Mohon tunggu...
Fransisco Xaverius Fernandez
Fransisco Xaverius Fernandez Mohon Tunggu... Guru - Guru SMPN 1 Praya Lombok Tengah NTB

cita-cita menjadi blogger Kompasiana dengan jutaan pembaca, penulis motivator kerukunan dan damai sejahtera. selain penulis juga pengurus FKUB Kabupaten, Pengurus Dewan Pastoral Paroki Gereja Katolik Lombok Tengah NTB.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Dari Ayahku Kutahu Kapan Diam

12 November 2022   17:17 Diperbarui: 12 November 2022   17:43 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam diam ayahku tersimpan beribu kata bagiku. Kebengalan seorang bocah kecil yang lupa pulang saat bermain, kulihat rotan di tangan menjemputku. Aku hanya berlari dalam teriak tangis penuh ketakutan. Padahal ayahku hanya diam ke arahku.

Di saat aku berkata kasar penuh makian, kulihat amarah di wajah diam ayahku. Ia memegang tanganku, bersama ibu tercinta mengusapkan pembelajaran pada mulut kotorku. Yah, aku menangis memohon ampun tidak akan berkata kotor dan penuh makian. Ayahku hanya berkata : Mulutmu adalah tempat memuji Tuhan bukan tempat mengumpat!

HANYA INI YANG MAMPU KU PERSEMBAHKAN PADAMU, AYAH

 

Sejak saat itulah ku mulai menata kata di mulut mungilku. Walaupun sulit karena di sekelilingku kata-kata itu berseliweran terus menggoda. Namun Aku harus bisa!

Aku teringat kala aku dewasa, ayahku tanpa banyak kata bangga bahwa aku menjadi mandiri. Ia bangga bahwa aku bisa memulai langkah pasti. Bangga walau ia tak mampu bantuku banyak. Walaupun kutahu hatinya ingin membuatku lebih tenang.

Aku teringat ketika aku mulai memilih pasangan hidup, senyumnya buatku semangat. Kutahu ia akan berkata , selama ini kami selalu menjadi Bapa dan Mama Saksi Nikah di Gereja, kini kami bahagia menjadi Bapa Mama Calon Pengantin.

Senyumnya makin ceria di wajah pendiam ayahku, ketika tahu cucu pertamanya adalah laki-laki, dan ia seolah berkata, inilah penerus namaku! Kuingat ia bangga dan titik-titik air menetes di sudut-sudut mata tuanya.

Ku lihat kebanggaannya makin sempurna ketika ia mendapatkan cucu keduanya dari kami. Penerus namanya makin lengkap.

Saat keluarga kecilku menengok saat sakitnya, ia begitu bahagia. Ia langsung bangun dengan penuh semangat memasakkan semua kesukaan cucunya. Dan melihat para cucu lahap menyantap hidangannya, sampai habis.

Namun ia terus menahan rindunya pada cucu-cucunya di kala adik perempuanku menatap cemburu. Padahal kutahu ia begitu rindu ingin mengajak mereka jalan-jalan seperti mengajak cucu-cucunya dari adikku. Dan kini mereka menjadi besar walaupun tak pernah diajak jalan-jalan opanya dalam waktu yang banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun