Mohon tunggu...
Ancis Mura
Ancis Mura Mohon Tunggu... Guru - Pendidik_Santa Laurensia School

Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero-Maumere, Flores- NTT. Saat ini menjadi Pendidik di Sekolah Santa Laurensia Suvarna Suterang-Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perihal Pengampunan yang Muskil

12 April 2019   10:13 Diperbarui: 14 April 2019   17:44 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

/Bapak masih sibuk dengan tujuh puluh kali tujuh kali. Mama sedang menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya pada meja perjamuan. Sepotong roti dipecah-pecah. Sebagian anggur tumpah di luar Gereja. Berlepotan di atas tubuh anak-anaknya yang lapar dosa/.

Sekali lagi, Mikhel menulis puisi ini tepat ketika terjadi pemboman tiga Gereja di Surabaya oleh para teroris. Penyair sangat cerdas menyandingkan yang sakral dan profan, di mana ia berusaha keluar dari teks kitab suci yang adalah sakral lalu meletakan teks itu pada peristiwa yang profan (aksi buta terorisme). Lantas perihal pengampunan yang tertera dalam Kitab Suci pada umumnya merupakan sebuah persitiwa yang sungguh sakral. 

Pengampunan memang datang dari Allah yang bernisiatif mencari domba yang sesat. Tetapi jika tidak ada respon dari manusia, maka pengampunan tidak akan terjadi. Singkatnya tidak ada pengampunan tanpa ada penyesalan dan pembaharuan hidup. 

Pertanyaanya, apakah para teroris (yang belum tertangkap) menyesali perbuatan mereka? Kita tidak tau. Lalu apakah kita masih sibuk dengan tujuh puluh kali tujuh kali seperti yang penyair sentil dalam puisinya?

/Mama sedang menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya pada meja perjamuan. Sepotong rotih pecah-pecah. Sebagian anggur tumpah di luar Gereja. Berlepotan  di atas tubuh anak-anak yang lapar dosa/.

Pada bagian akhir puisinya, Mikhel menganalogikan tubuh para korban pemboman dengan roti-roti yang pecah. Lalu anggur yang tumpah di Gereja adalah darah parah korban. Penyair mendasari puisinya pada dogma serta teks kitab Suci. Dari teks penyair melihat konteks.

Puisi "Anggur Tumpah di Luar Gereja" tidak sekedar mengugat Tuhan (perihal pengampunan yang muskil) tetapi juga mengugah iman akan Tuhan yang hanya tentu bisa dimengerti oleh iman. Selamat merenung bersama puisi penyair...

*Anciss Mura merupakan nama pena dari Fransiskus Mura. Pria kelahiran Diawatu-Flores 13 April ini merupakan peminat sastra khususnya puisi. Beberapa puisinya pernah diterbitkan di beberapa buku antologi bersama  dan beberapa media cetak dan online.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun