Mohon tunggu...
Fransisca Mira
Fransisca Mira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Student of Cognitive Science & Psychology

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mengikis Stigma Gangguan Mental dari Stasiun Frankfurt

16 Oktober 2022   22:42 Diperbarui: 17 Oktober 2022   09:42 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pameran foto memperingati hari kesehatan mental di Stasiun Frankfurt. SUmber: Dokpri

Ketika transit di stasiun utama kota Frankfurt (Frankfurt Hauptbahnhof) pekan lalu, mata saya tertuju pada beberapa layar besar penuh cahaya di depan pintu masuk. 

Biasanya di area ini terdapat infografik, informasi tokoh penting yang (kadang sayangnya tidak terlalu) terkenal, atau bahkan orang biasa dengan cerita luar biasa. Ketika menunggu kereta beberapa menit, selalu menarik untuk membaca cerita disini.

Berawal dari Pandangan Pertama

Kali ini, seperti Kompasiana, topiknya tentang kesehatan mental. Pameran foto dan sepotong cerita dari masing-masing tokoh di foto dikerjakan oleh fotografer kenamaan Jerman Herlinde Koelbl dan psikiater Prof. Leonhard Schilbach, dan merupakan projek kerjasama dengan Deutsche Gesellschaft fr Psychiatrie und Psychotherapie, Psychosomatik und Nervenheilkunde e. V. (DGPPN), atau Perhimpunan Jerman untuk Psikiatri dan Psikoterapi, Psikosomatik dan Neurologi (DGPPN).

Tidak hanya di Frankfurt, pameran ini juga ditampilkan di kota-kota besar Jerman seperti Berlin, Cologne, atau Hamburg.

Foto portrait setengah badan yang terpampang merupakan sekitar sepuluh orang terkait gangguan jiwa. Baik penyandang sendiri, maupun tenaga kesahatan di klinik. Seluruh foto menampilkan tokoh menatap lurus ke kamera, ke penonton pameran.

Idenya cerdas: Menurut Prof. Schilbah, hal ini adalah sebuah kontradiksi dari keadaan ganggungan kesehatan mental (kesmen) sebenarnya, dimana seseorang justru menghindari tatapan mata dan interaksi dengan orang lain. Sesuatu yang sering disalahartikan orang lain sebagai sikap arogan, asosial, tertutup, dan berbagai stigma lain.

Diharapkan, dengan adanya tatapan mata pertama ini, kita bersedia membuka tatapan kedua, ketiga, dan seterunya, untuk mau berinteraksi dan berbicara dengan pasien.

Koelbl pun dengan apik menangkap gestur tubuh tokoh dengan jelas lewat foto setengah badan yang ia ambil. Ia sengaja mengambil foto di klinik agar tokoh merasa senyaman mungkin dan seterbuka mungkin menceritakan kisahnya.

Iklan pameran
Iklan pameran "Penyakit Jiwa dalam Tatapan". Sumber: www.deutschebahnstiftung.de

Menariknya, cerita ditulis di samping foto tanpa keterangan tokoh mana yang adalah penyandang, atau tenaga kesehatan. Cerita menggambarkan kehidupan tokoh, kebanyakan tentang keseharian, keluarga, pekerjaan, hobi, hal-hal yang sangat normal bagi kita. Hampir semua menceritakan masalah psikologis sehari-hari yang mereka alami, namun belum tentu hal itu berati gangguan mental.

Sedikit yang bercerita tentang gangguan jiwa seperti masalah kecanduan, depresi atau percobaan bunuh diri, itupun hanya satu dua kalimat. Pesan yang amat penting: hendaknya kita jangan membeda-bedakan orang, masalah Kesehatan mental bisa menimpa siapa saja. 

Saya masih ingat, ketika belajar psikologi dulu, kalau kesehatan mental adalah sebuah kontinuum, bukan dikotomi antara sehat dan sakit. Artinya, semua dari kita pasti pernah mengalami gangguan, jika beruntung mungkin hanya pada suatu fase hidup kita yang berat.

Jika tidak beruntung, mungkin kita mendapat faktor-faktor risiko untuk memiliki sebuah gangguan yang tidak bisa hilang seumur hidup kita, misalnya faktor genetik, sosial seperti kemiskinan, atau pengalaman peristiwa traumatis seperti perang atau bencana.

Sumber: Sarafino, 2011
Sumber: Sarafino, 2011

Dalam lain kesempatan, saya ingat pameran di sini pernah menyorot tentang tunawisma di Jerman. Tema tunawisma juga terkait kesehatan mental.

Orang Jerman sudah paham betul kalau tunawisma bukan hanya seseorang miskin atau malas, tetapi lebih sering karena mereka punya masalah gangguan mental yang sulit teratasi, seperti kecanduan, stress, depressi.

Pameran tersebut sangat penting untuk mengubah stigma dan stereotip negative yang kita miliki pada tunawisma dan orang dengan masalah kesehatan mental.

Apalagi, stasiun Frankfurt terkenal dengan banyaknya tunawisma dan junkies (orang dengan masalah adiksi dan penyalahgunaan obat) yang berkeliling atau bahkan tinggal di dalamnya.

Stigma di Jerman dan di Indonesia

Saya pernah membaca di suatu tempat yang saya lupa: orang yang "committed suicide" atau bunuh diri akan ditangisi, namun orang yang "attempted suicide" akan dihindari.

Orang-orang tersebut masih mengalami banyak stigma, sama seperti gangguan kesmen lain seperti depresi, gangguan kecemasan, apalagi schizophrenia.

Orang dengan gangguan kesmen sering dianggap pengaruh buruk, aneh, cari perhatian dsb. Hal ini menghalangi sesorang untuk terbuka mengenai gangguannya dan mecari bantuan profesional seperti konselor, psikolog, atau psikiater.

Lebih parah, orang dengan schizophrenia parah yang tidak tertangani dapat mengalami kekerasan seperti dipasung, pelecehan, stigma orang gila", dan berbagai pelanggaran HAM lain.

Gangguan mental masih sering disepelekan. Oleh generasi baby boomers dan di atasnya, terutama gangguan ini masih sering dianggap sebelah mata.

Depresi dianggap penyakit yang dibuat-buat, disebabkan kurang ibadah, dan berbagai miskonsepsi lain. Untungnya, dengan kemajuan dunia pendidikan dan telekomunikasi, generasi mileinial kini sudah lebih terpapar mengenai pentingnya masalah kesmen.

Bukannya saya mendiskirminasikan suatu generasi, hal ini wajar karena generasi post-war atau pasca perang dunia tentunya memiliki prioritas lain seperti pemulihan ekonomi, industrialisasi dsb.

Namun, terus mendidik diri tentang perkembangan sains di bidang kesehatan mental tetap harus kita lakukan, terlepas generasi mana kita termasuk.

Stigma di Jerman jauh lebih sedikit daripada di Indonesia. Tidak pernah saya melihat orang dengan schizophrenia di jalanan.

Saya yakin para pasien seperti itu akan segera diamankan ke fasilitas kesehatan terdekat, wong, kucing jalanan saja tidak pernah terlihat karena petugas dinas secara tertib mengangkutnya ke penampungan, apalagi manusia.

Di kalangan mahasiswa, beberapa teman saya terbuka mengaku mereka mengalami depresi atau gangguan kecemasan, walaupun saya bukan teman dekatnya.

Bulan lalu, Ketika bertemu seorang kolega baru untuk pertama kalinya, ia tidak segan-segan menceritakan kisahnya Ketika setahun lalu mengalami depresi. Ia tidak bisa bekerja setengah tahun karena hal itu, dan harus pergi ke psikolog.

Namun begitu, di kalangan anak muda juga terdapat istilah "Assi " atau asozialer, yang mendeskripsikan (sekaligus mendiskriminasikan) orang yang secara harafiah tidak dapat hidup di masyarakat. Pada praktiknya, sayangnya istilah ini digunakan pada orang-orang yang sedikit nyentrik, miskin atau tidak terdidik. 

Di Indonesia, rasanya tidak pernah mengenal langsung orang yang secara blak-blakan membicarakannya, walaupun saya kuliah psikologi.

Saya ingat, dosen saya pernah masuk dan bertanya: Pernahkah kalian berpikir untuk bunuh diri?

Dari kelas dengan 50 orang, hanya sepasang tangan yang mengangkat tangan. Masalah depresi dan bunuh diri memang termasuk tinggi prevalensinya di seluruh dunia.

Bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar keempat pada rentang usia 15-25 tahun. (WHO,2021). WHO juga memperkirakan tahun 2019 angka bunuh diri di Indonesia mencapai 2,4 persen dari 100.000 jiwa.

Artinya, satu dari 50 orang yang kita kenal mungkin melakukan aksi bunuh diri, belum termasuk orang-orang yang mencoba bunuh diri namun gagal, atau orang dengan depresi yang tidak suicidal atau tidak ingin bunuh diri.

Bidang psikologi sediri termasuk bergengsi dan ketat di Jerman. Untuk masuk psikologi, nilai seseorang harus bagus atau 1 saat Abitur (ujian kelulusan SMA).

Setelah kuliah S1, seseorang harus kuliah S2, dan menempuh pendidikan lanjutan (Ausbildung) selama 5 tahun, dengan biaya yang cukup mahal.

Tidak heran, dengan pendidikan lama dan mahal, tarif konsultasi dengan psikolog juga mahal, bisa mencapai 150 euro (lebih dari dua juta rupiah) per jam. 

Namun, kadang terdapat subsidi dari pemerintah, misalnya untuk mahasiswa dapat menghubungi psikolog univesitas gratis atau dengan biaya lebih murah.

Ingat juga bahwa di Jerman pajak penghasilan progresif di Jerman bisa mencapai 50% untuk orang berpenghasilan tinggi, jadi tarif psikolog itu tidak hanya dinikmati sang psikolog, tapi juga untuk fasilitas RS Jiwa di Jerman, misalnya. 

Sedangkan di Indonesia, setelah lulus kuliah S2 psikologi profesi , seseorang langsung bisa menjadi psikolog dan menangani kasus klien".

Selain itu, stereotip tentang kuliah psikologi juga masih tersebar di masyarakat. Misalnya, yang hampir semua anak psikologi rasakan Nanti kerjaannya ngurusin orang gila dong,". Padahal, mayoritas lulusan psikologi justru bekerja dengan orang normal, seperti di bagian HRD perusahaan, di sekolah, dsb.

Sebagai catatan akhir, saya mengambil pepatah yang terkenal "Be kind, for everyone you meet is fighting a hard battle you know nothing about." -- Berbaik hatilah, karena setiap orang yang kita temui sedang berjuang dalam pertempuran yang sama sekali tidak ketahui. Dimulai dari kita sendiri, semoga suatu saat komunitas dan negara tempat kita tinggal dapat memperlakukan orang dengan masalah Kesehatan mental dengan bermartabat pula.

***

Frankfurt, 16.10.2022 

Sumber data dan gambar:

https://data.worldbank.org/indicator/SH.STA.SUIC.P5?locations=ID

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/suicide

https://www.deutschebahnstiftung.de/details/ausstellung-mit-fotografin-von-herlinde-koelbl-in-berliner-hauptbahnhof.html

Sarafino, E. P. 2011. Health Psychology. Biopsychosocial interactions (edisi 7). New Jersey: John Wiley & Sons. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun