Salah satu ancaman nyata sekaligus tantangan bagi keamanan global saat ini adalah pertumbuhan ekstremisme kekerasan. Beberapa tahun terakhir, aksi-aksi ekstrem yang berujung pada hilangnya nyawa manusia masih terjadi di sejumlah negara, tak terkecuali di Indonesia.Â
Salah satu hal yang mengemuka dalam fenomena ekstremisme kekerasan dewasa ini adalah pelibatan perempuan (ibu dan anak) secara langsung dalam aksi sebagai pelaku bom bunuh diri.Â
Pada tahun-tahun sebelumnya, dalam ekstremisme kekerasan posisi perempuan diibaratkan berada di belakang layar atau sekedar pendukung bagi pelaku laki-laki-mereka bukan pelaku langsung.
Tren keterlibatan perempuan dalam jaringan dan aksi ekstremisme kekerasan di Indonesia cukup dinamis, baik kuantitas maupun wujud keterlibatannya. Kini, perempuan kian menempati posisi sentral atau strategis dalam jaringan maupun saat pelaksanaan aksi.Â
Misalnya pada tahun 2009, Putri Munawaroh, istri dari Agus Susilo Adib ditangkap karena ikut terlibat menyembunyikan Noordin M. Top. Pada tahun 2016, istri Santoso, Jumiatin alias Umi Delima dan 2 perempuan lainnya ikut bergerilya di pegunungan di Poso, Sulawesi Tengah.Â
Akhir tahun 2016 Dian Yulia Novi ditangkap sebelum beraksi meledakkan 'Bom  Panci' di area Istana Negara. Pada bulan Mei 2018, rentetan aksi bom bunuh diri yang terjadi di beberapa titik di Surabaya dan Sidoarjo memberi bukti bahwa perempuan telah menjadi pelaku langsung[1].
Transformasi peran perempuan dan pelibatan anak perempuan menjadi pelaku langsung dalam insiden bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo tahun 2018 itu sudah seyogianya menjadi sinyalemen kuat bagi semua elemen bangsa bahwa kini ada ancaman nyata bagi perempuan, baik dewasa maupun anak.Â
Hal ini sudah sewajarnya menggerakkan kita semua melakukan aksi-aksi mitigasi agar insiden serupa tahun 2018 itu tidak terjadi lagi.
 Ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Contohnya bagi para pengambil kebijakan mulai dari pusat sampai ke daerah, khususnya daerah yang dikategorikan rentan terpapar ekstremisme kekerasan, seyogianya memformulasikan kebijakan yang berperspektif gender melalui sebuah regulasi.Â
Bisa juga melalui inovasi program pemberdayaan yang menjadikan perempuan sebagai motor penggerak dan atau sasaran utama.Â
Tanpa sebuah regulasi yang spesifik, program-program pencegahan ekstremisme kekerasan berperspektif gender hanya akan dilaksanakan sekali atau dua kali. Setelah itu sirna karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat (tidak berkelanjutan).
 Dalam pengalaman penulis setelah terlibat dalam proses advokasi regulasi pencegahan ektremisme kekerasan di pusat lalu ke daerah melaksanakan sejumlah program pencegahan, salah satu hal yang cukup mendesak yang perlu diupayakan adalah pembentukan regulasi daerah terkait pencegahan ekstremisme.Â
Hal ini akan menjadi dasar hukum setiap pengambilan kebijakan di daerah. Di samping itu, dengan adanya regulasi ini peran dan fungsi setiap elemen, baik pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil akan terpetakan dengan baik sehingga tidak saling tumpang tindih.Â
Hal ini penting karena persoalan ekstremisme kekerasan sangat kompleks. Mencegahnya membutuhkan kesamaan visi dan peran serta lintas lembaga pemerintah, keagamaan, perempuan, pendidikan, kepemudaan, dan sebagainya.
Mengapa regulasi terkait pencegahan ekstremisme yang berperspektif gender saat ini penting? Atau dengan kata lain mengapa peran perempuan dalam pencegahan ekstremisme kekerasan urgen diatur di dalam sebuah regulasi?Â
Alasannya bisa beragam. Pertama, dalam ekstremisme kekerasan, perempuan itu rentan. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa posisi dan peran perempuan yang semakin sentral dalam pusaran ekstremisme kekerasan.Â
Hal ini tentunya membutuhkan keterlibatan sesama perempuan untuk menjawab penyebab dan solusinya dari perspektif psikologis, agama, ekonomi dan sosio kultural perempuan.Â
Kedua, persoalan ekstremisme kekerasan yang semakin banyak melibatkan perempuan sebagai pelaku dan korban menuntut partisipasi lebih dari kelompok-kelompok perempuan.Â
Mulai dari pengambil kebijakan sampai ke posisi sebagai pendamping bagi perempuan yang menjadi pelaku dan korban serta menjadi edukator bagi perempuan-perempuan lainnya. Ketiga, dengan adanya regulasi ini ruang pemberdayaan yang lebih intens bagi perempuan dari berbagai organisasi dimungkinkan, baik yang berbasis profesi, keagamaan dan minat.Â
Hal ini bisa menjadi pertimbangan karena organisasi perempuan Indonesia saat ini jenisnya banyak, misalnya organisasi berbasis keagamaan yang hierarki kelembagaannya mulai dari pusat, provinsi, kabupaten sampai ke ranting (desa).Â
Dengan begitu, perempuan Indonesia dapat ikut terlibat dalam menciptakan sebuah strategi berbasis komunitas dengan mengonsolidasikan ide-ide dan usaha dari organisasi dan gerakan wanita dalam produksi ide dan aksi pencegahan ekstremisme kekerasan.[2] Keempat, perempuan diyakini memiliki kemampuan preventif dalam tahap deteksi dini radikalisasi.Â
Hal itu tidak terlepas dari peran vital seorang perempuan dalam keluarga, secara partikular dalam pembentukan karakter anak. Selain itu, perempuan juga menawarkan perspektif beragam dalam pemecahan masalah.[3]
Optimalisasi peran perempuan dalam upaya pembangunan nasional sebenarnya bukanlah hal baru. Hal ini telah tercermin dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Melalui peraturan tersebut dinyatakan bahwa pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah.
Semoga hal ini bisa menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan dalam bidang pencegahan ekstremisme kekerasan di negara kita sehingga tidak akan ada lagi perempuan yang menjadi korban dari ekstremisme kekerasan mulai saat ini dan di waktu mendatang.
*Opini ini menjadi salah satu pemenang dalam event lomba menulis dengan tema "Perempuan dan CVE di Indonesia" yang diadakan oleh lembaga WGWC di Jakarta akhir tahun 2020
Sekilas tentang Penulis
Frederik Sarira mulai bekerja di lembaga Civil Society Against Violent Extremism (C-SAVE) di Jakarta pada tahun 2018. Melalui keterlibatannya dalam asesmen awal 7 anak korban Bom Surabaya 2018 bersama psikolog dari C-SAVE dan Balai Rehabilitasi Anak, Kementerian Sosial, ia mengetahui bagaimana paham-paham ekstrem yang berujung kekerasan bisa masuk ke dalam lembaga keluarga yang pada akhirnya mengorbankan masa depan keluarga terlebih masa depan anak. Februari -- Desember 2020 ia mengoordinir Program Rehabilitasi dan Reintegrasi Orang yang Terpapar Ekstremisme Kekerasan di Jawa Timur. Â Â Â Â Â Â Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI