Mohon tunggu...
Ancis Mura
Ancis Mura Mohon Tunggu... Guru - Pendidik_Santa Laurensia School

Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero-Maumere, Flores- NTT. Saat ini menjadi Pendidik di Sekolah Santa Laurensia Suvarna Suterang-Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perihal Pengampunan yang Muskil

12 April 2019   10:13 Diperbarui: 14 April 2019   17:44 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menggugat Tuhan dan Dogma dalam puisi "Anggur  Tumpah di Luar Gereja" Karya Mikhael Wora

Sastra "menyajikan kehidupan" dan "kehidupan" sebagaian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra juga  meniru alam dan dunia subjektif manusia (Rene Wellek dan Austin Waren, 1977:40).  

Kenyataan sosial inilah yang mendorong penyair mengoreskan isi hati juga isi kepalanya yang terbentur dengan dinding realitas yang sedang ia hadapi. Dalam puisi "Anggur Tumpah di luar Gereja" terlihat cukup jelas kalau puisi ini lahir dari terbenturan keras antara batin penyair dengan realitas sosial yang tengah ia hadapi. 

"Anggur Tumpah di Luar Gereja" adalah sebuah auman hening yang hemat saya cukup melengking tajam. Mengugah iman bahkan mungkin mengugat Allah. Mungkin.

Penyair dalam puisinya menyuguhkan diksi-diksi yang biasa tapi padat dengan makna. Mikhel membuka puisinya dengan larik yang sederhana

/"mentari masih ngantuk. Aku sudah bangun"/.

 Bagian ini terlihat seperti sebuah prolog dalam puisinya. Prolog yang hanya terdiri dari dua larik saja. Yah,,puisi itu sungguh unik memang. Ia bahkan merangkum semesta beserta seluk beluknya hanya dengan beberapa larik saja.

 "Mentari masih ngantuk. Aku sudah bangun. Bagian ini melambangkan rutinitas penyair yang biasa ia lakukan setiap hari. Namun jika ditelisik lebih dalam ada sesuatu yang hendak penyair sampaikan. Sesuatu itulah yang hendak gali dalam dalam larik-larik berikutnya.

Pada larik berikutnya penyair menulis:

/"Katanya ada yang matanya tidak tutup setiap hari. Yah, dia bangun lebih awal sebelum lonceng Gereja ada"/.

Setelah membaca bagian ini terbesit pertanyaan, siapakah (Ia) yang Mikhel maksudkan? Saya melihat bagian ini sebagai pengelaman spritual penyair bersama yang transenden. 

Penyair menyadari bahwa ada sesuatu kekuatan dahsyat  di luar dirinya. Sesuatu itu adalah wujud Ilahi. Wujud Ilahi yang transenden serentak imanen. Penyair menyadari dan mengakui itu. Saya kira kita semua pun demikian. Tetapi dalam puisi ini, sesungguhnya Mikhel sedang dan hendak bertanya lagi tentang yang transenden itu.

Pertanyaan Mikhel dalam puisinya bertolak dari realitas yang tengah ia hadapi belakangan ini. Realitas itu ia jumpai ketika ia bangun pagi dan sesuatu terjadi. Mikhel menulisnya demikian:

 /Di pagi ini ada bunyi yang lebih besar dari bunyi lonceng. Mentari kaget. Aku juga. Tuhan mungkin tidak/.

 Mikhel menulis puisi ini tepat ketika terjadi pemboman tiga Gereja di Surabaya oleh para teroris. Tragedi pemboman yang terjadi kemarin memang cukup mengemparkan dunia. Ia bahkan mengguncang rahim pertiwi,mengguncang nurani kita semua. Tak terkecuali juga sang panyair. 

Tragedi itu seperti menumbuhkan benih refletif kritis dalam diri penyair akan yang transenden. Kita tentu masih mengingat tentang tragedi tiang gantungan di kamp konsentrasi milik Nazi. Di mana dalam satu pernyataan terkenal.

Gambar ini merupakan sebuah puisi Karya Mikhael Wora. Sumber diambil dari akun Facebook Mikhael W
Gambar ini merupakan sebuah puisi Karya Mikhael Wora. Sumber diambil dari akun Facebook Mikhael W

"Di Auschwitz, mereka hidup untuk mati".

Jutaan etnis Yahudi dibantai. Konon ketika melihat seorang bocah mati di tiang gantungan, seorang bapak berteriak "Tuhan di manakah Engkau"? lalu yang lain menyahut, "Tuhan sudah mati. Tuhan telah digantungkan di Auscheitz". Dengan yang nada sedikit mirip, penyair menyentil hal yang sama. "Di pagi ini ada bunyi yang lebih besar dari bunyi lonceng. Mentari kaget. Aku juga. Tuhan mungkin tidak".

Puisi Mikhel tentu saja bertolak dari refleksi yang mendalam. Bertolak dari bentuk kepedulian terhadap sesama. Kepedulian yang tidak hanya menimbulkan simpati melainkan empati. Rasa empati membuat penyair seolah memposisikan diri sebagai korban yang mengalami tragedi. Rasa empati membuat penyair bertanya pada dogma agama yang mengajarkan perihal pengampunan. 

Apakah kita bisa mengampuni di saat rasa sakit sedang menggerogoti hati? Apakah kita bisa tertawa ketika sedang menangis? Bukankah pengampunan lahir dari lubuk hati yang damai? Ini semua menjadi pertanyaan refletif kritis yang penyair suguhkan kepada pembaca.

/Bapak masih sibuk dengan tujuh puluh kali tujuh kali. Mama sedang menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya pada meja perjamuan. Sepotong roti dipecah-pecah. Sebagian anggur tumpah di luar Gereja. Berlepotan di atas tubuh anak-anaknya yang lapar dosa/.

Sekali lagi, Mikhel menulis puisi ini tepat ketika terjadi pemboman tiga Gereja di Surabaya oleh para teroris. Penyair sangat cerdas menyandingkan yang sakral dan profan, di mana ia berusaha keluar dari teks kitab suci yang adalah sakral lalu meletakan teks itu pada peristiwa yang profan (aksi buta terorisme). Lantas perihal pengampunan yang tertera dalam Kitab Suci pada umumnya merupakan sebuah persitiwa yang sungguh sakral. 

Pengampunan memang datang dari Allah yang bernisiatif mencari domba yang sesat. Tetapi jika tidak ada respon dari manusia, maka pengampunan tidak akan terjadi. Singkatnya tidak ada pengampunan tanpa ada penyesalan dan pembaharuan hidup. 

Pertanyaanya, apakah para teroris (yang belum tertangkap) menyesali perbuatan mereka? Kita tidak tau. Lalu apakah kita masih sibuk dengan tujuh puluh kali tujuh kali seperti yang penyair sentil dalam puisinya?

/Mama sedang menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya pada meja perjamuan. Sepotong rotih pecah-pecah. Sebagian anggur tumpah di luar Gereja. Berlepotan  di atas tubuh anak-anak yang lapar dosa/.

Pada bagian akhir puisinya, Mikhel menganalogikan tubuh para korban pemboman dengan roti-roti yang pecah. Lalu anggur yang tumpah di Gereja adalah darah parah korban. Penyair mendasari puisinya pada dogma serta teks kitab Suci. Dari teks penyair melihat konteks.

Puisi "Anggur Tumpah di Luar Gereja" tidak sekedar mengugat Tuhan (perihal pengampunan yang muskil) tetapi juga mengugah iman akan Tuhan yang hanya tentu bisa dimengerti oleh iman. Selamat merenung bersama puisi penyair...

*Anciss Mura merupakan nama pena dari Fransiskus Mura. Pria kelahiran Diawatu-Flores 13 April ini merupakan peminat sastra khususnya puisi. Beberapa puisinya pernah diterbitkan di beberapa buku antologi bersama  dan beberapa media cetak dan online.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun