Namun, meskipun undang-undang ini telah memberikan dasar hukum yang jelas, implementasinya masih menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah rendahnya tingkat pelaporan kasus kekerasan. Banyak korban enggan melapor karena khawatir tidak mendapatkan perlindungan yang memadai atau bahkan mendapat stigma dari lingkungan sekitarnya.
Ada pula kendala dalam proses penegakan hukum, di mana tidak sedikit kasus yang berakhir tanpa hukuman bagi pelaku akibat kurangnya bukti atau karena intervensi dari pihak keluarga yang lebih memilih "menyelesaikan secara kekeluargaan." Ini menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan antara hukum yang tertulis dan realitas di lapangan.
Program Perlindungan
Untuk membantu korban KDRT, pemerintah telah menginisiasi berbagai program, salah satunya adalah pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Lembaga ini bertugas memberikan layanan konseling, bantuan hukum, serta tempat perlindungan sementara bagi korban.
Selain itu, di tingkat kepolisian, terdapat Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) yang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk KDRT. Keberadaan unit ini bertujuan untuk memastikan bahwa korban mendapatkan akses terhadap keadilan tanpa harus menghadapi tekanan atau intimidasi dari pihak pelaku.
Namun, meskipun program-program ini telah berjalan, masih ada keterbatasan dalam hal jumlah dan jangkauan layanan. Banyak daerah yang belum memiliki fasilitas rumah aman atau layanan pendampingan yang memadai. Ini membuat banyak korban yang berada di wilayah pedesaan atau daerah terpencil kesulitan mendapatkan perlindungan yang layak.
Selain itu, pendekatan yang dilakukan dalam program-program ini masih sering kali bersifat reaktif, yaitu baru bergerak setelah kekerasan terjadi. Padahal, upaya pencegahan melalui edukasi dan kampanye kesadaran hukum perlu lebih diperkuat agar masyarakat memiliki pemahaman yang lebih baik tentang hak-hak mereka dan pentingnya melaporkan kasus kekerasan.
Tantangan Sosial dan Budaya dalam Menangani KDRT
Salah satu hambatan terbesar dalam menangani KDRT adalah norma sosial yang masih cenderung permisif terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Dalam banyak komunitas, masih ada anggapan bahwa seorang istri harus "bersabar" menghadapi suaminya, meskipun dalam bentuk kekerasan sekalipun.
Tidak jarang pula terjadi viktimisasi ganda terhadap korban, di mana mereka yang melaporkan kekerasan justru dikucilkan oleh keluarga atau masyarakat. Hal ini semakin memperburuk kondisi korban yang seharusnya mendapatkan dukungan dan perlindungan.
Selain itu, faktor ekonomi juga memainkan peran besar. Banyak korban, terutama perempuan, yang merasa tidak memiliki pilihan selain tetap bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan karena ketergantungan finansial pada pasangan mereka. Kurangnya akses terhadap pendidikan dan lapangan kerja juga membuat mereka sulit untuk keluar dari situasi tersebut.