Mohon tunggu...
Franz Emanuel
Franz Emanuel Mohon Tunggu... Mahasiswa - TanaAi Boy

baik menjadi penting, tetapi lebih penting menjadi orang baik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Konsep Allah Menurut Baruch Spinoza

26 Maret 2021   20:05 Diperbarui: 26 Maret 2021   20:07 1491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

  1. Pengantar

Ketika Spinoza mengonsepkan Allah, tentunya ia tidak terlepas dari dorongan ingin tahu  yang tidak terbatas dalam dirinya sebagai manusia yang berpikir. Mungkin juga hal ini diawali dengan pertanyaan mengenai siapakah Allah. Dalam filsafat Ketuhanan, diketahui bahwa pertanyaan tentang Allah adalah pertanyaan yang terus digeluti dalam dunia Filsafat. Memang agama telah memberi jawaban tentang siapakah Allah, tetapi jawaban itu kemudian masih dipertanyakan kembali oleh para filsuf. Salah satu filsuf adalah Spinoza sebagaimana pemikirannya tentang Allah akan dibahas dalam tugas ini.

  1. Riwayat Singkat Tokoh

Baruch de Spinoza lahir di kota Amsterdam pada tahun 1632. Ia berasal dari keluarga Yahudi yang melarikan diri dari Spanyol karena terjadinya konflik di sana. Pada masa kecilnya, Spinoza sudah menunjukkan kecerdasannya, sehingga keluarga dan para rabbinya mengharapkan agar kelak ia juga menjadi seorang rabbi. Namun, pada usianya yang ke-18 tahun, ia membuat marah komunitas Yahudi dan keluarganya karena ia meragukan Kitab Suci sebagai Wahyu Allah, selain itu ia juga mengecam posisi para imam Yahudi, dan mempertanyakan kedudukan bangsa Yahudi sebagai “bangsa pilihan Yahwe” serta keterlibatan Allah secara pribadi dalam sejarah manusia. Dia juga mendiskusikan masalah-masalah agama secara terbuka dan gagasannya mengejutkan teman-teman dan para tokoh agama saat itu. Misalnya saja ia berpendapat bahwa malaikat hanyalah fiksi atau imajinasi manusia dan bahwa Allah bersifat material. Dan banyak hal lainnya. Gagasan-gagasannya betul-betul menggoyakan kemapanan dogma agama, baik di kalangan Yahudi maupun Kristen.

Akibatnya pada tahun 1656, ia diusir oleh keluarganya dan dikucilkan dari komunitasnya dengan berbagai kutukan. Adapun bunyi kutukan adalah sebagai berikut:

“terkutuklah dia (Spinoza) pada siang dan malam hari, terkutuklah saat ia berbaring dan bangun, terkutuklah kedatangan dan kepergiannya; semoga Allah tidak akan pernah sudi mengampuninya dan semoga murkanya turun atas orang ini”

Dia bahkan dianggap mati oleh komunitasnya. Perubahan hidup ini dihadapinya dengan tenang, dan dia mengganti namanya dengan Benediktus de Spinoza, sebagai tanda kehidupan barunya. Dia meninggal pada 21 Februari 1677, pada Usia 44 tahun setelah lama menderita penyakit TBC paru-paru.

  1. Konsep Substansi

    1. Substansi menurut Spinoza

Spinoza dalam pemikirannya tentang Allah benyak dipengaruhi oleh rasionalisme Descartes. Spinoza dalam pencariannya ingin menemukan jaminan atau pegangan yang pasti dalam segala bentuk pengetahuan. Kalau Descartes menemukan dasar akhir pada cogito, Spinoza menemukannya pada konsep Substansi. Menurut Spinoza, pikiran itu mustahil tanpa ada konsep substansi. Lalu apa itu substansi? Substansi menurut Spinoza adalah sesuatu yang ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri. Dalam rumusan lain, Simon L. Tjahjadi menulis bahwa Spinoza mendefinisikan substansi dengan sesuatu yang ada pada dirinya dan dipahami melalui dirinya sendiri. Konsep substansi itu sudah terbentuk pada dirinya sendiri.

Dengan definisi di atas, Spinoza mengerti bahwa substansi itu sebagai suatu kenyataan yang berdiri sendiri tetapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain. Substansi tidak berelasi dengan sesuatu yang lain. Dengan kata lain bahwa substansi itu adalah causa sui artinya penyebab dirinya. Substansi itu ada satu dan hanya ada satu, dan substansi itu adalah Allah. Walaupun terpengaruh oleh Descartes yang berpendapat bahwa ada tiga substansi yang saling berkaitan, yakni jiwa, materi dan Allah. Tentu pandangan Descartes tentang substansi ini tidak sesuai dengan pemahaman Spinoza tentang substansi. Bagi Spinoza, materi dan jiwa hanyalah cara berada Allah sebagai substansi tunggal. Substansi dalam Spinoza adalah Allah dan substansi itu hanya satu. Substansi itu bersifat individual sekaligus menjadi hakikat segala sesuatu yang tampaknya individual.Simon Tjahjadi menambahkan sifat lain dari substansi adalah abadi, tidak terbatas, tidak bergantung pada yang lain (mutlak) dan tunggal. Menurut Spinoza yang memenuhi semua sifat definisi itu adalah Allah. Jadi Allah mempunyai sifat abadi, tidak terbatas, mutlak, tunggal dan utuh.

Allah adalah substansi hanya dapat dipahami melalui dirinya sendiri. Allah tidak membutuhkan konsep-konsep lain untuk membentuk-Nya. Allah tidak dihasilkan oleh sesuatu yang lain. Artinya bahwa Ia membentuk dirinya sendiri, tanpa bergantung dengan sesuatu yang lain yang berada di luar diri-Nya. Lalu mengapa akal budi manusia dapat sampai pada Allah atau dapat mengenal Allah? Menurut Spinoza akal budi manusia dapat mengenal dan menjelaskan seluruh realitas berdasarkan asas atau prinsip pertama yang adalah substansi itu sendiri. Akal budi itu pula yang memampukan Spinoza untuk menjelaskan Allah. Lalu mengapa rasio atau akal budi manusia itu mampu menjelaskan Allah? Budi Hardiman menulis bahwa sebetulnya pikiran manusia adalah bagian dari pikiran tak terbatas dari Allah. Bila kita berkata, pikiran manusia menangkap ini dan itu, kita mengatakan tak lain daripada bahwa Allah memiliki ide ini dan itu.

Spinoza mengakui bahwa pikiran manusia dapat menjelaskan sesuatu yang tak terbatas yang melampaui daya tangkapnya karena masih merupakan bagian dari yang tak terbatas. Karena pikiran manusia merupakan bagian dari yang tak terbatas itu, yakni Allah.

  1. Attribute dan Modus

Dalam hubungan dengan konsep substansi, Spinoza juga merumuskan konsep attribute dan modus. Attribute yang dimaksud merujuk pada segala sesuatu yang ditangkap intelek sebagai hakikat substansi. Menurut Spinoza, Allah sebenarnya mempunyai banyak sekali attribute (Jumlahnya tak terhingga). Namun, manusia hanya mampu memahami dua saja daripadanya, yakni pemikiran dan keluasan. Maka dari itu, Spinoza berkata “Allah adalah pemikiran” (Deus est res Cogitans) dan “Allah adalah keluasan” (Deus est resextensa).Pemikiran dan keluasan identik dengan substansinya. Keduanya merupakan pengejawantahan dari Allah yang satu dan sama. Sedangkan modus adalah hal-hal yang berubah-ubah pada substansi. 

Keluasan (extensa) menurut Spinoza adalah attribute sebab ditangkap sebagai hakikat benda-benda jasmani. Sedangkan warna, ukuran dan lain-lain adalah modus. Tentang modus, semua yang ada yakni realitas dan gejala yang dapat ditemukan di alam hanyalah modus dari Allah. Dengan kata lain ialah bahwa secara prinsip alam dan segala isinya identik dengan Allah. 

Keluasan adalah attribute Allah yang adalah substansi tak terhingga. Kalau Allah adalah satu-satunya substansi, maka segala yang ada harus dikatakan berasal dari Allah. Ini berarti bahwa semua bentuk pluralitas alam baik itu yang bersifat jasmaniah seperti manusia, flora, fauna, bintang dan sebagainya ataupun yang bersifat rohaniah seperti pemikiran perasaan atau bahkan kehendak bukanlah hal yang berdiri sendiri melainkan keberadaannya tergantung kepada Allah. Pikiran manusia juga adalah attribute dari Allah. Pikiran seperti keluasan juga memiliki modus misalnya aliran tertentu, imajinasi tertentu dan lain-lain.Hakikat dari Allah adalah pikiran dan syarat dari Allah sendiri adalah berpikir.Modus dapat dipahami hanya sejauh berada dalam kesatuan dengan substansi dan atributnya, sehingga secara eksistensial, modus merupakan determinasi atribut substansi.

  1. Deus Sive Natura(Allah atau Alam)

Spinoza mengatakan bahwa dunia hanyalah satu substansi dengan kedua attribute yakni keluasan dan pikiran. Kita dapat melihat dunia dengan attribute pikiran, dan kita menyebutnya “Allah” tetapi juga dapat dilihat dari attribute keluasan dan kita menyebutnya “alam” dengan kata lain, dunia juga  mempunyai dua hakikat atau ciri khas yang melekat yakni keluasan dan pikiran. Di sini Spinoza mengidentikan substansi dengan Allah atau alam. Spinoza menyebutnya dengan Deus sive Natura(Allah atau alam). Sebagai Allah, alam adalah natura naturans (alam yang melahirkan) dan sebagai dirinya sendiri, alam adalah natura naturata (alam yang dilahirkan). Namun substansinya adalah satu dan sama yakni Allah atau (juga) alam. Romo Magnis menambahkan bahwa dari sini Spinoza menyimpulkan bahwa Allah atau alam adalah kenyataan tunggal. Kenyataan tunggal di sini merujuk pada arti satu kesatuan. Maka pandangan Spinoza ini disebut dengan monisme, yakni keyakinan bahwa segala yang ada merupakan satu kesatuan yang pada akhirnya segala-galanya adalah satu.

Tentu saja pandangan Spinoza ini bertolak belakang dengan ajaran agama-agama monotheis yang mengimani Allah sebagai pencipta alam semesta. Umat beragama melihat Allah itu sebagai personal. Allah yang bersifat personal  dan yang memisahkan diri dari ciptaan ini tidak dikenal oleh Spinoza dalam kerangka pemikirannya tentang Allah atau substansi tak terbatas.Sebab personal adalah ciri khas manusia dan manusia pada dirinya sendiri bersifat terbatas dan fana, sementara Allah tidak terbatas dan tidak fana, sehingga Spinoza mengatakan bahwa kata “personal” tidak dapat disematkan pada Allah. Baginya batu atau pohon yang tampak di hadapan kita itu tak lain daripada Allah yang menampakkan diri. Jadi alam semesta ini sakral dan religius. Segalanya ada dalam Allah. Tidak ada yang berada di luar Allah.

  1. Allah sebagai Substansi tak terhingga

Setelah mengetahui konsep Allah muncul pertanyaan di sini yakni mengapa Allah oleh Spinoza disebut sebagai substansi tak terhingga? Spinoza menjelaskan bahwa  tak terhingga berarti tak dapat dihitung atau tidak ada ujungnya. Ia mengatakan bahwa Allah juga memiliki sifat-sifat lainnya yang tidak terbatas jumlahnya, karena Dia tidak terbatas pada setiap aspeknya; tetapi sifat-sifat lain tersebut tidak dapat diketahui. Di sinilah letak ketakberhinggaan dari Allah. Allah merupakan sebuah substansi yang bukan person atau personal. Ketakberhinggaan Allah juga tampak di mana akal budi manusia tidak mampu menjelaskan secara pasti seperti apa substansi atau Allah itu. 

  1. Refleksi Kritis tentang Allah Spinoza versus Allah Kristiani

Spinoza dan ajaran Krisitiani sama-sama mengakui bahwa Allah itu satu, tunggal, esa. Namun perbedaannya adalah Allah orang Kristiani dan agama-agama monotheis lainnya adalah Allah personal. Allah dalam pandangan Spinoza adalah Allah yang tidak personal sebab personal itu adalah ciri khas manusia. Dalam ajaran Kristiani adalah Allah yang menciptakan alam semesta dan segala isinya. Pandangan Spinoza juga selaras dengan keyakinan Kristiani tentang Allah yang menciptakan segala sesuatu yang ada.

Menurut filsafat Kristiani, setiap orang secara Individual bersifat mutlak artinya Allah mencintai individu secara pribadi dan menghendaki mereka tanpa kenal batas waktu.dan keyakinan Kristen dengan salah satu contohnya misalnya mengenai kehidupan setelah kematian oleh Spinoza tidak mempunyai pendasaran. Spinoza menolak adanya kehidupan setelah kematian. Mengapa? Karena kehidupan setelah kematian mengandaikan bahwa jiwa manusia bersifat kekal. Hal ini ditolak Spinoza karena manusia itu hanyalah modus Allah dan oleh karena itu ia (manusia) tidak abadi dan tidak mutlak pada dirinya sendiri. Manusia bergantung sepenuhnya pada Allah. Dengan pendasaran itu pula, Spinoza tidak mengakui adanya surga dan neraka, sebagaimana diyakini dalam ajaran Kristiani dan agama-agama monotheis lainnya.

  1. Penutup

Tentang Allah atau substansi yang tak terbatas, Spinoza telah menyatakan bahwa hanya ada satu substansi. Substansi itu adalah sesuatu yang berdiri sendiri, yang tidak juga bergantung pada sesuatu yang lain. Substansi itu adalah Allah, Dia yang esa, dan yang tak memiliki batas atau mutlak. Dunia dan segala sisinya tidak dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada substansi. Artinya bahwa substansi yang satu itu berada di dalam segala sesuatu yang beranekaragam itu.

Daftar Pustaka

Hardiman,Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia, 2004.

Rahman, Masykur Arif. Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat. Yogyakrta: IRCiSoD, 2013.

Russel, Betrand Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Suseno,Franz-Magnis. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual: Konfrontasi Dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern. Yogyakatra: Kanisius, 2004.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun