“Tapi Tuhan kenapa berat nian beban hidup ini? Kata-Mu selalu mendampingiku. Mana buktinya?!”
“Coba lihat hanya ada sepasang bekas telapak kaki di ubin rumahku dan aku tahu itu aku yang berjalan sendiri!” aku makin berani mengungkapkan semua ini. Ada nada amarah dalam doaku ini.
“Coba perhatikan baik-baik telapak kaki siapa itu?” tanya Tuhan kepadaku. Lalu kuperhatikan baik-baik, sepertinya bukan telapak kakiku. Karena komposisi telapak kaki itu benar-benar sempurna. Sungguh telapak kaki yang agung!
“Eh, bukan Tuhan.” Aku tersipu malu. “Kalau kakiku besar tapi tidak enak dilihat!”
“Benar anak-Ku. Ketika kamu sedang gembira , kamu melihat dua pasang kaki di sana bermain dengan gembira. Namun di saat kamu mulai goyah karena sedih dan banyak masalahmu, hanya ada sepasang kaki di sana karena Aku menopang dan seringkali menggendongmu di bahu-Ku!” Tegas Tuhan kepadaku.
“Ih Tuhan akukan sudah tua, masakan Engkau menggendongku?”
“Nah, inilah penyakit orang tua. Gengsi mencurahkan perasaannya pada-Ku!”
“Apalagi kamu Bapak-bapak, eh gengsinya makin tinggi. Takut dibilang lemah!”
“Menangislah saat kamu menghadap-Ku dalam doa-doamu. Ungkapkan semuanya tidak perlu ditutup-tutupi. Karena jumlah rambutmupun Aku tahu!” kata Tuhan menguatkanku secara beruntun. Mungkin Ia mau mengingatkanku karena ke-ngeyelan-ku.
“Aku ini lemah-lembut. Pikullah kuk yang Kupasang di bahumu. Bebanmu ringan karena Aku tahu bagaimana kemampuanmu! Percayalah Aku akan mengantarmu ke jalan yang benar. Dan kamu pasti akan bahagia!”
“Terimakasih Tuhan. Tapi Tuhan aku masih takut keluar rumah karena mereka yang menagihku masih menunggu jawabku.” Kataku masih lirih..