On the outside, i may be smiling while i wish you farewell. But on the inside, i am desperately praying that you will quit your new job, and come back to work with us again - nn
Mengutip salah satu artikel dari laman Shift Indonesia: Survey Deloitte pada Tahun 2018 menunjukkan bahwa Generasi Z (lahir Thn 1995 - Thn 2010) dan Milenial (dikenal juga sebagai Gen Y - dilahirkan Tahun 1980 - 1994) memiliki loyalitas yang rendah terhadap pekerjaannya.Â
43% Generasi Milenial berencana meninggalkan perusahaan tempatnya bekerja dalam waktu 2 (dua) tahun ke depan. Hanya 28% Generasi Milenial yang ingin bertahan lebih dari 5 (lima) tahun.Â
Sementara mereka yang mewakili Generasi Z menyatakan loyalitas yang lebih rendah, sebanyak 61% dari Gen Z menyatakan akan meninggalkan perusahaan dalam waktu 2 (dua) tahun jika memiliki pilihan. Lebih lanjut lagi, masalah gaji dan budaya perusahaan menjadi pertimbangan utama bagi Gen Z dan Generasi Milenial.Â
Kalau kita melihat kecenderungan untuk berpindah kerja ke perusahaan lain, dari Gen Y sebanyak 43% ke Gen Z sebanyak 61%, ini menunjukkan bahwa semakin muda generasi, semakin tidak bisa diharapkan untuk bertahan di suatu perusahaan untuk waktu lebih dari 2 (dua) tahun. Ini artinya, kalau di jaman sekarang dan ke depan, berpindah pekerjaan dalam waktu yang relatif singkat merupakan hal yang biasa.Â
Namun tidak demikian kalau hal ini terjadi di masa Gen X yang lahir di Tahun 1965 - 1980 (kini berusia antara 41 tahun - 56 tahun). Sekitar 30 - 20 tahun lalu - sekitar Tahun 2000 - 1990. Kalau kita (yang sekarang berusia 40 tahunan) mendengar teman kita berpindah-pindah kerja dalam periode yang singkat, kita otomatis men-cap dirinya negatif sebagai Kutu Loncat. Rupanya seiring berjalannya waktu yang dulu kutu loncat mungkin dianggap tabu, di jaman sekarang bisa menjadi hal yang biasa.
Di masa karir profesional saya, saya termasuk salah satu Gen X yang lebih sering berpindah kerja dalam waktu 2 tahun. Karakter ini memang bukan karakter umum yang harusnya dimiliki seorang Gen X, sehingga terkadang saya berpikir, saya ini Gen Z yang lahirnya kecepatan 20 tahun... :D
Selama karir saya bekerja, umumnya saya hanya bekerja selama 2 (dua) tahun di satu perusahaan. Pernah bekerja selama 5 tahun, namun itu merupakan satu-satunya rekor dari seluruh perjalanan karir saya. Persis Gen Y dan Gen Z... Namun beda nya, di jaman saya pindah-pindah kerja, saya selalu kena cap negatif sebagai Kutu Loncat yang loyalitas ke perusahaannya rendah (tapi saya selalu berkilah: mungkin saya tidak lama bekerja di suatu perusahaan, tapi saya selalu meninggalkan kinerja terbaik).
Lalu sebenarnya mengapa orang-orang begitu mudah berpindah kerja (menjadi kutu loncat)?.
Masih menurut laman yang sama, berdasarkan survey, Gen Milenial (Gen Y) memiliki karakter menyukai tantangan kerja dan menginginkan fleksibilitas waktu untuk memilih kapan mereka harus memulai dan menyelesaikan suatu pekerjaan. Gen Y / Milenial tidak menyukai pola waktu kerja 9 pagi ke 5 sore. Sementara Gen Z lebih menginginkan sesuatu yang serba instan.Â
Gen Z kurang suka bila dihadapkan pada proses panjang untuk mencermati masalah. Terhadap lingkungan pekerjaan, Gen Z membutuhkan lingkungan yang memberikan mereka kebebasan untuk berkreasi dan menyalurkan ambisi mereka yang besar. Kalau disuruh mengikuti pola promosi berjenjang berdasarkan lama bekerja dari satu posisi ke satu posisi diatasnya, Gen Y dan Gen Z tidak bisa mengikutinya.
Dengan karakter Gen Y dan Gen Z yang hampir mirip ini : menginginkan fleksibilitas, kebebasan untuk berkreasi & berambisi, tidak menyukai kondisi yang terbelenggu atau monoton & cepat bosan. Tidak heran kalau Gen Y dan Gen Z sering berpindah pindah kerja. Ini lah generasi pekerja yang saat ini jumlahnya mulai mendominasi pasar tenaga kerja.
Itu Gen Y dan Gen Z. Nah.., saya yang Gen X, apa ceritanya juga cenderung berpindah pindah kerja? Karakter saya memang kurang mewakili karakter Gen X : kurang optimis menghadapi tantangan, dengan kata lain lebih menginginkan kondisi yang stabil (datar?). Sambil menulis artikel ini, saya semakin percaya bahwa saya manusia Gen Y yang lahir kecepatan di dunia.. he he.Â
Saya termasuk pribadi yang tidak cepat merasa puas, selalu menginginkan lebih, dalam waktu secepat-cepatnya. Tidak menyukai situasi monoton dan berharap selalu ada tantangan sehingga ada kesempatan untuk mengukir prestasi baru. Walaupun tidak umum di Gen X, saya percaya bahwa banyak juga manusia-manusia Gen X yang memiliki karakter mirip dengan Gen Y dan Gen Z yang tidak menyukai kondisi kerja yang monoton.
Jadi mungkin boleh saya disimpulkan dalam 1 (satu) kalimat pendek, apapun Generasinya, orang-orang cenderung menjadi kutu loncat karena : Tidak puas dengan kondisi yang ada. Baik kondisi tantangan pekerjaan, lingkungan kerja maupun remunerasi yang diperoleh. Jangan lupa, berdasarkan hasil survey, masalah gaji dan budaya kerja merupakan pertimbangan utama juga bagi Gen Y dan Gen Z' dan sebagian kecil Gen X... :)Â
Lalu apakah kutu loncat itu hal yang positif atau negatif bagi perusahaan?
Dalam membahas baik buruk suatu hal, kita harus membuka hati kita terhadap semua aspek kemungkinan yang ada. Bukankah hampir semua segi kehidupan kita juga memiliki 2 (dua) sisi : baik dan buruk? Saya ambil contoh sederhana. Orang tua yang sangat menyayangi anak-anaknya, memanjakan anak-anaknya, tentu merupakan sisi yang baik. Anak-anak tidak akan kekurangan kasih sayang dari kedua orang tua yang sangat mencintai mereka.Â
Namun di balik ini juga terdapat sisi negatif, anak-anak yang terlalu dimanjakan kehilangan daya juang mandiri nya. Mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang sangat tergantung pada orang lain, dan cenderung rentan mengalami depresi dalam menghadapi situasi yang sulit. Karena selama mereka bertumbuh, semua situasi sulit diatasi oleh kedua orang tua nya.
Benar kutu loncat itu buruk karena dalam jangka waktu pendek ia akan berpindah lagi ke perusahaan lain. Meninggalkan PR bagi HRD di perusahaan lama untuk mencari kandidat pengganti. Sungguh merepotkan. Tapi masuknya seorang kutu loncat tidak mungkin tidak membawa hal-hal baru "out of the box" bagi perusahaan dimana ia bekerja. Kutu Loncat tidak menyukai kondisi monoton, sehingga secara langsung membentuk cara kerja nya yang lebih dinamis. Jangan lupa, semakin banyak bekerja di banyak perusahaan, semakin banyak juga pengalaman dan wawasannya.Â
Saya tidak ingin membela diri atas kecenderungan saya bekerja yang tidak lama di satu perusahaan selama masa saya berkarir profesional. Tapi dimanapun saya bekerja, walaupun tidak lama, saya meninggalkan prestasi.Â
Dalam kurun 10 tahun belakang ini, 2 tahun saya bekerja di perusahaan consumer goods roti, kinerja penjualan bertumbuh 33% di tahun pertama dan 47% di tahun kedua. Tertinggi dalam sejarah perusahaan tersebut. Kemudian hampir 2 tahun saya bekerja di perusahaan lubrikan nasional, di masa kepemimpinan saya, di tahun pertama, penjualan tumbuh sekitar Rp 30M setiap kuartal.Â
Lalu hampir 3 tahun saya di perusahaan makanan beku, saat ditugaskan mengembangkan penjualan distributor daerah, rata-rata penjualan tumbuh 100% setiap tahun selama 2 tahun. Kemudian 1 tahun di perusahaan makanan beku yang lain, penjualan tumbuh 68% dan terus tumbuh walaupun saya telah meninggalkan perusahaan tersebut.Â
Saya percaya bahwa saya bukan satu-satunya kutu loncat yang mengukir prestasi di suatu perusahaan. Pasti masih banyak kutu loncat-kutu loncat lain yang memiliki prestasi yang bahkan lebih baik dari saya. Dan tentunya banyak juga yang bukan kutu loncat juga memiliki prestasi kerja yang cemerlang dan lebih baik.
Baiklah, kalau membaca paragraf di atas, mungkin benar seorang kutu loncat bisa membawa hal-hal baru bagi perusahaan dimana itu bekerja. Tapi inti nya tetap repot, kita tidak mau ada seorang kutu loncat bekerja masuk ke perusahaan kita. Serius, repot.
Hmmm, maaf. Kalau di jaman sekarang ini kita masih berpikir dalam kerangka seperti ini, mungkin sebenarnya kita lah yang menjadi masalah utama dalam perusahaan.Â
Di jaman sekarang ini, dengan kecenderungan lebih sering berpindah kerja yang dimiliki Gen Y dan Gen Z, bagaimana mungkin kita masih berharap mendapat CV kandidat pelamar dengan pengalaman hanya bekerja di 1 (satu) perusahaan selama 4-5 tahun karir nya? Benar tidak semua Gen Y dan Gen Z selalu pindah pindah kerja, tapi jangan lupa, persentase jumlah orang-orang yang cenderung berpindah kerja dari Gen Y ke Gen Z semakin besar. Dari 43% (Gen Y) menjadi 61% (Gen Z).Â
Jadi, maklumi saja?. Sudah nasib bagi perusahaan jaman sekarang memiliki karyawan pindah-pindah kerja?
Tentu tidak. 61% adalah jumlah yang tinggi. Hampir 2/3. Masih ada 1/3 yang ogah pindah-pindah kerja. Tapi juga tidak mungkin suatu perusahaan bisa mendapatkan seluruh karyawan Gen Z nya yang berada di bagian 1/3 ; yang tidak ikut berpindah pindah kerja ?.
Kemudian masing-masing generasi memiliki karakternya sendiri, dan tentunya Ilmu Sumber Daya Manusia telah mempelajarinya serta memiliki solusi untuk mengatasi masalah dari tiap generasi. Lihat saja, 50 tahun lalu mana ada perusahaan yang menyediakan lounge bagi karyawan nya dengan segala fasilitas yang memanjakan karyawannya selama jam kerja?Â
Saya pernah mengunjungi suatu perusahaan multinasional yang menyediakan fasilitas gym di kantor, meja billiard, karaoke hingga Coffee Corner. Setiap saat karyawan yang jenuh dan ingin refreshing bisa datang ke ruangan lounge tersebut. 50 tahun lalu, jangan kan dikasih fasilitas lounge, staf kantor yang tiba-tiba meninggalkan kantor bisa segera mendapat Surat Peringatan. Apalagi ketahuan nge-gym di jam kantor, bisa langsung di PHK malah.
Industri IT sangat banyak diisi oleh kaum muda. Gen Y dan Gen Z mengisi sebagian besar pekerjaan di perusahaan-perusahaan IT. Baik Gen Y maupun Gen Z bukan pribadi yang bisa dikekang oleh waktu bekerja yang kaku.Â
Oleh sebab itu, pekerja industri IT yang menuntut kreatifitas tinggi, tidak lagi bekerja di perkantoran resmi. Melainkan didirikan "camp" dengan fasilitas2 olah raga dan hiburan yang lengkap bagi mereka. Mau dari pagi langsung berenang lalu siang karaoke tidak menjadi masalah, asalkan tenggat waktu penyelesaian pekerjaan nya tercapai. Sesuatu yang menjadi wajar di jaman sekarang ini, itu hal mewah di masa lalu.
Jadi, masing-masing generasi memiliki perlakuan tersendiri. Perusahaan tidak bisa lagi menerapkan kondisi kerja yang kaku sebagaimana yang berlaku umum 50 tahun lalu. Bukan juga mempermasalahkan riwayat bekerja pelamar jaman sekarang yang hanya bertahan 2 tahun di perusahaan lama.Â
Menurut saya bukan itu lagi isu utamanya. Mengharapkan karyawan bekerja lama tanpa menyadari kebutuhan sesuai karakter generasi di masa kini adalah sesuatu yang mustahil. Menurut saya, manajemen perusahaan dan Bagian SDM perlu segera mengkaji kembali kebijakan kerja dan melakukan pendekatan yang yang lebih personal ke masing-masing karyawannya.Â
Cari tahu apa kebutuhan masing-masing karyawannya agar mereka dapat berkreasi dan mengekspresikan dirinya dalam mencapai sukses perusahaan. Kutu Loncat di masa kini bukan lagi penyakit menakutkan, melainkan sudah menjadi kondisi umum, suatu hal yang normal. Tidak perlu ditakuti, karena bisa diatasi juga.Â
Selamat datang Gen Y dan Gen Z. Selamat datang Era Kutu Loncat.
Salam,
Freddy Kwan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H