Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

70% Gen Z Depresi karena Media Sosial, Apa Penyebab Utamanya?

10 Januari 2025   18:51 Diperbarui: 10 Januari 2025   18:51 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Remaja Mengalami Depresi karna Media Sosial. Freepik.com

Generasi Z, atau yang biasa disebut Gen Z, adalah kelompok masyarakat yang lahir dalam kurun waktu antara 1997 hingga 2012. Sebagai generasi pertama yang tumbuh bersama perkembangan teknologi digital, mereka memiliki hubungan yang sangat erat dengan media sosial. Namun, hubungan ini tidak selalu membawa dampak positif. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa sekitar 70% dari Gen Z mengalami gejala depresi yang diakibatkan oleh penggunaan media sosial. Temuan ini menimbulkan kekhawatiran mendalam tentang pengaruh teknologi terhadap kesehatan mental anak muda. Lalu, apa sebenarnya yang membuat media sosial menjadi pemicu utama depresi bagi generasi ini?

Keterbatasan Dunia Nyata di Era Digital

Media sosial menawarkan kebebasan untuk berbagi dan terhubung dengan orang lain. Namun, di balik segala manfaatnya, platform ini menciptakan distorsi antara dunia nyata dan dunia maya. Dalam kehidupan sehari-hari, Gen Z menghadapi tekanan untuk memproyeksikan citra diri yang ideal di media sosial. Foto-foto yang diedit sedemikian rupa, pencapaian yang dibagikan tanpa konteks, hingga gaya hidup glamor yang dipamerkan oleh influencer menjadi standar baru yang tidak realistis. Tekanan ini, secara tidak langsung, memicu rasa cemas dan ketidakpuasan terhadap diri sendiri.

Menurut sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Adolescence Health, paparan konten yang terlalu sempurna di media sosial meningkatkan risiko depresi pada remaja. Mereka cenderung merasa hidup mereka tidak sebanding dengan yang mereka lihat di layar, meskipun realitasnya jauh lebih kompleks daripada apa yang ditampilkan di media sosial.

Efek Validasi Sosial yang Membebani

Salah satu daya tarik utama media sosial adalah interaksi berbasis validasi. Fitur seperti "suka" (like), "komentar" (comment), atau "bagikan" (share) menciptakan ilusi penerimaan sosial. Bagi Gen Z, yang berada dalam fase pencarian identitas, hal ini menjadi sangat penting. Namun, ketika unggahan mereka tidak mendapat respons sesuai harapan, perasaan tidak berharga dan rendah diri mulai muncul.

Efek ini dijelaskan oleh fenomena psikologis yang dikenal sebagai "dopamin feedback loop." Ketika seseorang menerima like atau komentar positif, otaknya melepaskan dopamin, zat kimia yang memberikan rasa senang. Namun, ketergantungan pada dopamin dari interaksi media sosial ini membuat seseorang selalu mencari validasi eksternal. Ketika validasi tersebut tidak datang, rasa kecewa dan kehilangan makna hidup menjadi konsekuensi serius yang mereka hadapi.

Cyberbullying Ancaman di Balik Layar

Selain tekanan untuk menunjukkan kehidupan sempurna, Gen Z juga dihadapkan pada sisi gelap lainnya dari media sosial, yaitu cyberbullying. Berbeda dengan perundungan tradisional yang terjadi di ruang fisik, cyberbullying berlangsung di dunia maya, sering kali tanpa identitas pelaku yang jelas. Komentar jahat, hinaan, atau ancaman yang diterima secara online dapat meninggalkan luka emosional yang dalam.

Menurut laporan dari Pew Research Center, sekitar 59% anak muda pernah mengalami berbagai bentuk cyberbullying. Tidak hanya itu, korban sering kali merasa tidak memiliki tempat untuk berlindung, mengingat media sosial adalah ruang yang terus-menerus mereka gunakan. Rasa malu dan stigma membuat banyak dari mereka enggan berbicara atau mencari bantuan. Akibatnya, kondisi mental mereka memburuk, hingga dalam kasus tertentu, memunculkan pikiran untuk mengakhiri hidup.

Informasi Berlebihan dan Dampaknya

Dalam era digital, informasi mengalir tanpa henti. Gen Z, yang tumbuh bersama ponsel pintar, terpapar ribuan konten setiap harinya, mulai dari berita terkini hingga konten viral yang bersifat hiburan. Namun, kebebasan informasi ini juga membawa risiko yang tidak bisa diabaikan. Paparan berita negatif, hoaks, atau konten yang memicu ketakutan, seperti teori konspirasi, menciptakan tekanan emosional yang besar.

Fenomena "doomscrolling," atau kebiasaan menggulir layar tanpa henti untuk membaca berita buruk, semakin memperburuk suasana hati dan meningkatkan tingkat kecemasan. Selama pandemi COVID-19, kebiasaan ini menjadi semakin umum, terutama di kalangan anak muda. Mereka merasa harus terus mengikuti perkembangan terbaru, tetapi di saat yang sama, berita yang mereka konsumsi justru membawa dampak buruk bagi kesehatan mental mereka.

Gangguan Ritme Kehidupan

Media sosial bukan hanya mengubah cara Gen Z berinteraksi, tetapi juga mengganggu ritme kehidupan mereka. Salah satu dampak yang paling nyata adalah terganggunya pola tidur. Banyak anak muda menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial hingga larut malam, tanpa menyadari efek jangka panjangnya. Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Sleep Medicine Reviews menemukan bahwa penggunaan ponsel sebelum tidur dapat mengurangi kualitas tidur secara signifikan. Kekurangan tidur tidak hanya memengaruhi kemampuan kognitif, tetapi juga meningkatkan risiko depresi dan gangguan suasana hati.

Lebih jauh lagi, waktu yang dihabiskan di media sosial sering kali mengurangi waktu untuk aktivitas yang lebih bermakna, seperti berolahraga, membaca, atau sekadar menikmati waktu bersama keluarga. Ketidakseimbangan ini menciptakan kehidupan yang serba digital, tetapi miskin pengalaman nyata yang mendukung perkembangan emosional.

Mengapa Gen Z Rentan?

Gen Z menghadapi tantangan unik yang tidak dialami oleh generasi sebelumnya. Mereka lahir di era di mana internet dan media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Teknologi ini bukan lagi alat, tetapi menjadi lingkungan tempat mereka bertumbuh. Hal ini membuat batas antara dunia maya dan dunia nyata semakin kabur.

Berbeda dengan generasi sebelumnya, Gen Z kurang memiliki contoh atau panduan tentang bagaimana menggunakan media sosial secara bijak. Generasi sebelumnya mungkin lebih melihat media sosial sebagai hiburan, sementara bagi Gen Z, media sosial adalah alat utama untuk bersosialisasi, belajar, dan mengekspresikan diri. Ketergantungan ini membuat mereka lebih rentan terhadap efek negatif yang ditimbulkan.

Apa yang Bisa Dilakukan untuk Mengatasi Masalah Ini?

Meskipun dampaknya terlihat mengkhawatirkan, masalah ini bukanlah sesuatu yang tidak bisa diatasi. Perubahan dimulai dari kesadaran, baik dari individu itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan sosial yang lebih luas.

Masyarakat perlu memahami bahwa media sosial hanyalah alat, dan cara kita menggunakannya menentukan apakah alat tersebut akan menjadi berkat atau bencana. Dalam konteks ini, pendidikan literasi digital menjadi sangat penting. Literasi digital tidak hanya mengajarkan bagaimana menggunakan teknologi, tetapi juga membantu individu memahami dampaknya terhadap kesehatan mental, serta cara mengelola tekanan yang muncul.

Selain itu, hubungan yang lebih kuat dengan dunia nyata juga perlu dibangun kembali. Aktivitas offline, seperti olahraga, seni, atau bahkan sekadar berbincang dengan keluarga, dapat menjadi pelipur lara dari tekanan dunia maya. Dengan mengurangi waktu layar dan meningkatkan waktu untuk interaksi nyata, seseorang dapat menemukan kembali keseimbangan yang hilang.

Kesimpulan

Media sosial adalah inovasi yang luar biasa. Ia membuka pintu untuk peluang baru, mempertemukan orang-orang dari berbagai belahan dunia, dan memungkinkan setiap orang untuk berbagi cerita. Namun, seperti pedang bermata dua, media sosial juga memiliki sisi gelap yang perlu diwaspadai. Gen Z, yang tumbuh bersamanya, menghadapi tantangan besar untuk menjaga kesehatan mental di tengah derasnya arus informasi dan tekanan sosial.

Depresi yang dialami oleh 70% dari generasi ini adalah panggilan bagi kita semua untuk memperhatikan bagaimana teknologi memengaruhi kehidupan kita. Dengan memahami penyebab dan dampaknya, serta mengambil langkah untuk menciptakan hubungan yang lebih sehat dengan teknologi, kita dapat membantu generasi ini menemukan kebahagiaan yang lebih sejati, tidak hanya di dunia maya tetapi juga di dunia nyata. Media sosial bukanlah musuh, tetapi bagaimana kita menggunakannya menentukan apakah ia akan menjadi teman atau lawan dalam perjalanan hidup kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun