Sedikit yang bercerita tentang gangguan jiwa seperti masalah kecanduan, depresi atau percobaan bunuh diri, itupun hanya satu dua kalimat. Pesan yang amat penting: hendaknya kita jangan membeda-bedakan orang, masalah Kesehatan mental bisa menimpa siapa saja.Â
Saya masih ingat, ketika belajar psikologi dulu, kalau kesehatan mental adalah sebuah kontinuum, bukan dikotomi antara sehat dan sakit. Artinya, semua dari kita pasti pernah mengalami gangguan, jika beruntung mungkin hanya pada suatu fase hidup kita yang berat.
Jika tidak beruntung, mungkin kita mendapat faktor-faktor risiko untuk memiliki sebuah gangguan yang tidak bisa hilang seumur hidup kita, misalnya faktor genetik, sosial seperti kemiskinan, atau pengalaman peristiwa traumatis seperti perang atau bencana.
Dalam lain kesempatan, saya ingat pameran di sini pernah menyorot tentang tunawisma di Jerman. Tema tunawisma juga terkait kesehatan mental.
Orang Jerman sudah paham betul kalau tunawisma bukan hanya seseorang miskin atau malas, tetapi lebih sering karena mereka punya masalah gangguan mental yang sulit teratasi, seperti kecanduan, stress, depressi.
Pameran tersebut sangat penting untuk mengubah stigma dan stereotip negative yang kita miliki pada tunawisma dan orang dengan masalah kesehatan mental.
Apalagi, stasiun Frankfurt terkenal dengan banyaknya tunawisma dan junkies (orang dengan masalah adiksi dan penyalahgunaan obat) yang berkeliling atau bahkan tinggal di dalamnya.
Stigma di Jerman dan di Indonesia
Saya pernah membaca di suatu tempat yang saya lupa: orang yang "committed suicide" atau bunuh diri akan ditangisi, namun orang yang "attempted suicide" akan dihindari.
Orang-orang tersebut masih mengalami banyak stigma, sama seperti gangguan kesmen lain seperti depresi, gangguan kecemasan, apalagi schizophrenia.
Orang dengan gangguan kesmen sering dianggap pengaruh buruk, aneh, cari perhatian dsb. Hal ini menghalangi sesorang untuk terbuka mengenai gangguannya dan mecari bantuan profesional seperti konselor, psikolog, atau psikiater.