Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pentingnya Pelayanan Responsif dan Kejelasan Hukum untuk Kekerasan dalam Keluarga

31 Januari 2025   07:44 Diperbarui: 31 Januari 2025   07:44 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi KDRT(freepik.com)

Kekerasan dalam keluarga atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukan sekadar konflik domestik yang bisa diselesaikan dengan kompromi. Ini adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berdampak luas, tidak hanya pada korban secara individu, tetapi juga pada stabilitas sosial dan generasi mendatang. Sayangnya, meskipun berbagai regulasi dan program telah dicanangkan untuk menangani masalah ini, kekerasan dalam keluarga masih menjadi fenomena yang terus menghantui banyak rumah tangga di Indonesia.

Beberapa korban memilih diam karena takut, malu, atau bahkan karena tidak menyadari bahwa mereka sedang menjadi korban. Ada pula yang terjebak dalam siklus kekerasan karena ketergantungan ekonomi, tekanan sosial, atau kurangnya akses terhadap perlindungan hukum. Inilah yang membuat kekerasan dalam keluarga menjadi isu yang kompleks dan memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dalam penanganannya.

Penting untuk memahami bagaimana negara hadir dalam memberikan perlindungan bagi korban, bagaimana hukum ditegakkan terhadap pelaku, serta tantangan yang masih dihadapi dalam implementasi kebijakan yang ada. Lebih dari itu, upaya pencegahan dan edukasi juga menjadi kunci dalam mengakhiri lingkaran kekerasan ini.

Kekerasan dalam Keluarga Masalah Struktural yang Berkepanjangan

Dalam banyak kasus, kekerasan dalam keluarga tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia sering kali merupakan hasil dari berbagai faktor struktural, seperti norma budaya patriarki, ketimpangan gender, dan kurangnya literasi hukum di kalangan masyarakat. Banyak orang masih menganggap bahwa apa yang terjadi di dalam rumah tangga adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri pihak luar.

Padahal, dampak KDRT tidak hanya dirasakan oleh individu korban, tetapi juga oleh anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan. Studi menunjukkan bahwa anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam keluarga berisiko lebih tinggi mengalami gangguan psikologis, kesulitan akademik, bahkan cenderung mengulang pola kekerasan tersebut dalam hubungan mereka di masa depan.

Tak hanya itu, dampak ekonomi juga sangat nyata. Banyak korban KDRT yang kehilangan pekerjaan atau mengalami keterbatasan dalam mencari nafkah karena trauma atau kontrol yang dilakukan oleh pelaku. Ini menambah beban bagi negara, baik dalam bentuk biaya perawatan kesehatan, rehabilitasi sosial, maupun intervensi hukum yang diperlukan untuk menangani kasus-kasus ini.

Jaminan Hukum

Di Indonesia, perlindungan hukum bagi korban kekerasan dalam keluarga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Undang-undang ini mengakui bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukan sekadar masalah domestik, tetapi juga masalah hukum yang harus mendapat perhatian serius dari negara.

Dalam UU PKDRT, kekerasan dalam keluarga dikategorikan ke dalam empat bentuk, yakni kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Setiap kategori ini memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, dengan ancaman pidana yang bervariasi tergantung pada tingkat keparahannya.

Namun, meskipun undang-undang ini telah memberikan dasar hukum yang jelas, implementasinya masih menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah rendahnya tingkat pelaporan kasus kekerasan. Banyak korban enggan melapor karena khawatir tidak mendapatkan perlindungan yang memadai atau bahkan mendapat stigma dari lingkungan sekitarnya.

Ada pula kendala dalam proses penegakan hukum, di mana tidak sedikit kasus yang berakhir tanpa hukuman bagi pelaku akibat kurangnya bukti atau karena intervensi dari pihak keluarga yang lebih memilih "menyelesaikan secara kekeluargaan." Ini menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan antara hukum yang tertulis dan realitas di lapangan.

Program Perlindungan

Untuk membantu korban KDRT, pemerintah telah menginisiasi berbagai program, salah satunya adalah pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Lembaga ini bertugas memberikan layanan konseling, bantuan hukum, serta tempat perlindungan sementara bagi korban.

Selain itu, di tingkat kepolisian, terdapat Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) yang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk KDRT. Keberadaan unit ini bertujuan untuk memastikan bahwa korban mendapatkan akses terhadap keadilan tanpa harus menghadapi tekanan atau intimidasi dari pihak pelaku.

Namun, meskipun program-program ini telah berjalan, masih ada keterbatasan dalam hal jumlah dan jangkauan layanan. Banyak daerah yang belum memiliki fasilitas rumah aman atau layanan pendampingan yang memadai. Ini membuat banyak korban yang berada di wilayah pedesaan atau daerah terpencil kesulitan mendapatkan perlindungan yang layak.

Selain itu, pendekatan yang dilakukan dalam program-program ini masih sering kali bersifat reaktif, yaitu baru bergerak setelah kekerasan terjadi. Padahal, upaya pencegahan melalui edukasi dan kampanye kesadaran hukum perlu lebih diperkuat agar masyarakat memiliki pemahaman yang lebih baik tentang hak-hak mereka dan pentingnya melaporkan kasus kekerasan.

Tantangan Sosial dan Budaya dalam Menangani KDRT

Salah satu hambatan terbesar dalam menangani KDRT adalah norma sosial yang masih cenderung permisif terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Dalam banyak komunitas, masih ada anggapan bahwa seorang istri harus "bersabar" menghadapi suaminya, meskipun dalam bentuk kekerasan sekalipun.

Tidak jarang pula terjadi viktimisasi ganda terhadap korban, di mana mereka yang melaporkan kekerasan justru dikucilkan oleh keluarga atau masyarakat. Hal ini semakin memperburuk kondisi korban yang seharusnya mendapatkan dukungan dan perlindungan.

Selain itu, faktor ekonomi juga memainkan peran besar. Banyak korban, terutama perempuan, yang merasa tidak memiliki pilihan selain tetap bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan karena ketergantungan finansial pada pasangan mereka. Kurangnya akses terhadap pendidikan dan lapangan kerja juga membuat mereka sulit untuk keluar dari situasi tersebut.

Membangun Sistem yang Lebih Responsif

Untuk mengatasi berbagai tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih sistematis dan terintegrasi. 

  • Pertama, harus ada penguatan dalam aspek penegakan hukum, di mana aparat penegak hukum harus lebih proaktif dalam menangani kasus KDRT dan memastikan bahwa korban mendapatkan keadilan.
  • Kedua, perlu ada perluasan program perlindungan, termasuk penyediaan lebih banyak rumah aman dan layanan pendampingan yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
  • Ketiga, edukasi dan sosialisasi tentang hak-hak perempuan dan anak harus lebih digalakkan, terutama di komunitas-komunitas yang masih memiliki budaya patriarki yang kuat. Kampanye kesadaran tentang bahaya KDRT harus menjadi agenda nasional yang terus diperjuangkan oleh pemerintah, media, serta organisasi masyarakat sipil.
  • Keempat, pemberdayaan ekonomi bagi korban juga harus menjadi bagian dari solusi. Program pelatihan keterampilan dan akses terhadap pekerjaan yang layak bisa menjadi cara efektif untuk membantu korban keluar dari ketergantungan finansial pada pelaku kekerasan.

Pada akhirnya, kekerasan dalam keluarga bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sebagai "masalah rumah tangga" semata. Ini adalah persoalan sosial yang membutuhkan perhatian serius dari semua pihak. Dengan sistem hukum yang lebih kuat, program perlindungan yang lebih efektif, serta perubahan budaya yang lebih menghargai hak asasi manusia, diharapkan kekerasan dalam keluarga bisa ditekan, dan setiap individu bisa hidup dengan rasa aman dan bermartabat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun