Mohon tunggu...
Freddy Gunawan
Freddy Gunawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

gemar memanjakan lidah, mata, telinga dan tangan..

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pemahaman Sepotong-sepotong BPJS Kesehatan

19 Agustus 2015   08:52 Diperbarui: 19 Agustus 2015   08:52 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Satu percakapan dari dua kawan di grup bincang-bincang ponsel-pintar di satu hari:

Mau tanya..

Kamu masih ingat di grup pernah bahas ada teman kita operasi jantung diganti BPJS 200 juta?

     Kok saya gak tau ya..

     Mungkin perlu ditanyakan ulang aja ke grup..

     Ada soal apa dengan bpjs dan operasi jantung?

Ada yang perlu info ini...

Sudah masuk RS baru urus BPJS, ada tuh yang bisa disusulkan, bagaimana caranya?

     Kalau bpjs setahu saya gak isa setelah sakit baru diurus..

     Kudu 7 hari sebelum sakit..

     Musti dicek bisa diganti apa tidak lo..

     Yang bilang bisa disusulkan mesti dicek dulu.. ya ke bpjs..

     Kantornya saya lupa boleh cek ke google..

Dulu pernah bisa disusulkan..

Ya kalo sekarang aku rasa tidak bisa..

     Ya sudah ada aturan, kayaknya kalau dah sakit baru mau ikut bpjs sulit

     Mungkin bisa kalau dah sembuh..

Ya sekarang aturannya semakin ketat..

     Ya seharusnya begitu asuransi itu..

     Ketika masih sehat beli asuransi untuk jika2 ada risiko sakit

     Banyak orang yang salah mengerti manfaat asuransi

     Ketika ‘diajak’ memiliki asuransi saat dia sehat, merasa gak perlu

     Saat sakit baru mau ikut asuransi, biasanya perusahaan asuransi gak mau

     Kembali ke bpjs..

     Mungkin perlu tanya yang jelas sekali lagi aturan2nya

Lha aku ndak tahu...

Ada temen yang minta tolong carikan info...

Karena aku pernah sharing soal temen yang operasi jantung diganti..

     Saya lupa yang didiskusikan di grup..

     Gak apa2 ditanyakan ulang ke grup..

     Siapa tahu ada info lain..

     La orangnya, maaf, golongan miskin atau golongan mampu?

(tidak menjawab)

Ok tq

Ini percakapan biasa yang kerap terjadi di ponsel-ponsel dalam grup bincang-bincang. Tapi ada dua hal menarik dalam perbincangan sekitar BPJS Kesehatan itu yang dapat menjadi bahan belajar.

Info sepotong-sepotong BPJS Kesehatan

Pertama, hingga saat ini masih saja ada kebingungan atau ketidakjelasan informasi di sekitar BPJS Kesehatan. Dalam percakapan dua kawan itu, bahkan sampai disarankan untuk bertanya dan memeriksa ulang informasi ke kantor BPJS.

Ketidakjelasan itu terutama terkait hal-hal teknis BPJS Kesehatan. Ketika mencari informasi ke situs resmi atau blog-blog yang memuat informasi tentang BPJS Kesehatan, yang tertera hanya peraturan perundangan tentang BPJS Kesehatan atau ketentuan normatif lainnya, seperti bagaimana menjadi peserta BPJS Kesehatan, keterangan tentang hal-hal yang ditanggung dan tidak ditanggung, dan lain lain. Tapi minim soal hal-hal teknis.

Ada juga beberapa info yang hanya diperoleh dari ‘tangan kedua’ seperti dari sahabat, kenalan dokter, penjual asuransi, tetangga. Namun info tangan kedua ini tergolong informasi sepotong-sepotong juga. Bahkan, jangan-jangan, mungkin saja, sesat. Misal begini.

“Jika sakit demam berdarah hanya ditanggung 4 hari, kalau masih belum sembuh, di hari selebihnya tidak ditanggung oleh BPJS” Ini kata seorang kenalan dokter, beberapa bulan lalu.

“BPJS itu menanggung semua biaya mulai dari periksa di dokter praktek hingga menginap di rumah sakit, bahkan cuci darah dan operasi apa saja” Ini yang bilang kawan sekolah saat reuni tahun lalu.

“Ada dokter spesialis yang tidak mau menerima pasien atas jaminan kesehatan BPJS Kesehatan” Ini kata penjual asuransi beberapa waktu lampau.

Dan masih banyak lagi informasi sepotong-sepotong yang patut dicurigai tidak benar betul. Apalagi ada informasi – yang entah benar entah rumor – bahwa, kelak jika membarui KTP wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Tentu akan lebih bijak jika peserta atau calon peserta memiliki informasi yang  jelas dan komprehensif, terutama hal-hal teknis, tentang program jaminan kesehatan dari BPJS Kesehatan. Tidak hanya informasi sepotong-sepotong. Kejelasan informasi yang utuh dan benar di awal itu perlu untuk tidak menjadi kekecewaan atau perselisihan di kemudian hari.

Lalu ketidakjelasan informasi ini menjadi tanggung jawab siapa agar menjadi jelas? Sudah barang tentu pembuat dan pemilik program jaminan kesehatan atau BPJS Kesehatan itu yang sudah sepatutnya menggencarkan penyebaran informasi yang jelas ke masyarakat, di berbagai kalangan, secara terus menerus. Misal dengan membuat program kontinu dalam bentuk presentasi atau dialog-dialog di televisi atau media cetak atau menuliskannya secara meyakinkan di situs resmi.

Setelah implementasi program jaminan kesehatan dari BPJS Kesehatan sekian waktu, setahunan ini, sudah tentu ada banyak kendala, pertanyaan, perselisihan di lapangan. Nah, sudah saatnya penyelenggara menyadari itu, ada begitu banyak kekurangan informasi bagi peserta dan calon peserta BPJS Kesehatan untuk segera dituntaskan.

BPJS Kesehatan dan peserta berduit

Hal menarik kedua menyimak perbincangan dua sahabat tersebut di atas –akibat pemahaman sepotong-sepotong juga – adalah ketika si penanya ditanya, “Apakah orang yang sedang sakit itu tergolong miskin atau ‘mampu’?” Ia tidak menjawabnya.

Apa ada ketentuan berbeda menjadi peserta BPJS Kesehatan antara orang yang miskin dan yang mampu secara finansial? Tidak ada. Menurut aturan, ini program diperuntukkan bagi siapa saja warga negara Indonesia. Bahkan termasuk pekerja warga negara asing. Siapapun bisa menjadi peserta. Muda, tua. Laki, perempuan. Pekerja biasa, direktur perusahaan. Miskin, kaya. Jadi cukup terdaftar sebagai peserta dan membayar iuran, siapa saja peserta itu berhak atas manfaat yang diberikan.

Beberapa bulan lalu seorang sahabat juga ngomel, “Untuk apa sih orang yang mampu secara finansial menjadi peserta jaminan kesehatan BPJS Kesehatan yang seperti sekarang ini? Bukankah mereka yang kaya itu sebaiknya menjadi peserta atau pemegang polis, tertanggung, penerima manfaat dari perusahaan asuransi komersial saja yang preminya cukup besar itu?” Jawabnya, sebab aturannya memang begitu.

Seolah mewakili sahabat yang ngomel itu, saat ada kesempatan jumpa, saya pun bincangkan soal ini dengan seorang kawan penjual asuransi dari satu perusahaan asuransi komersial besar. Begini kata kawan saya itu, “Lho itu kan demi keadilan, miskin atau kaya, orang Indonesia atau pekerja asing di Indonesia, boleh menjadi peserta BPJS Kesehatan dan menerima bantuan manfaatnya, bahkan kelak itu menjadi kewajiban bagi setiap warga negara, setiap orang di Indonesia. Kita tidak boleh anti orang kaya dong..” Saya pun mengangguk-angguk kepala soal ide keadilan itu. Juga soal tidak boleh anti orang tajir.

Tapi tentang kewajiban memiliki BPJS, saya penasaran. Saya bilang ke kawan saya itu, “Jika yang menjadi pertimbangan adalah kewajiban memiliki jaminan kesehatan bagi setiap warga negara, maka apa tidak lebih baik dapat diberlakukan ketentuan, jika seseorang dapat menunjukkan bahwa ia memiliki jaminan kesehatan lain, misal memiliki asuransi kesehatan dari perusahaan asuransi komersial, yang manfaatnya tidak kurang dari yang diselenggarakan oleh pemerintah atau BPJS Kesehatan, maka boleh toh ia tidak diwajibkan mengikuti program jaminan  kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan lagi”

“Atau alternatif lain” lanjut saya, “Barangkali bijaksana juga jika dipertimbangkan bahwa, jaminan kesehatan dari BPJS Kesehatan yang model sekarang ini, hanya diperuntukkan bagi warga negara yang miskin, kurang mampu atau agak mampu secara finansial saja. Sementara bagi mereka yang mampu secara finansial atau kaya, bahkan sangat kaya, ada baiknya diselenggarakan jaminan kesehatan yang berbeda sesuai kemampuan finansial mereka, sehingga ada keseimbangan, terjadi subsidi silang. Hal mana akan membantu penyelenggara agar tidak mengalami defisit, seperti beberapa waktu lalu diberitakan, besar pembayaran klaim atas risiko yang terjadi melampaui besar penerimaan iuran”

Ah sudahlah. Jangan perpanjang soal keadilan dan kewajiban. Namanya juga manusia. Apalagi itu menjadi hak bagi siapapun. Maka yang kaya pun ingin juga toh mendapat bantuan lima ratus ribu rupiah, 7 juta rupiah, dua puluh lima juta rupiah, bahkan 200 juta rupiah jika sakit, dari pemerintahnya, dengan model BPJS Kesehatan yang ada sekarang ini kan..”  Begitu kata sahabat saya yang penjual asuransi itu. Kuatir ada salah paham, saya pun mencoba paham. “Ooo.. begitu ya..” Nah lo, jadinya masih paham sepotong-sepotong...

Salam dukung BPJS Kesehatan, Freddy Gunawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun