Mohon tunggu...
Frederik Sarira
Frederik Sarira Mohon Tunggu... Konsultan - Anak rantau

Lumayan suka menulis sebenarnya tapi masih berjuang mengalahkan rasa malas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Opini: Perempuan dan Kebijakan Pencegahan Ekstremisme

20 Februari 2021   13:36 Diperbarui: 20 Februari 2021   13:46 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 Dalam pengalaman penulis setelah terlibat dalam proses advokasi regulasi pencegahan ektremisme kekerasan di pusat lalu ke daerah melaksanakan sejumlah program pencegahan, salah satu hal yang cukup mendesak yang perlu diupayakan adalah pembentukan regulasi daerah terkait pencegahan ekstremisme. 

Hal ini akan menjadi dasar hukum setiap pengambilan kebijakan di daerah. Di samping itu, dengan adanya regulasi ini peran dan fungsi setiap elemen, baik pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil akan terpetakan dengan baik sehingga tidak saling tumpang tindih. 

Hal ini penting karena persoalan ekstremisme kekerasan sangat kompleks. Mencegahnya membutuhkan kesamaan visi dan peran serta lintas lembaga pemerintah, keagamaan, perempuan, pendidikan, kepemudaan, dan sebagainya.

Mengapa regulasi terkait pencegahan ekstremisme yang berperspektif gender saat ini penting? Atau dengan kata lain mengapa peran perempuan dalam pencegahan ekstremisme kekerasan urgen diatur di dalam sebuah regulasi? 

Alasannya bisa beragam. Pertama, dalam ekstremisme kekerasan, perempuan itu rentan. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa posisi dan peran perempuan yang semakin sentral dalam pusaran ekstremisme kekerasan. 

Hal ini tentunya membutuhkan keterlibatan sesama perempuan untuk menjawab penyebab dan solusinya dari perspektif psikologis, agama, ekonomi dan sosio kultural perempuan. 

Kedua, persoalan ekstremisme kekerasan yang semakin banyak melibatkan perempuan sebagai pelaku dan korban menuntut partisipasi lebih dari kelompok-kelompok perempuan. 

Mulai dari pengambil kebijakan sampai ke posisi sebagai pendamping bagi perempuan yang menjadi pelaku dan korban serta menjadi edukator bagi perempuan-perempuan lainnya. Ketiga, dengan adanya regulasi ini ruang pemberdayaan yang lebih intens bagi perempuan dari berbagai organisasi dimungkinkan, baik yang berbasis profesi, keagamaan dan minat. 

Hal ini bisa menjadi pertimbangan karena organisasi perempuan Indonesia saat ini jenisnya banyak, misalnya organisasi berbasis keagamaan yang hierarki kelembagaannya mulai dari pusat, provinsi, kabupaten sampai ke ranting (desa). 

Dengan begitu, perempuan Indonesia dapat ikut terlibat dalam menciptakan sebuah strategi berbasis komunitas dengan mengonsolidasikan ide-ide dan usaha dari organisasi dan gerakan wanita dalam produksi ide dan aksi pencegahan ekstremisme kekerasan.[2] Keempat, perempuan diyakini memiliki kemampuan preventif dalam tahap deteksi dini radikalisasi. 

Hal itu tidak terlepas dari peran vital seorang perempuan dalam keluarga, secara partikular dalam pembentukan karakter anak. Selain itu, perempuan juga menawarkan perspektif beragam dalam pemecahan masalah.[3]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun