tidak, bisa - bisa nasib kami menjadi buntung.

Tak terasa ulangan akhir semester sudah di depan mata. Sungguh butuh kerja keras dalam meraih hasil maksimal supaya nanti tidak ada undangan untuk orang tua yang anaknya mendapat nilai tak sesuai dengan harapan sekolah. Keluargaku dan keluarga Kirana berharap hal yang sama. Pandangan hidup dan fokus yang sama semakin mengeratkan rasa di antara kami. Tak ada satu jam dimana kami tak saling mendukung dalam pembelajaran, saling mengingatkan, dan saling menyemangati.

Walaupun begitu, buku batik ungu tak pernah berhenti untuk menjadi sasaran penjalin kerinduan. Halaman demi halaman terisi penuh dengan kata -- kata pemompa semangat.  Jadwal ulangan akhir semester sudah di tangan. Genderang perang sudah berdentang. Aku dan Kirana terlarut dalam persiapan dan pelaksanaan ulangan akhir semester ini. Namun, kami lebih tenggelam dalam lautan asmara di antara kata yang tertuang di buku batik ungu.

"Akhirnya...," kataku sambil menyedot es teh manis.

"Lega ya rasanya. Semua sudah terlewati," ujarnya pelan.

"Iya. Tinggal menunggu raport saja. Itu pun masih seminggu lagi."

"Semoga tidak ada mata pelajaran yang remedi, ya," harapnya.

"Semoga."

Lalu kami terdiam. Ada saat dimana waktu hanya membisu tak tahu apa yang akan diucapkannya pada jarum -- jarum jam yang melewatinya.

"Ki, kamu nanti liburan pulang ke Jakarta?"

"Iya. Sudah kangen aku sama keluargaku. Terutama ibuku. Aku sudah rindu masakannya."

"Oooo."

"Kenapa?"

"Hmmmm... tidak apa -- apa. Hanya saja aku sudah mencicil rindu bahkan sebelum kamu pergi. Tak terbayangkan nanti seperti apa."

Kirana tersenyum mendengar jawabku. Tangannya yang kurus meraih buku batik biru. Lalu tangannya menari dengan lincah di atasnya.

"Nih. Kalau sangat rindu, telpon saja. Itu nomer Ibuku. Jangan takut, beliau tahu tentang kita. Sudah kuceritakan lewat suratku tempo hari."

Kupandang wajah Kirana. Ada rasa yang tak biasa menyelinap menggoda. Segera kutepis saja.

"Baiklah. Tunggu telpon dariku ya."

Aku dan Kirana pun berpisah sore itu dengan hati tak tentu.  

Saat penerimaan raport tiba, dan orang tua kami masing -- masing datang untuk menjemput. Sebelum dia masuk ke mobilnya, dia sorongkan buku batik ungu yang kemarin kuberikan padanya. Kulambaikan tangan mengantarkannya dalam perjalanan pulang menuju kota kelahirannya.

Sore itu, ketika sejuk udara menyergap kulitku yang tak terlindung oleh jaket, kubuka lembaran yang masih basah karena tinta tak terserap sempurna.

Padamu 

Senja ini kita berpisah. Tak ada lagi senja yang dapat kita habiskan bersama. Tak ada mentari yang tenggelam di balik rimbun pepohonan. Tak ada atau bahkan tak kan ada lagi kita, aku dan kau. Dan tak ada ... sungguh tak ada lagi. 

Serta merta kupinjam telepon genggam Mama untuk menelponnya. Tak kuasa bersabar untuk tak mendengar suaranya. Setelah menelpon beberapa menit hanya tuk sekedar bertanya sudah sampai mana perjalanannya, aku kembalikan telepon genggam Mama dan hatikupun tenang.

Liburan dua minggu yang paling lama kurasakan tanpa kehadirannya.

Kugonta -- ganti channel TV. Tidak ada acara yang menarik. Tiba -- tiba di layar kaca muncul newsflash tentang sebuah kecelakaan di tol Cipularang. Sebuah mobil avanza putih remuk bagian depannya menabrak portal akibat tersenggol bus berkecepatan tinggi. Seketika aku terhenyak. Kupandangi layar berwarna -- warni di hadapanku tanpa kedip. Kupanggil Mama yang sedang asyik merenda dan kupinjam telepon genggamnya. Kuhubungi nomer yang tadi siang masih setia mengirimkan suara merdunya sampai ke telingaku. Kali ini tidak ada nada sambung. Sunyi. Kucoba berulang --ulang. Harapku membumbung tinggi ingin bertemu dengannnya lagi Minggu ini.

Satu jam berlalu tanpa ada kabar dari Kirana. Newsflash terbaru menyampaikan bahwa korban kecelakaan tersebut adalah seorang laki--laki, seorang wanita, dan dua anak perempuan usia SMP dan SMA. Keluarga Sasmito. Jelas terdengar nama itu menabrak gendang telingaku. Terpampang nama--nama mereka di layar TV. Tak bisa disangkal lagi. Aku limbung. Kiranaku. Dia tak ada lagi di dunia ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun