Mohon tunggu...
Frans Balla
Frans Balla Mohon Tunggu... -

Lahir di Kupang, NTT, sekarang sebagai jurubahasa (interpreter)dan penerjemah (translator) Bahasa Inggris - Indonesia dan sebagai dosen paruh waktu. Kadang-kadang mengamen!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal, Memiliki Kesan Mendalam dan Mengamalkan Pancasila

11 Oktober 2015   14:19 Diperbarui: 11 Oktober 2015   15:03 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MENGENAL, MEMILIKI KESAN MENDALAM DAN MENJADIKAN PANCASILA BAGIAN DARI KEHIDUPAN SEHARI-HARI BANGSA INDONESIA

Oleh: Ba’i Frans

Pengantar

Kalimat berikut ini saya kutip dari panitia yang mempersiapkan acara dalam FGD yang diselenggarakan oleh Badan Pengkajian MPR : “Amnesia nasional terhadap Pancasila telah mengakibatkan kemerosotan kehidupan kebangsaan di segala bidang (politik,ekonomi, hukum, sosial, budaya).

Observasi yang obyektif di atas perlu dicatat dan diingat, dan langkah selanjutnya ialah bagaimana menghidupkan kembali kesadaran akan pentingnya Pancasila bagi kehidupan bernegara di NKRI yang kita cintai ini. Makalah singkat ini ditulis dengan asumsi bahwa Pancasila, sekalipun berakar dan digali dari Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, belum setiap orang memahaminya. Tahun 80-an pada saat penulis masih manjadi Penatar P-4 Tingkat Provinsi, terdengar berita bahwa PM Singapura tertarik dengan Pancasila dan ingin mempelajarinya. Ada juga posting seorang wartawan senior, Peter A. Rohi dalam Facebook 1 Oktober 2015 yang mengingatkan bahwa Presiden Uni Eropa Van Ekellen pernahh mengatakan bahwa Pancasila adalah ideologi yang cocok untuk menyelesaikan kerumitan duni sekarang ini, sementara di negerinya sendiri, Pancasila diabaikan. Salah satu contoh nyata ialah apa yang terjadi di Tugban baru-baru ini, yang dikutip dalam Berita Teratas.com Ada anggota DPRD dari Tuban yang mengucapkan sila ke-4 sebagai berikut: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan dan kemanusiaan.

Ada orang yang tidak hafal Pancasila, ada yang menghafal, tetapi tidak memahami, ada yang memahami, tetapi tidak berkesan, ada yang berkesan tetapi tidak masuk ke hati (dicintai), ada yang masuk ke hati, tetapi tidak diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam siatuasi seperti di atas, yang perlu dilakukan adalah usaha untuk membuat paling kurang seorang dari anggota keluarga selain kepala keluarga menghafal Pancasila (kalau diulang-ulangi pasti akan dihafal dalam waktu kurang dari setahun). Bahkan juga semua kementrian, departemen, bumn, perusahaan perlu menghafal Pancasila.

Tugas lain di mana pemerintah dan lembaga terkait bisa lakukan adalah membuat orang/semua warga negara memahami, terkesan, mencintai, kemudian mewujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Kalau tugas pertama relatif mudah, tugas kedua agak sedikit rumit, karena memerlukan usaha yang lebih keras dan serius untuk membuat orang memahami, berkesan, mencintai dan menjadikannya dasar untuk bertidak dan/atau mengambil keputusan. 

Penulis sangat setuju dengan panitia yang mengatakan bahwa harus ada berbagai aspek yang perlu dipenuhi untuk membuat Pancasila dan UUD 45 dapat dihayati. Perlu ada perumusan, sosialisai, monitor dan evaluasi/pengkajian. Kalau boleh saya ingin tambahkan satu lagi, yaitu pengetahuan. Secara sederhana Taksonomi Bloom bisa diterapkan di sini, yang sebetulnya sudah ada zaman dulu dengan adanya apa yang disebut PPPP (P-4), yakni Pedoman Penghayatan Pengamalam Pancasila. Tetapi kita harus mulai dengan aspek pengetahuan. Pertanyaan pertama ialah apakah semua warga negara tahu tentang Pancasila? Apakah semua bisa mengahafal? Tetapi pertanyaan yang lebih penting ialah, apakah semua warga negara menganggapnya penting? Kalau memang semuanya tahu, dan menganggap PS penting, apakah Pancasila dianggap sejajar, di bawah atau di atas ajaran agamanya? Kalau memenag dianggap penting, apakah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari? Lebih konkritnya ialah apakah Pancasila (dan UUD 45) diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari?

 

Nilai-nilai Pancasila.

Pertama perlu dijelaskan definisi ‘nilai’. Kebanyakan orang mendefinisikan nilai sebagai: “A principle or standard, as of behavior, that is considered important or desirable.” Nilai adalah sebuah prinsip atau standar tentang perilaku yang dianggap penting atau yang diharapkan. Ada lagi yang mendefinisikan lebih personal sebagai “A person's principles or standards of behavior; one's judgment of what is important in life.”  Prinsip atau standar perilaku seseorang; penilaian seseorang tentang apa yang penting dalam hidup.

Intinya ialah ‘Nilai’ merupakan sesuatu yang dianggap penting dan karena itu diperjuangkan yang dapat memberi warna perilaku seseorang atau sekelompok orang, bahkan warga suatu negara. Dengan kata lain, nilai adalah sesuatu yang dianggap baik dan ideal kalau dimiliki, dan tentu saja dipraktekkan, sekalipun Nilai-nilai tersebut tidak akan pernah terwujud seratus persen.

 Kita akui bahwa Pancasila digali dari nilai-nilai leluhur bangsa Indonesia,  sekalipun nilai-nilai tersebut bagi kita saat ini sudah tidak dipahami secara menyeluruh.  Dengan demikian, tugas pertama yang penting ialah merumuskan secara obyektif nilai-nilai apa yang ada dalam masing-masing sila sehingga menjadi terang benderang bagi warga negara Indonesia. Ingat postulate di atas bahwa ada orang yang ‘melihat’ Pancasila, tetapi tidak memahami, maksudnya, ada yang membaca tetapi tidak menghafal, ada yang manghafat tetapi tidak memahami. Orang seperti inilah yang harus dituntun untuk memahami. Sebab bagaimana orang bisa berkesan tanpa memahami?

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa

Toleransi

Yang pertama sekali ialah pengakuan adanya Satu Saja Tuhan yang menciptakan semua manusia, bahkan segala sesuatu yang bernafas maupun yang tidak bernafas.

Nilai ini membawa konsekwensi bahwa semua manusia, suku agama, ras manapun, baik mayoritas maupun minoritas memiliki hak yang sama sebagai warga negara; karena itu tidak boleh ada diskriminasi dalam bentuk apapun. Yang sangat relevan untuk Indonesia ialah semua kelompok agama harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk melaksanakan ibadahnya. Adanya perbedaan keyakinan, perbedaan tata cara pelaksanaan ibadat jangan sampaii menjadi alasan dilakukannya diskriminasi/penyerangan oleh kelompok-kelompok yang merasa sebagai yang memiliki kebenaran mutlak (sangat subyektif). Negara, dalam hal ini pemerintah perlu menyediakan sarana /prasarana yang memadai dan kemudian menindak tegas pihak manapun yang melakukan penyerangan terhadap kelompok lain.

Pengakuan dan penghormatan akan perbedaan

Mendengar kata pluralisme kita pasti ingat semboyan nenek moyang kita: Bhineka Tunggal Ika (Di dalam kepelbagaian, kita satu). Frasa ini diambil dari kitab Sitasoma, karangan Mpu Pranca pada zaman kerajaan Majapahit. Awalnya merupakan komitmen agama Buda Theravada dan Mahayana yang menunjukkan bahwa kedua agama baru dapat hidup secara berdampingan. Kitab Sitasoma dikarang oleh Mpu Pranca pada zaman kerajaan Majapahit. Semboyan Bhineka Tunggal Ika diambil dari kitab ini. Petikannya adalah sbb:

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,

Mangka ng Jinatwa kalawan Šiwatatwa tunggal,

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa,

Artinya:

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda

Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakan bisa dikenal?

Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal

Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu.

Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

 

 

  1. Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Nilai-nilai yang mendasari SILA ini memang berasal dari kehidupan sehari-hari bangsa ini, di mana nilai ini memang sangat universal. Nenek moyang kita memang sudah belajar dari kenyataan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai manusia. Keadilan yang beradab harus diutamakan. Tetapi sebetulnya nilai seperti aya yang perlu digaris bawahi agar kita generasi sekarang bisa memahaminya secara gamblang, tetapi juga nilai yang operasional yang bisa dilaksanakan dalam kehidupan sehai-hari?

Penegakan Hak Asasi Manusia.

Pembukaan UUD 45 berbunyi: “Bahwa Sesungguhnya Kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Di dalam negeri perlu penegakkan penanganan Human Trafficking yang masih sering terjadi. Komnas HAM dan Komnas Perempuan perlu diberi wewenang yang lebih luas selain hanya menerima laporan

Hukum untuk manusia dan bukan sebaliknya, manusia untuk hukum.

Para penegak hukum perlu diberdayakan dengan diskresi agar menggunakan hukum dengan bijak. Isi Magna Carta yang ke-enam di Inggris pada tanggal 15 Juni 1215 yang membatasi membatasi monarkhi Inggris dari kekuasaan absolut adalah: Hak Asasi Manusia (HAM) lebih penting daripada kedaulatan, hukum atau kekuasaan. Pasal 28 UUD 45 sudah memberi penjelasan yang terang benderang mengenai hal ini. Misalnya perubahan II dari Pasal 28 I ayat 1: (Setiap orang memperoleh) “ hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, ......” Atau ayat 5 “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”

 

  • Persatuan Indonesia

Kita semua tahu bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati, dan negara kesatuan republik Indonesia bukan Cuma dari Sabang sampai Merauke, melainkan juga dari Rengas sampai pulau Rote.

 Nilai yang relevan ialah antara lain

Persaudaraan

Manusia tidak mungkin hidup sendiri. Secara kodrati semua manusia yang ada di muka bumi ini, pada pokoknya terikat pada satu jalinan persaudaraan. Kita harus sadar bahwa kita terikat dalam sebuah simbiosis mutualis. Saling membutuhkan. Apalagi kalau diingat bahwa kita semua berasal dari satu saja pasangan suami-isteri, ibu Hawa dan Bapak Adam.

Saling menghargai

Kalau ditanya, apa yang dapat memperkuat persatuan dan persaudaraan, maka jawabnya cukup banyak, tetapi salah satu yang terpenting adalah saling menghargai dan menghormati. Pemicu kerusuhan yang terjadi beberapa tahun yang lalu adalah karena tidak adanya saling menghargai, terutama dalam kaitan dengan masalah keagamaan.

Ternyata Candi terkenal seperti Borobudur juga merekam bagaimana agama Hindu dan Buda saling menghargai sedemikian rupa sehingga ada relief yang memperlihatkan brahmana Hindu sedang menyembah stupa Buda

 

  1. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Menurut Bung Hata, Wapres Indonesia yang pertama, “Asas kerakyatan mengandung arti bahwa kedaulatan ada pada tangan rakyat. Segala Hukum harus bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati rakyat banyak, dan aturan penghidupan haruslah sempurna dan membahagiakan rakyat kalau ia berdasarkan kedaulatan rakyat. (dikutip dari Daulat Rakyat 10 Januari 1932).

Nilai-nilai yang dapat dirumuskan dari Sila ini ada banyak, tetapi di sini penulis hanya membatasi pada dua nilai penting sbb:

Demokrasi

Ungkapan yang terkenal dari nilai ini adalah Voux Populi Voux Dei (Suara rakyat adalah suara Tuhan). Sekarang saatnya suara orang-orang kecil perlu didengar. Kita ingat bahwa meledaknya Challenger antara lain karena pejabat NASA tidak mendengarkan suara orang kecil. Juga tabrakan pesawat penumpang Korea dengan pesawat militer Rusia disebabkan karena Kapten Pilot tidak rela mendengarkan usul/saran dari Co-pilotnya. Untuk bangsa kita, apakah setiap implementasi kebijakan sudah didasarkan pada konsultasi publik?

Prioritaskan kebijakan ‘Sama-Sama Untung’ (win-win solution).

Perusahaan-perusahaan raksasa di dunia ini sudah memprioritaskan penyelesaian masalah secara musyawarah, lewat mediasi dan sedapat mungkin menghindari litigasi, yang makan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Ternyata Sila ke-empat sudah memberi ruang, bahkan sudah dialksanakan dari dulu. Bahkan di kampung halaman saya dari dulu sudah ada penyelesaian masalah non-litigasi. Sudah ada beberapa organisasi lembaga yang memproduksi paralegal, yang biasanya cukup pengalaman dalam bidangnya sehingga keputusannya dalam perembukan atau musyawarah dapat diandalkan. Pemerintah perlu mengalokasikan dana untuk membantu organisasi-organisasi tersebut.

 

  1. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Banyak sekali pakar, termasuk ahli filsafat, Aristoteles memberikan definisinya tentang keadilan. Yang saya kutip berikut adalah definisi menurut Frans Magnis Suseno, orang yang menjadi WNI bukan karena darah atau keturunan (ius sanguinis) atau karena dilahirkan di Indonesia (ius Soli), tetapi yang secara legal meminta menjadi WNI, dan ini yang dikatakan: Keadilan adalah keadaan antarmanusia yang diperlakukan dengan sama, yang sesuai dengan hak serta kewajibannya masing-masing.

Keadilan itu sendiri sudah merupakan suatu nilai (sekali lagi kita sepakat bahwa nilai adalah sesuatu yang dianggap baik yang perlu diwujudnyatakan, walalupn selama hidup nilai itu tidak pernah akan terwujud seratus persen), tetapi dua hal tentang nilai ini yang perlu digaris bawahi.

Akses pada keadilan.

Mengutip MDG (Millenium Development Goals), tetang akses pada keadilan, kita tentu ingat bahwa masih banyak orang, karena alasan tertentu, belum mendapat akses pada keadilan. Hal ini perlu ditingkatkan.

Perdamaian dan Keadilan.

Kita tentu berjuang untuk hidup berdampingan secara damai tetapi hal tersebut tidak meungkin tercapai tanpa keadilan. Memang persepsi masing-masing orang berbeda, dan untuk itu perlu diingatkan tentang pendapat Frans M. Suseno seperti di atas, tetapi setiap usaha mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, para juru damai perlu juga menegakkan keadilan.

Kesimpulan dan Saran

  1. Kesimpulan
  2. Kita bangga bahwa bangsa kita memiliki Pancasila yang merupakan sumber segala sumber hukum, yang sekaligus merupakan sumber etika dan moral yang dulu sudah dipraktekkan, dan sekarang, dengan pemahaman yang benar, dapat dipahami, berkesan dan kemudian dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
  3. Dengan adanya ‘sense of ownership’ atau perasaan memiliki Pancasila, ia bisa dijadikan pedoman bernegara bahkan pedoman perilaku.
  4. Kalau dulu ada Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, maka sekarang perlu ada lembaga yang tugasnya membuat WNI sadar akan pentingnya Pancasila, mendalamai makna di balik kalimat-kalimat dalam masing-masing Sila.

Saran:

Setiap pegawai negeri sipil, pagawai BUMN, anggota militer dan polisi, institusi penegak hukum lainnya diwajibkan menghafal Pancasila yang hanya lima ‘kalimat’

  1. Saran no. 1 perlu ditegakkan pelaksanaanya dan dimonitor oleh kantor Penertiban Aparatur Negara
  2. Setiap Departemen perlu ‘mensosialisasikan’ Pancasila di Depertemennya masing-masing.

Dengan kegiatan di atas, diharapkan agar semua WNI mengenal, menghafal, mempunyal kesan mendalam, dan kemudian menjadikan Pancasila sebagai bagian dari kehidupannya setiap hari, sebab bagaimana orang menjadikannya bagian dari kehidupan sehari-hari, kalau ia tidak berkesan dengan Pancasila? Bagaimana orang dapat mempunyai kesan yang mendalam tentang tentang Pancasila kalau ia tidak memahami? Bagaimana orang bisa memahami kalau ia tidak mengenal atau menghafal?

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun