Di tengah peradaban modern yang semakin maju, dunia menghadapi tantangan besar berupa kerusakan lingkungan. Polusi udara yang merajalela, penggundulan hutan, pencemaran plastik, dan perubahan iklim adalah segelintir dari sekian banyak persoalan yang mengancam keberlangsungan hidup manusia. Namun ironisnya, isu-isu tersebut sering kali berada di pinggir perhatian publik, kalah oleh hiruk-pikuk politik, hiburan, atau teknologi.
Padahal, dampak kerusakan lingkungan tidak lagi menjadi bayang-bayang masa depan. Perubahan iklim telah membawa berbagai bencana alam yang semakin sering terjadi, seperti banjir bandang, gelombang panas, dan kebakaran hutan. Tidak hanya itu, pencemaran lingkungan telah mengakibatkan krisis kesehatan dan ekonomi yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Jika ancaman ini begitu nyata, mengapa isu lingkungan masih sulit menarik perhatian?
Kesulitan Memahami Kompleksitas
Salah satu alasan mendasar adalah kerumitan masalah lingkungan itu sendiri. Banyak aspek yang terkait dengan isu ini membutuhkan pemahaman mendalam yang tidak selalu dimiliki oleh masyarakat umum. Istilah seperti "pemanasan global," "karbon netral," atau "keanekaragaman hayati" sering kali terdengar asing dan sulit dipahami. Dalam dunia yang serba cepat seperti saat ini, publik cenderung lebih memilih informasi yang mudah dicerna dan relevan langsung dengan kehidupan mereka.
Masalahnya, kompleksitas isu lingkungan sering kali mengaburkan relevansinya dengan kehidupan sehari-hari. Contohnya, ketika orang mendengar tentang pencemaran mikroplastik di lautan, sulit bagi mereka untuk menghubungkan hal itu dengan makanan laut yang mereka konsumsi. Kesenjangan ini membuat banyak orang menganggap bahwa masalah lingkungan adalah sesuatu yang jauh dan tidak mendesak.
Dampak yang Tidak Langsung
Selain kompleksitas, isu lingkungan juga memiliki karakteristik dampak yang lambat dan tidak langsung. Perubahan iklim, misalnya, terjadi secara bertahap dalam jangka panjang. Suhu global yang meningkat beberapa derajat mungkin terasa kecil bagi sebagian orang, meskipun perubahan ini telah mengganggu ekosistem dan memicu bencana alam di berbagai belahan dunia.
Dampak yang bersifat jangka panjang ini sering kali kalah menarik dibandingkan isu-isu yang memberikan dampak instan, seperti konflik politik atau berita skandal. Akibatnya, isu lingkungan dianggap sebagai "masalah masa depan," bukan sesuatu yang membutuhkan perhatian segera. Padahal, dampaknya sudah sangat nyata, mulai dari peningkatan polusi udara yang menyebabkan penyakit hingga hilangnya mata pencaharian akibat cuaca ekstrem.
Pendidikan yang Kurang Memadai
Kurangnya perhatian terhadap isu lingkungan juga disebabkan oleh minimnya edukasi yang memadai. Di banyak negara, termasuk Indonesia, pendidikan lingkungan masih menjadi bagian kecil dari kurikulum sekolah. Pembahasan mengenai pentingnya menjaga lingkungan sering kali bersifat teoretis, tanpa memberikan gambaran konkret tentang situasi yang dihadapi dunia saat ini.
Media massa, yang seharusnya menjadi jembatan informasi, juga kurang memberikan perhatian serius terhadap isu ini. Sebagian besar pemberitaan hanya bersifat permukaan tanpa penjelasan yang mendalam. Contohnya, ketika terjadi kebakaran hutan, liputan media lebih fokus pada kejadian tersebut tanpa membahas penyebab utamanya, seperti deforestasi atau perubahan iklim. Minimnya informasi yang komprehensif membuat masyarakat sulit menyadari urgensi dan kompleksitas dari masalah ini.
Ketertarikan yang Terkalahkan
Di era digital, di mana persaingan informasi sangat ketat, perhatian masyarakat lebih mudah teralihkan oleh konten sensasional. Isu lingkungan yang sering kali serius dan kompleks kalah pamor dibandingkan dengan berita selebriti, video viral, atau inovasi teknologi terbaru.
Kehadiran media sosial sebenarnya memberikan peluang besar untuk meningkatkan kesadaran lingkungan. Namun, sayangnya, banyak kampanye lingkungan yang gagal memanfaatkan platform ini secara maksimal. Pesan-pesan yang disampaikan sering kali tidak menarik secara visual atau emosional, sehingga sulit bersaing dengan konten lain yang lebih menghibur.
Pola Pikir "Itu Bukan Tanggung Jawab Saya"
Ada pula anggapan bahwa tanggung jawab menjaga lingkungan adalah tugas pemerintah, perusahaan besar, atau organisasi internasional. Masyarakat sering merasa bahwa kontribusi individu mereka terlalu kecil untuk memberikan dampak yang berarti. Pola pikir ini membuat banyak orang enggan mengambil langkah sederhana, seperti mengurangi penggunaan plastik sekali pakai atau menghemat energi.
Padahal, perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang dilakukan secara kolektif. Misalnya, gerakan membawa botol minum sendiri atau memilih transportasi umum telah terbukti mengurangi emisi karbon di beberapa kota besar. Sayangnya, kurangnya kesadaran akan dampak nyata dari tindakan individu membuat banyak orang merasa bahwa upaya mereka tidak akan memberikan hasil.
Krisis yang Nyata
Meski sering diabaikan, dampak dari isu lingkungan sudah sangat nyata dan dirasakan oleh banyak orang. Di Indonesia, banjir besar yang melanda Jakarta setiap musim hujan adalah salah satu contoh nyata dari kerusakan lingkungan. Penggundulan hutan di hulu sungai dan sistem drainase yang buruk telah memperburuk kondisi ini, tetapi masalah ini terus berulang setiap tahun tanpa solusi yang jelas.
Di sisi lain, polusi udara telah menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. Menurut data WHO, lebih dari tujuh juta orang di dunia meninggal setiap tahun akibat penyakit yang disebabkan oleh polusi udara. Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat polusi udara yang tinggi, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.
Tidak hanya itu, laut Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati kini terancam oleh pencemaran plastik. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu penyumbang sampah plastik terbesar di dunia. Sampah-sampah ini tidak hanya mencemari ekosistem laut, tetapi juga berpotensi masuk ke rantai makanan manusia melalui mikroplastik yang terkandung dalam ikan dan makanan laut lainnya.
Upaya Mengubah Persepsi
Untuk membuat isu lingkungan lebih menarik bagi masyarakat, pendekatan yang lebih kreatif dan relevan perlu diterapkan. Salah satu cara yang efektif adalah melalui narasi yang emosional dan inspiratif. Cerita tentang bagaimana kerusakan lingkungan memengaruhi kehidupan nyata, seperti petani yang kehilangan mata pencaharian akibat kekeringan atau keluarga yang harus mengungsi karena banjir, dapat memberikan dampak yang lebih kuat daripada data statistik semata.
Selain itu, media sosial dapat digunakan sebagai alat yang kuat untuk menyampaikan pesan lingkungan. Kampanye visual, seperti video pendek atau infografis, dapat membantu menjelaskan isu yang kompleks dengan cara yang sederhana dan menarik. Partisipasi influencer atau selebriti juga dapat meningkatkan jangkauan kampanye tersebut.
Yang tidak kalah penting adalah mengedukasi masyarakat tentang solusi nyata yang dapat dilakukan. Banyak orang merasa putus asa ketika dihadapkan pada skala kerusakan lingkungan yang begitu besar. Namun, dengan menunjukkan bahwa langkah-langkah kecil, seperti mengurangi penggunaan plastik atau mendukung produk lokal yang ramah lingkungan, dapat memberikan dampak positif, masyarakat akan lebih termotivasi untuk bertindak.
Kesimpulan
Isu lingkungan memang tidak selalu menarik perhatian, tetapi ini bukan alasan untuk mengabaikannya. Dampaknya sudah terasa di sekitar kita, dari banjir yang merusak infrastruktur hingga polusi udara yang mengancam kesehatan. Jika kita tidak mulai bertindak sekarang, konsekuensinya akan jauh lebih berat di masa depan.
Kunci untuk menarik perhatian terhadap isu ini adalah komunikasi yang efektif, edukasi yang mendalam, dan pendekatan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan upaya bersama, kita dapat menjadikan lingkungan sebagai prioritas utama, bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk generasi mendatang. Mari kita jaga bumi ini bersama-sama, karena masa depan kita semua bergantung padanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI